Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Geliat Pertambangan Rakyat Batu Gamping, Sampung Ponorogo

24 Juni 2015   00:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:02 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ponorogo, 23/ 06/ 2015 

Panas matahari terasa sampai ubun-ubun, namun di tanah kering dan berbatu ini ratusan pekerja yang mayoritas perempuan masih saja sibuk bekerja. Bulan puasa bagi mereka bukan halangan untuk meraup rejeki untuk keluarga. Mereka adalah para pekerja yang berada di bukit kapur daerah Sampung, Ponorogo arah barat laut. Perbukitan berbatu yang tandus dan kering tersebut merupakan sumber mata pencaharian mereka. Tuhan Maha Adil, dibalik situasi geografis yang tak mendukung untuk lahan pertanian tersebut menyimpan bergunung-gunung kekayaan alam berupa bukit kapur yang sudah berabad-abad dikeruk tak ada habis-habisnya.

Pertambangan yang masih dibilang tradisional ini sudah ada mulai jaman kolonial dulu, bekas-bekas trobong (cerobong tungku pembakaran) jaman kolonial masih bisa dijumpai seperti gambar di atas, namun sekarang tungku-tungku dan cerobong peninggalan kolonial tersebut sudah tidak dipakai, selain tempatnya semakin menjauh dari lokasi penambangan, cerobong ini dianggap tidak efektif dibanding model cerobong 'cubluk' yang sekarang ini dipakai.

Penambangan batu kapur ini dibawah pengendalian perusahaan daerah pertambangan Sari Gunung Dinas Pertambangan, dibawah naungan pemerintah daerah Ponorogo. Dinas ini bertugas memfasilitasi masyarakat sekitar berupa pendampingan dalam penambangan serta proses pembakaran. Dulu perusahaan swasta ikut mengelola berupa kepemilikan saham, namun sekarang saham penuh milik pemerintah.

Berikut ini liputanya;

 

Mereka bekerja berkelompok, tiap kelompok sekitar 8-an orang, 3 orang lelaki sisanya perempuan. Mereka ada sekitar 8 kelompok yang tersebar dibeberapa tempat pembakaran batu gamping ini namun masih dalam area pertambangan. Tugas mereka memasukan batu-batu gamping ke dalam cubluk, cubluk adalah tungku raksasa yang kalau dilihat dari atas mirip sumur dengan diameter 2-3 meter dengan kedalaman 3-4 meter berupa galian tanah tanpa semen dan bila dilihat dari bawah mirip tungku dapur (angklo raksasa) , tidak asal memasukan tetapi ditata sedemikian rupa, para perempuan tugasnya mendekatkan batu kedekat bibir dan begitu sampai dibibir cubluk batu langsung diterima oleh 3 orang lelaki yang berada dalam cubluk, tugas lelaki ini adalah menerima batu dari para perempuan dan menata memutar mulai dari dasar cubluk ditumpuk keatas mengitari dinding cubluk, semakin ke atas batu ditata ke arah tengan menyerupai rumah orang kutup bila dilihat dari bawah, batu ditata tidak boleh terlalu rapat yang maksudnya supaya api dari bawah bisa rata sampai batu paling atas. Kelihatanya sangat mudah dan sederhana namun tanpa pengaman, batu-batu bermacam-macam bentuk dan ukuran ini cuma ditautkan mirip membikin candi, bahayanya bisa runtuh sewaktu-waktu bila salah satu batu ini lepas atau anjlok yang bisa mengubur orang yang sedang bekerja didalam cubluk. Setelah mencapai puncak batu ditutup dengan pasir yang diulet dengan tanah liat semacam lumpur.

Untuk 1 cubluk bisa memuat 5-6 rit batu gamping ( 5-6 dump truk), untuk 1 dump truk batu dibeli dengan harga 340 ribu.

Setiap kelompok ini bekerja berpindah-pindah dari cubluk satu ke cubluk lainya, jadi nyaris tidak pernah libur. Mereka bekerja borongan, untuk mengisi cubluk ini mereka mendapat borongan 150 ribu, sehari mereka bisa pindah sampai 3 cubluk. Untuk lelaki mendapat bagian 70 ribu sedangkan perempuan mendapatkan pembagian 50 ribu, dan sisanya untuk makanan dan minuman selama bekerja.

 

Setelah batu-batu masuk dan tertata didalam cubluk, kegiatan selanjutnya adalah pembakaran yang membutuhkan waktu 2 hari. Pembakaran memakai bahan bakar limbah kayu yang didapat dari limbah perusahan mebel atau penggergajian, limbah selipan padi berupa sekam, dedaunan bekas limbah daun minyak kayu putih yang didapat dari pabrik minyak kayu putih di Sukun Pulung, atau ranting ranting yang dibeli dari penduduk sekitar.

Kata pak Sarmo pemilik cubluk, pada proses pembakaran ini dia membutuhan 3 pekerja yang dibagi shif 3 jam sekali, tugas pekerja ini memasukan limbah kayu ini ke dalam tungku seperti gambar diatas, rata-rata tiap 2 meinit sekali harus memasukan dengan alat skrop kecil, kegiatan ini dilakukan terus menerus karena begitu limbah kayu dilempar kedalam langsung disambar bara api didalam cubluk, sebagai penganti kipas dibuat semacam blower yang digerakan oleh dinamo listrik yang disalurkan dimulut tungku, blower ini hidup selama 2 hari 2 malam. Untuk pekerja yang bertugas memasukan serbuk limbah kayu ini dibayar borongan, tiap orang dibayar 70 ribu untuk 2 hari pembakaran, rata-rata yang bekerja adalah perempuan dan sesekali pemilik cubluk seperti pak Sarmo ikut membantu.

Untuk satu rit limbah kayu (1 truk) pak Sarmo harus mengeluarkan uang 1,25 juta. Limbah ini sudah ada pemasoknya, yaitu dari sekitar eks karisedanan Madiun (madiun, ponorogo, ngawi, magetan, pacitan).

 

Bila sudah 2 hari dan bara api nyundul (sudah mencapai atas) sebagai pertanda kalau batu gamping sudah matang, namun proses belum berakhir, masih memerlukan waktu 1-2 hari untuk menunggu dinginnya. Setelah 2 hari selesainya pembakaran cubluk dibongkar, mula-mula dibuka penutup paling atas yang berupa tanah liat yang sudah menjadi serbuk mirip tumbukan batu bata untuk mengeluarkan sisa-sisa panas, baru batu diambil secara manual dari bawah (lobang tungku) dengan alat semacam penjepit untuk menghindari panas. Untuk pekerjaan ini membutuhkan 3 orang pekerja, 1 pekerja berada dalam cubluk, sedang 2 lainya berada dimulut tungku menerima bongkaran serta langsung memasukkan ke truk pengangkut. Tarif bongkar ini sekitar 300 ribu untuk 3 orang. Sedang serbuk kapur ditampung oleh pekerja wanita dan dimasukkan ke dalam karung untuk dijual tersendiri, seperti gambar diatas.

Perbukitan kapur ini milik pemerintah, namun disewakan per-kapling kepada masyarakat, eklporasi memakai bahan peledak yang harus dibeli pada dinas pertambangan yang berada di area pertambangan ini. Para penyewa kaplingan memperkerjakan 2-3 orang untuk mengebor memasukan bahan peledak. Dan harus pandai-pandai dalam menempatkan bahan peledak serta menatanya agar ledakan atau serbihan batu yang berguguran lebih banyak. Namun ini menurut pak Loso pemilik kapling untung-untungan, tinggal melihat keadaan struktur bebatuan yang diledakkan, pak Loso mempunyai 3 pekerja yang bertugas meledakkan, dan mempunyai 3 armada  dump truk untuk memasok batu-batu siap bakar pada pemilik cubluk. Per satu rit dump truk pak Loso menjual pada pemilik cubluk seharga 340 ribu. Untuk satu kapling dulunya ia membeli sekitar 15 juta dan bisa digugurkan sampai lebih 6 tahun karena berbentuk gunung.

Untuk orang yang belum terbiasa akan meras ngeri karena naik turun tebing yang tingginya lebih 20 meter tanpa pengaman, mereka merayap seakan menempel kayak cicak.

Di kampung ini unik, hampir semua penduduknya bermata pencaharian dari perkapuran ini, namun berbeda-beda jenisnya, selain yang saya ceritakan di atas, juga ada pencari kayu seperti mbah Usreg seperti gambar diatas, tiap hari pekerjaanya mencari ranting-ranting kayu untuk dijual kepada pemilik cubluk, untuk 1 bentel (ikat besar) dihargai 20 ribu, sehari mbah Usreg bisa mengumpulkan 2 bentel. Lumayan buat nambal kebutuhan saban harinya, karena untuk mengangkat batu sudah tidak kuat lagi seperti jaman mudanya dulu.

Ada bengkel truk, yang melayani perbaikan dari puluhan truk yang berlalu lalng beraktifitas di pertambangan ini, mereka menjadi jujukan para pemilik truk, dan para pemilik tak perlu repot jauh-jauh untuk menserviskan kendaraanya atau yang mengganti onderdil.

Banyaknya warung-warung sekitar jalan masuk dan sekitar cubluk oleh para perempuan sekitar sini, membuat mereka bekerja saling ketergantungan mirip mata rantai yang saling membutuhkan.

Namun hingar bingar dan suka cita mereka kian terancam, karena harga batu kapur semakin merosot dan semakin minim keuntungannya. Mereka kalah dengan pabrik-pabrik luar kota yang sudah menggunakan peralatan modern dan serba mesin dan sistem pembakaran canggih. Hanya satu semangat mereka keluarganya perlu makan, dan selama bukit kapur masih bisa ditambang mereka akan terus bertahan hidup.

 

*) Salam Kampret
*) Salam Koteka
*) Salam Kocek

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun