[caption id="attachment_364995" align="aligncenter" width="510" caption="Katini dan kopi tekluk, warung kopi legendaris di Ponorogo"][/caption]
Ponorogo, 08/05/2015
Jangan pernah bilang jago kopi kalau belum mencicipi secangkir kopi di warung kopinya mbah Tekluk ini. Ungkapan tersebut bukan berlebihan buat orang Ponorogo, kopi hitam yang pahitnya sampai nyethak sampai pangkal lidah, penyajiannya dalam secangkir dikasih bubuk kopi hampir separuh cangkir, sedikit gula, dan diseduh dengan air panas yang terus mendidih sejak warung ini buka sampai warung ini tutup. Pemanas airnya menggunakan arang kayu yang baranya merah membara, dan ini menjadi ke-khasan warung kopi ini.
Warung kopi ini berada didepan bekas stasiun tepatnya utara pasar Songgolangit, entah kapan warung ini mulai jualan, tapi menurut Katini (penjualnya) warung ini ada semenjak kereta api masih beroperasi di Ponorogo, ketika stasiun masih digunakan. Dulu yang jualan mertuanya, namun sekarang mertuanya sudah lanjut usia dia dan suaminya mewarisi warung kopi ini. Menurut orang-orang yang nongkrong disini nama Tekluk bukan nama sebenarnya, hanya nama julukan karena penjualnya dulu sudah tua dan sering ngantuk (tertidur sambil duduk) teklak-tekluk, sehingga akhirnya orang-orang menyebutnya warung kopi mbah Tekluk.
Menurut Katini si penjual, sampai sekarang yang menggoreng kopi masih mbah Tekluk sendiri, meski sudah lanjut menurutnya dia belum mau digantikan meski cara menggorengnya pun sudah ditularkan. Entahlah meski sudah tidak bisa kemana-mana tetapi untuk urusan mengoreng kopi (sangrai) masih jago. Bahkan selain Katini dan suaminya, cucu-cucu yang lain juga mengikuti jejaknya berjualan kopi, diantarnaya yu Boinen yang jualan di barat pasar Songgolangit depan kantor Pertanian, mbak Riana yang jualan ditempat ini ketika menjelang subuh sampai tengah hari. Ketiganya mempunyai citra rasa sama karena berasal dari resep yang sama, namun orang-orang penggila kopi lebih merasa mantap ngopi di depan stasiun ini. Kata orang-orang kopinya galak.
Menurut Sugir (Sugianto) penikmat kopi di warungnya umumnya para orang tua, atau mania kopi, jarang-jarang anak-anak sekolah seperti diwarung-warung akringan yang kini membanjiri kota Ponorogo. Kalau belum terbiasa minum kopi disini akan merasa mual dan mata mencicil tidak bisa tidur, maka dari itu sebelum disajikan pesan kopi yang bubuk kopinya sedikit dan ditambah gula. Bagi yang sudah terbiasa minum kopi di warung ini akan merasa hambar bila minum kopi ditempat lainya. seperti halnya saya, mengenal kopi ini tahun 90-an ketika saya masih SMA, yang dulu masih mbah Tekluk sendiri yang jualan. Dan hanya minum kopi ke tempat lain bila terpaksa ditempat ini ramai atau tutup.
Jadi saya sangat hapal siapa saja yang sering nongkrong ditempat ini, tempat ini ramai selain karena kopinya juga karena harganya murah, Â secangkir kopi hanya seribu rupiah dan jajanan disini hanya lima ratusan rupiah per biji. Sehingga hampir semua lapisan masyarakat bisa menjangkau. Bukan hanya rakyat namun para pejabat juga sering nongkrong disini entah ada kepentingan apa saya tidak tahu.
Dulu almarhum bupati Muhadi sering ngopi disini, kesenangannya berada dipojok dekat angklo menghadap ke barat dengan duduk beralaskan dingklik sambil merokok kebal-kebul, dengan begitu jarang orang meneganalinya, selain tempatnya gelap jaket hitam dan topinya menutupi sehingga sulit dikenali.
Pernah suatu kali saya ingin menyapa, namun beliau buru-buru menaruh jari telunjuknya didepan bibirnya pertanda saya disuruh diam, saya sangat hapal karena beliau keponakan dari mertua saya (istrinya sepupu istri saya). Dan ketika bertemu di lain waktu pada acara keluarga beliau bilang, selain suka kopi dia ingin mendengarkan suara orang kecil, suara rakyatnya, aspirasi masyarakat bawah. Banyak tukang becak, makelar, petani, pedagang karena dekat pasar, bara buruh, para pengendara yang sering ngopi di warung ini dimanfatkan beliau untuk menyerap aspirasi. Karena kalau sudah nongkrong di warung ini terasa bebas berbicara dan bebas berpendapat sesama pengunjung lainya. Bahkan penjualnya diawal juga tidak mengenalinya, namun akhir-akhir banyak orang mengenalinya dan jarang ngopi di warung ini lagi.
Semenjak itu banyak pejabat dan anggota dewan yang nongkrong di warung ini, terlebih menjelang pemilu atau pilkada, dan sering kali warung ini diboking, tahu-tahu tidak dibayar karena telah dibayar seseorang.