Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Gontor, Antara Tradisi dan Modernisasi

8 Juli 2015   22:57 Diperbarui: 8 Juli 2015   23:05 9700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya baru ingat cerita teman saya sekantor yang rumahnya bersebelahan desa dengan Gontor ini, kalau didalam area pondok ini wajib berbahasa Arab.

Dari raut wajahnya dia bukan dari Jawa, namun kesopanan dan tindak tanduknya sudah menjadi keseharian terutama ketika menhadapi ustdad, kyai, ataupun tamu yang berkunjung.

Ketika saya perhatikan lebih seksama pada papan nama yang selalu menempel pada pakaianya, dia berasal dari Aceh, sedang 2 temannya berasal dari Maluku dan Sulawesi. Benar-benar Gontor mirip taman mini-nya Indonesia tentang asal santri yang menimba ilmu disini.

Kebetulan teman saya berasal dari Aceh, dia bisa bercakap-cakap, entah apa yang mereka bicarakan mereka begitu akrab meski baru beberapa menit bertemu, dan entah bahasa Arab atau Aceh yang mereka pakai saya blank.

Tapi ketika saya bertanya apa yang barusan dicakapkan, teman saya menceritakan dia berkampung sebelahan, dan ketika ditanya apakah ramadhan tidak pulang, dia mnejawab untuk kelasnya belum libur karena dia baru di sini sekitar setahunan, dan boleh libur Ramadhan katanya ketika masuk tahun ke 3. Namun begitu katanya masih ribuan yang tinggal disini karena masih tergolong santri baru.

Bisa menjadi bagian dari Gontor adalah sesuatu yang luar biasa, banyak yang mengidam-idamkan remaja sebayanya untuk bisa masuk Gontor, namun rekrutmen terbatas dan seleksi yang ketat.

Beda lagi tentang cerita orang Ponorogo tentang Gontor, orang cenderung takut kalau masuk pesantren ini mahal karena di pesantren ini sudah sekalian asrama dan makannya. Entah mahal tidaknya saya juga tidak tahu, mungkin saja kurangnya informasi sehingga rasa takut dan was was itu muncul. Maklum saja di Ponorogo ada ratusan jenis pesantren, namun rata-rata masih pesantren tradisional dimana nyantri tidak sekalian makannya, hanya disediakan tempat tidur ala kadarnya, bahkan gratis. (ceritanya pada tulisan berikutnya).

Kalau boleh saya katakan pondok pesantren ini merupakan pesantren tradisional yang sudah modern, artinya pondok pesantren tradisional yang sudah dikelola secara modern, baik sistem pengajaran, sistem administrasi, maupun sistem jaringannya. Karena jarang sekali pondok pesantren yang mempunyai cabang dimana-mana seperti Gontor ini, misal ada yang di daerah Madusari, daerah Siman, bahkan yang di Ngawi khusus santriwati, di Magelang, di Kediri, malah juga buka cabang di Poso Sulawesi.

Meski dikategorikan pondok modern, pondok ini masih menggunakan tradisi orang nadliyin, dimana terlihat pada jumatan kemari dilakukan 2 adzan sebelum dibacakan khutbah seperti masjid masjid NU lainnya mungkin ini sudah menjadi kebiasaan sedari awal berdirinya pondok. Dan yang membedakan hanyalah isi khutbah full bahasa Arab, yang membuat saya tertegun dan bengong karena sama sekali tidak bisa. Tahu-tahu yang khutbah mengucapkan salam dan terdengan suara qomat pertanda khutbah selesai.

Di sebelah timur masjid (depan) kanan bida ditemukan aula besar yang berkapasitas bisa manampung ratusan santri. Diatas pintu masuk terdapat foto trimurti (pendiri pondok).Sedang didalamnya ada panggung dan baliho besar yang biasa buat acara peringatan atau kegitan.

Timurnya lagi ada rumah pusaka, yang berbentuk pendopo (rumah bucu), rumah ini usianya sama dengan usia pondok, rumah ini adalah kediaman kyai pendiri pondok yang sekarang lebih difungsikan sebagai musium.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun