Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pengalaman Ziarah Ke Makam Syeh Makukuhan

28 Juni 2015   18:25 Diperbarui: 28 Juni 2015   18:25 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari sudah hampir magrib ketika keluar dari RS Mata Yap Yogyakarta, mengantar saudara yang kebetulan kena musibah penglihatanya berkurang, dan dokter RS Yap menyarankan untuk tindakan lazer pada perdarahan retinanya sebelum  hari operasi tiba.

Begitu keluar RS Yap kami mampir dahulu di masjid salah satu kampus yang berada dekat rumah sakit, menunaikan sholat magrib dulu biar tidak kepikiran ketika dalam perjalanan. Setelah selesai magrib kami menuju ke halte Transjogja yang berada di pojok depan rumah sakit, tujuan kami ke terminal Jombor, mana tempatnya saya belum pernah tahu. Sesuai petunjuk teman saya sesama kompasiana ( mbak Selsa) kalau dari arah Yogyakarta kalau mau menuju ke Temanggung harus lewat terminal Jombor dulu baru cari bus jurusan Magelang, terus ganti bus ke arah Semarang, dan terus ganti bus lagi ke arah purwokerto atau Wonosobo, dan turun di BRI Kedu.

Tujuan kami adalah mengunjungi makam Syeh Makukuhan sesuai perintah guru kami ketika masih sugeng (hidup), menurut guru kami makam beliau (Syeh Makukuhan) berada di sekitaran gunung Sumbing dan sekitarnya. Berbekal alamat tersebut kami memberanikan diri untuk pergi kesana. Pantangan bagi kami untuk bertanya mengapa, untuk apa, atau bagaimana ketika guru kami memerintah, guru pasti sudah memikirkan atau menimbang sebelum memerintah, maksut dan tujuanpun yakin pasti buat kebaikan kami, begitulah tradisi kami sebagai warga Nadliyin memandang guru mursyid.

Tapi rencana tinggal rencana, bus Transjogja yang kami tumpangi jalannya lambat bahkan sempat mogok dan dioper bis berikutnya di salah satu halte. Sesampai di terminal Jombor sudah adzan Isyak, bus arah Magelang sudah tidak ada, bahkan tak ada satupun bus selain transjogja yang baru saja pergi pulang ke garasi setelah menurunkan kami. Saya menelephon keponakan saya yang rumahnya di sekitaran jalan arah Magelang untuk meminjam mobil, namun keponakan saya tersebut sedang KKN di daerah Cilacap, lalu menelephone keponakan saya satunya lagi yang sedang kuliah di UGM untuk meminjam motor, namun dia juga sedang ada kegiatan di kampus. 

Para makelar mobil omprengan silih berganti merayu kami untuk diantarkannya dengan sistem carteran sekitar 300-an ribu, namun saya bergeming sambil berbuka di ankringan terminal Jombor saya mengatur strategi antara maju atau mundur. Sementara saudara saya manut dengan segala keputusan yang saya ambil, maklum saya harus menuntunnya karena pengklihatannya yang berkurang.

Setetelah makan ada sopir plat hitam mendekat pada kami dia menawarkan akan mengantar kami sampi Secang (pertigaan di timur Temanggung), per orang dimintai 25 ribu, saya mengiyakan. Dan segera dia mendekatkan mobil ekpas warna merahnya ke arah kami, kami dudu di bangku tengah, sementara bagian depan seorang perempuan berambut panjang sebahu yang terurai. Tanpa sepatah kata-pun selama perjalanan antara Jombor ke Magelang, hawa dingin lewat kaca jendela yang tak bisa ditutup rapat karena kotoran di jalur sledingnya. Rambut perempuan di depan saya berkali kali mengenai mka saya, dan sesekali saya sisihkan dengan tangan kanan, sementara tangan kiri berpegangan pada pegangan pintu. Luar biasa sopirnya ugal-ugalan dalam mengemudi, sesekali say lihat spedo meter menunjukan antara angka 90-110 km/ jam. Tak sepatah kata pun terucap dalam perjalanan tersebut, baru setelah masuk Magelang perempuan didepan saya mengatakan, "Turun di pertigaan depan."

Sopirpun mengerem mendadak membuat kami terhuyun, perempuan tersebut menyerahkan uang ratusan ribu 2 lembar sebelum turun. Tanpa ucapan terima kasih atau basa-basi perempuan tersebut turun sambl menyeret koper bawaanya dan hilang di gelapnya malam. Sopirmpun terus memacunya kembali, sementara saya menoleh ke tempat perempuan tadi, sudah tak nampak apa-apa hanya kesepian.

Sampai pertigaan Secang sopir baru mau bicara, "Sampeyan turun didepan, dan tunggu bus dari Semarang jurusan Purwokerto, bilang turun di BRI Kedu setelah Temanggung." katianya. Sambil turun saya serahkan selembar uang 50-an ribu buat 2 orang.

"Matur suwun pak..." kata saya, namun dia tanpa kata tanpa anggukan, hanya pandanganya tajam, dan segera memutar balik lagi ke arah Magelang.

Tak sampai seperempat jam ada bus dari arah Semarang menuju  Purwokerto, kami segera naik, dan saya berdiri karena bus penuh sesak, sementara saudara saya duduk di penutup mesin samping kiri sopir. Berkali-kali saya mengatakan pada sopir dan kenek bus untuk diturunkan di BRI Kedu, karena takut kebablasan.

"Temanggung wae durung kliwat mas...." jawab si sopir, mungkin jengkel karena saya terlalu banyak tanya.

 

Sesampai depan BRI Kedu kami diturunkan, segera mencari kios untuk beli air putih untuk menghalau dahaga serta bertanya lokasi atau jalan menuju makam. Kami menelusuri jalan setapak yang dikiri saya gemericik sungai kecil sedangkan sebelah kanan kami tanaman tembakau yang hidup subur. Sekitar 400 meter dari jalan raya kami sampai di gapura atas, saya segera bertanya pada seorang lelaki berkalung sarung yang duduk duduk di dibawah gapura, saya menanyakan juru kunci makam untuk minta ijin masuk berziarah. Kebetulan sekali yang saya tanya adalah juru kunci makam, lalu kami berkenalan dengan juru kunci tersebut, Sugito namanya. Ada yang janggal karena wajahnya mirip pengemudi expas yang mengantarkan kami dari Jombor sampai Secang, tapi entahlah pak Sugito ini lebih akrab dan hangat ketika diajak bicara. Hanya saja saya harus mengulang kata-kata karena 'maaf' logatnya mirip orang Purwokertonan (ngapak).

Segera kami mengambil wudlu, dan pak Sugito mempersilahkan kami masuk ke dalam cungkup makam dan dia menunggu di ruang agak bawah selatan makam.

Segera kami berdoa seperti yang diajarkan guru, doa dipimpin saudara saya, kurang lebih 2 jam kami turun ke ruang bawah tempat pak Sugito menunggu.

Pak Sugito menceritakan bahwa sore harinya ada orang dari Jawa Timur yang akan berziarah, makanya dia menunggu di dekat pintu gerbang. Padahal kami tidak menelephone, lalu siapa??

Pak Sugito menerangkan asal usul Syeh Makukuhan, beliau asli dari Tionghoa dengan nama asli Ma Kwan Kwan, dan berguru pada Sunan Kalijogo, dan oleh Sunan Kalijogo ditugaskan untuk menyebarkan agama islam di daerah Kedu dan sekitarnya ini. Keahlian belia adalah pertanian dan pengobatan. Konon belia banyak mengajarkan cara bertani dan berdagang, dan banyak orang yang berobat kepada beliau di sela dakwahnya, cerita pak Sugito.

Beliau ahli tirakat jarang tidur malam, ditiap malam beliau sering bermunajad sampai menangis, pak Sugito menceritakan bahwa yang ditangisi beliau adalah bukan takut dosa atau takut neraka, beliau selalu menangis takut kalau imannya dicabut sewaktu-waktu oleh Alloh. Dalam doa beliau selalu meminta tetep di beri iman sampai ajal menjemput. Menurut pak Sugito Alloh bisa saja mencabut iman sesorang kapan saja, dan inilah yang ditakuti Syeh Makukuhan semasa hidup.

Kira-kira jam 1 malam kami berpamitan, dan pak Sugito memberi saudara saya selembar daun tembakau, pesannya disuruh merebus dan airnya diminum untuk obat. Kami disarankan untuk menyegat bus di dekat balai desa pintu gerbang utama sebelah timur, untuk memudahkan sopir bus menghentikan kendaraanya, karena lokasi dekat balai desa ini relati lebih lapang dan terang dibanding dengan lokasi lainya. Menurutnya biasanya setiap jam 2 malam ada bus dari barat (Purwokerto) menuju Semarang. Sambil menunggu bus kami makan sahur di warung dekat pintu parkir bus peziarah sisi timur. Lumayan masakan Kedu pedasnya melebihi makanan Jogya.

 

 

Benar cerita pak Sugito sekitar jam 2 ada bus dari arah barat, luar biasa suaranya dari jauh sudah terdengar dari jauh, mungkin karena malam hari tak ada kendaraan yang lewat, makanya suarana mendominasi. Busnya lucu mulai naik menuju bus semuanya tidur, kecuali sopir.Dan sebentar kemudian kondektur bus mendekat, saya segera membayar ongkos bus untuk 2 orang, atas saran mbak Selsa tempo hari saya disuruh turun di dekat rawa pening, disuruh lewat Salatiga yang akses angkutan umumnya enak diwaktu malam hari. Penumpangnya lucu hampir semua bersarung dan mukanya ditutupi, mirip terroris. Dan bawaan mereka didominasi karung, tas besar, cangkul dan sabit mirip orang mau pergi ke sawah atau jauh. Dipikiran sempat tersitar was was, apalagi stiker stiker yang menempel di dalam bus juga menegrikan tulisannya. Si kondektur kembali lagi tidur di belakang, dan saya lihat semua penumpangpun tidak ada yang terjaga, semua tertidur termasuk saudara saya yang berada disamping saya. Sesampai di pertigaan Secang pengemudi menghentikan bus-nya, dan lagi-lagi semua penumpang masih tertidur, si sopir turun dan saya lihat minum kopi di warung, dan segera naik kembali.Lagi lagi semua penumpang tertidur, cuma saya dan si sopir yang terjaga, si sopir mengendalikan kendaraan ugal-ugalan, jalan curam di turunan sekitar ambarawa, dan Rawa pening dia genjot luar biasa, sampai suara mesin bunyi tratak...... tak.... seperti gigi rendah yang dipacu melebih rpm.  saya tidak berani mengingatkanya, takut marah. Saya hanya pasrah pada Alloh seumpama harus mati malam itu di bus jurusan Purwokerto - Semarang yang kami tumpangi. Sopir selalu ambil jalur kanan, dan klaksonnya selalu ia penjet agar pengemudi lawan arah menepi, dengan kecepatan tinggi dijalanan curam sesekali saya lihat spedo meter bus menujukkan jarum diatas 90 km/ jam padahal jalanana turun curam. Lagi lagi tiada yang terbangun meski berkali kali sopir menginjak rem dengan mendadak, sesekali saya memotret para penumpang. Dan anehnya berkali kali memotret sopir semua buram tidak ada yang jadi, gilaaa. Kira-kira sesampai di pertigaan dekat rawa pening sekitar jam 3;30. Padahal menuerut pak Sugito di pertigaan ini seharusnya tiba jam 5 an pagi. Saya dan saudara saya turun, dan ketika saya tanya tentang perjalanan naik bus tersebut, dia menjawab tidak ada apa-apa cuma ngantuk berat. Semperempat kemudian saya mendapat bus jurusan Semarang-Solo, bus patas. Segera kami naik, namun sesampai di daerah Boyolali perut saya mulas luar biasa mungkin karena terguncang di bs tadi atau makanan ketika sahur di Kedu. Si sopir menhentikan kendaraan di dekat masjid, saya segera berlari menuju toilet, sebentar kemudian saya sudah lari kembali menuju bus patas, luar biasa si sopitr tidak marah. Dan perjalanan berlanjut sampai terminal Solo kami melanjutkan perjalanan ke arah Madiun, dan pulang ke Ponorogo.   *) Salam ramadhan*) salam jalan-jalan*) salam piknik 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun