[caption id="attachment_364742" align="aligncenter" width="510" caption="pintu gerbang masji Tegalsari sebelah timur"]
Kita kembali ke masjid, tiang-tiang masjid dari pohon jati besar-besar mirip dengan masjid keraton Surakarta, karena sejarah masjid ini tidak bisa dipisahkan dengan keraton Surakarta. Menurut buku Babad Ponorogo Jilid V pada tahun 1742 Sinuwun Paku Buwono II mengungsi ke wilayah Ponorogo karena serangan pasukan kuning, dan beliau mendapat dorongan moril dan siraman rohani dari Kyai Ageng Besari. Dan pada tahun 1743 kerajaan Surakarta bisa direbut kembali, dan untuk membalas budi Kyai Ageng Besari diangkat menjadi bupati namun ditolaknya, karena lebih memilih menjadi ulama untuk terus mengajarkan agama, untuk itu Sinuwun memberikan Tegalsari sebagai daerah perdikan (bebas dari pajak). Dan cucu beliau Kyai Hasan Besari juga menikah dengan putri Sinuwun, dan anak turunya menjadi Bupati Ponorogo.
Di masjid ini masih bisa kita ketemukan bedug besar terbuat dari kayu jati, kayu jatinya masih asli hanya kulit lembunya yang sduah diganti karena sudah pernah jebol, kayu jati besar bahan beduk ini berasal dari hutan angker perbatasan antara Pulung dan Sooko daerah Sole Gunung Tukul, bagian bawah dipakai bedug masjid agung dan atasnya dipakai bedug ditegal sari ini. Dan sampai kini bekas tebangan jati tersebut masih bisa ditemui berubah menjadi belik (kolam), bekas kayu jati tersebut terus mengeluarkan air jenih yang terus mengalir sampai sekarang.
Di bagian depan masjid bisa ditemui batu besar persegi 2 buah, batu ini dipercaya sering dipakai sujud ketika Kyai Ageng Mohammad Besari sholat. Sampai kini orang banyak berebut untuk bermunajad diatas batu tersebut.
[caption id="attachment_364747" align="aligncenter" width="510" caption="mbah Sudjak (berbaju batik) juru kunci makam"]
[caption id="attachment_364744" align="aligncenter" width="510" caption="menjelang malam peziarah terus berdatangan"]
Menurut mbah Sudjak Mbah Ageng Besari dulu ahli ibadah, suka tirakat, jago solawatan,hingga sekarang di masjid ini orang banyak=banyak membaca solawa sebagai amalan, konon ketika beliau membaca solawat bisa terdengan sampai keraton Surakarta.
"Ngibadah kuwi yo ngibadah ora usah pengin reno-reno, niate yo ngibadah, masio awake dewe diwajibne nyenyuwun anaging kudu nggawe unggah ungguh karo Gustine, Gusti luwih ngerti opo sing dibutuhne umate, ngibadaho niat ngibadah ora usah njaluk reno-reno" begitu salah satu pesan dari beliau yang turun temurun menjadi cerita buat anak cucu.
"Ibarat omah sholat kuwi omahe, lan solawat iku isene omah" pesan mbah Sudjak seperti apa yang telah ia peroleh dari pendahulunya.
Dan semakin malam para peziarah semakin ramai, seringkali menjadi satu paket perjalanan wisata religi ketika berkunjung ke wali songo, para peziarah paling banyak menggunakan speda motor dan mobil, bus-bus wisata paling banyak dari rombongan Tulungagung, Trenggalek, Lumajang, Malang, Blitar, Kediri, Madura, Banyuwangi.
Luar Propinsi dari Jawa Tengah, Kalimantan, Sumatra. Kebanyakan dari anak cucu beliau dan para santri keturunan beliau.