Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kehidupan Topeng Monyet di Tengah Kontroversi

19 Juli 2015   23:45 Diperbarui: 20 Juli 2015   04:38 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ponorogo, 18 Juli 2015

Meski lebaran baru 2 hari pak Jem (inisial) nekat mengais rejeki bersama gerobak dan monyet kesayanngan, berangkat dari Kertosari salah satu kabupaten di Madiun, dia naik bus bumelan (bus kecil jarak dekat) dari Madiun menuju ke terminal Ponorogo, sesampai di terminal Ponorogo dia mulai berjalan. Hampir berjalan sejauh 15 km belum juga ada yang menghentikan langkahnya untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam memawangi hewan peliharaannya.

Mungkin kecapekan dia berhenti pada warung kopi yang biasa menjadi langganan saya, dan ceritapun mengalir tentang suka duka menjalani pekerjaan sebagai pawang topeng monyet.

Dia berasal dari desa Kertosari selatan kota Madiun, dia sudah hampir 40-an tahun saban hari berkeliling dengan monyetnya dari kampung ke kampung. Dulu didesanya ada hampir 15-an orang yang menekuni pekerjaan ini, namun sekarang tinggal 2 orang dan dia salah satunya. Menurutnya dulu banyak orang dari Solo dan Klaten yang datang kepadanya untuk menyekolahkan monyetnya agar bisa dimainkan sebagai topeng monyet, namun sejak 5 tahunan terakhir sudah tidak pernah lagi ada order melatih monyet, bahkan monyetnya pun tinggal 2 ekor. Dulu juga sempat jual beli monyet yang sudah siap pentas.

"Sepi mas....." katanya sambil menyeka keringatnya sehabis berjalan jauh dan terlihat memelas. Dia berharap lebaran kedua ramai, dan ramainya diikuti monyetnya ditanggap (diorder pentas), namun tebakannya meleset ramainya lebaran tidak disertai banjirnya rejekinya. Maklum selama bulan puasa dia libur mengamen (berkeliling) bersama monyetnya, jadi otomatis minim pendapatanya.

Ketika saya tanya tentang adalanya larangan pentas topeng monyet di berbagai daerah seperti Jakarta, dia menjawan Jakarta sama Jawa timur beda, kalau di Jakarta topeng monyet dilarang karena bikin macet karena tampilnya di dekat jalan raya atau lampu merah, banyaknya orang yang menonton sehingga bikin macet jalan katanya. Saya-pun hanya tersenyum jawabnya lugas, memang tahu atau tidak tahu sayapun tidak tahu.

Ketika saya beritahukan alasan di jakarta dilarang karena merupakan penyiksaan pada hewan, dia hanya bergedek.

"Pengin minterne kuwi kudu kereng mas, yen gak kereng yo gak bakalan dadi, menungso wae ngono opo maneh kewan...." jawabnya, memintarkan itu harus tegas dan kejam kalau ndak begitu tidak bakalan jadi, manusia saja harus dibegitukan apalagi hewan.

"Gek neng kene sing bakalan nglarang yo sopo mas, nglarang-nglarang opo arep nyadong uripku saben dino...." jawabnya sambil menyeruput kopi, yang dalam bahasa Indonesianya; yang akan melarang siapa lagi, kalau melarang apa mau menanggung biaya hidupnya saban hari.

Menurutnya dulu sebelum tahun 2000-an sekali ngamen bisa meraup rejeki 200-300 an ribu bersih, namun sekarang bisa mengantongi uang 50 ribu bersih sudah untung-untungan. Sekali ngamen dia mengeluarkan uang transpor bus 20 ribu pulang pergi, bahkan lebaran begini kondektor bus menaikan harga 50%, buat makan rokok minum, buat beli penthol bakso untuk makanan monyet. Sering rugi katanya, namun ini satu satunya pekerjaan yang ia bisa dan pantang buat dia mengemis.

Ketika ditanya apakah ada diantara anak-anaknya yang mewarisi bakatnya? Dia mengatakan kesemua anaknya perempuan, dan menantunyapun tidak ada yang tertarik akan hal ini.

Banyaknya jenis mainan anak dan acara televisi menjadi salah satu penyebab mengapa jenis hiburan yang ditekuninya kurang diminati.

Untuk sekali menanggap dia patok harga 10 ribu, dia menarikan monyetnya sambil membunyikan musik mirip gendang kecil dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri memegang rantai yang melilit pada monyet. Monyet mirip Rossi mengendari motor Gp, monyet jualan bakso, monyet bersolek, monyet berpayung, monyet menyapu, monyet memikul timba diantara adegan yang diperagakan.

Setelah mebayar kopinya dia melanjutkan perjalanannya dengan mendorong gerobak 'topeng monyet'nya, sementara tangan kanannya memukul mukul gendang untuk menarik perhatian orang.

Satu harapan ada aorang yang menaggapnya di sepanjang jalan yang dia lalui, makan dan bisa makan untuk bertahan ditengah kotroversi tentang perlindungan hewan.

 

*) Salam njepret
*) Salam kampret
*) Salam jalan-jalan

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun