Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sholat Ied dan Lebaran Diundur, Bertepatan Hari Naas

17 Juli 2015   23:08 Diperbarui: 23 Juli 2015   22:21 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponorogo, 17/07/2015

Meski pemerintah lewat kementrian agama bersama berbagai ormas besar sudah mengumumkan lebaran jatuh pada hari ini (17 Juli) namun tidak serta merta bisa diikuti atau dijalankan sampai tingkat bawah, sebagai salah satunya cerita di desa Jurug Sooko Ponorogo tadi, masyarakatpun harus rela menunda sholat Ied dan berlebaran sehari sesudahnya, dan berikut ini cerita selengkapnya.

Bersama keluarga besar setelah sholat Ied dan sungkeman di tempat orang tua, kami segera meneruskan perjalan masing-masing, saya-pun mengambil arah untuk bersilahturohmi ke daerah Jurug Sooko tempat kelahiran bapak kandung saya, nyaris desa masih sepi belum semarak seperti daerah-daerah lainya. Tampak masih banyak orang yang pergi ke ladang dan sawah, mencari makan ternak, namun kebanyakan pergi mengunjungi pemakaman seperti gambar atas. Jalan-jalan masih sepi bahkan suara takbir-pun nyaris tidak terdengar dari masijid atau surau di desa yang wilayahnya paling luas di Ponorogo tersebut. Terasa aneh meski banyak surau dan masjid namun nyaris tiada kegiatan. Dan rumah-rumahpun masih tutup meski matahari sudah bergeser di atas kepala.

Saya dan keluargapun langsung menuju ke tempat pakde dan bude (saudara bapak) sesampai sana-pun juga sepi, tidak seperti lebaran-lebaran sebelumnya, selalu semarak, jalanan dipeunuhi orang yang berjalan berarakan, dan rumah-rumah terbuka dengan segala macam kue dan hidangan yang tersedia. Rumah pakde dan paklikpun juga masih tutupan, dan akhirnya saya masuk ke tempat adik bapak saya yang paling bungsu, dia masih asyik menjahit pakain dari pelanggannya, sementar istrina asyik mencuci di halaman belakang.

"Kok durung lebaran?" tanya saya pada paklik

"Sini besok, kalau mau lebaran datang lagi besok....." jawabnya sambil tersenyum yang membuat saya tambah bingung, namun dia sambil menyilahkan saya duduk masih tetap saja dengan pekerjaannya deng tumbkan kain setengah jadi yang dijahitnya.

"Sini sholat Ied-nya masih besok pagi, dan setelah sholat Ied pintu-pintu baru buka, dan orang orang baru berlebaran...." jelasnya.

"Masih puasa noh...." celetuk saya

"Sudah endak, la bapakmu apa ndak pernah cerita tentang keunikan desa Jurug ini?" jawab palik sambil balik bertanya, saya cuma menggeleng, karena masih merasa aneh dan bingung.

"Sedari dulu desa Jurug ini kalau lebarannya bertepatan hari pasaran Wage atau Jumat, lebarannya diundur karena naas desa jatuh pada pasaran Wage dan hari Jumat tersebut....." jelas paklik

"Namun begitu orang-orang sudah tidak berpuasa, dan sholat Ied pun juga mudur, beberapa hari yang lalu pak lurah mengintruksikan untuk menutup pintu dulu dan mengundur lebaran sehari meski pemerintah sudah mengumumkan..." katanya lagi.

Menurut paklik dulu yang babad desa ini meninggal betepatan pada hari Jumat Wage, dan hari itu dianggap hari naas untuk segala kegiatan atau keramaian. Selain hari naas desa jurug ini juga meyakini adanya larangan menanam kedelai, dan memiliki kendaraan berwarna hijau, ataupun cat rumah warna hijau. 

Untuk orang yang asli daerah Jurug akan mematuhi sampai sekarang, dan hanya pendatang yan tidak mengetahui akan hal tersebut yang akan melakukannya.

Dulu sebelum tahun 80-an seringkali truk angkutan yang berwarna hijau akan mogok di batas desa ketika akan memasuki desa Jurug, namun sekarang entahlah sampai sekarangpun jarang ada truk warna hijau yang berani masuk desa. Konon warna hijau adalah warna ageman (pakaian) Ki Juru Mertani yang babad (penyebar agama Islam) di desa ini.

Sampai kapan desa ini akan mempertahankan kepercayaan tersebut?? Menurut cerita yang berkembang pada masayarakat desa Jurug ini merupakan penghormatan kepada Eyang Wireng Kusumo yang telah babad desa serta menyebarkan agama islam di desa ini, dulu sebelum beliau datang desa ini tidak bisa ditanami padi, dan berkat kegigihan beliau membuat saluran irigasi sehingga bisa mencetak sawah-sawah, dan beliau adalah punggawa dari Mataram sebagai Juru Mertani (mungkin kalau sekarang jabatan buat ahli pertanian dan semacamnya), beliau juga lebih dikenal dengan sebutan Mbah Gedong, karena makamnya dipagari tembok tinggi mirip gedong.

Entahlah seringnya kejadian celaka dan sial ketika melanggar menjadikan kepercayaan tersebut dipegang sampai kini.

Dan sayapun pulang, karena hanya pemakaman yang masih ramai oleh para warga yang berziarah menjelang lebaran seperti daerah lainyanya menjelang lebaran, dan besok pagi kembali ke desa ini lagi untuk berlebaran meski perjalanan jauh dan dengan jalan naik turun bertanjakan tajam.

 

*) Selamat hari lebaran
*) Salam jalan-jalan
*) Salam Kampret

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun