Ponorogo, 12/04/2015
Menjelang penutupan kompleks pelacuranKedung-Banteng, tempat pelacuran terbesar di Ponorogo bahkan eks karisedenan Madiun bulan Juli mendatang menggelitik saya untuk bernostalgia dengan tempat tempat pelacuran yang ada di Ponorogo. Bernostalgia dalam artian hanya sekedar lewat, bertanya, ngobrol, dan mengumpulkan cerita-cerita unik. Selain Kedung Banteng yang sebentar lagi ditutup, masih ada pasar Janti Mlilir sebelah selatan jembatan perbatasan Ponorogo-Madiun yang masih menggeliat meski hanya di warung-warung di dalam pasar, sekitar terminal lama Ponorogo yang masih aktif meski cuma malam hari, alun-alun Ponorogo di malam hari, Bancangan yang sudah mati, pasar Danyang yang juga sudah hampir mati, dan yang terakhir yang saya kunjungi tadi sore Gesing di desa Pomahan masih dalam area kecematan Pulung.
Saya langsung menuju warung yang dulu sering buat para sopir berhenti makan, minum, dan cangkrukan. Lokasi ini berdekatan dengan tempat penggalian tambang pasir di daerah Sisir Pomahan. Namun warung tersebut sekarang tingal puing-puing seperti rumah hantu dibarat kuburan perbatasan desa Kesugihan dengan Pomahan.
Saya-pun melanjutkan pencarian saya ke sekitar perempatan menuju Sabil dan ke Telaga Ngebel, suasana sepi berbeda dengan 10-an tahun lalu, banyak truk-truk pengankut pasir serta mobil ber plat luar kota mangkal di sini. Akhirnya saya memutar kembali ke arah warung makan yang dulu sering menjadi jujukan. Bertanya pada pemilik warung tentang kegiatan di Gesing ini.
"Sudah banyak yang tua mas, dan ndak ada generasi penerus....." jawabnya, dia langsung tahu apa maksut pertanyaan saya.
"La yu Bo---- Â dan anaknya?" tanya saya lagi.
"Lik Bo---- sudah meninggal, dan anaknya Mur---- kerja di Surabaya mas, pokok ceritanya sudah tamat mas, apalagi didekatnya sekarang didirikan masjid." jawabnya panjang.
Masih lekat diingatan saya, dulu area ini masih menjadi cakupan wilayah tempat saya bekerja, dulu tahun 1995-an saya pegawai yang paling muda dan saya kebagian tugas imunisasi dan posyandu keliling sebelum wilayah kerja puskesmas kami di bagi.
Dari pegawai-pegawai tua saya mendapat cerita bila ditempat ini menjadi warung remang-remang, bahkan terang-terangan. Seringkali saya disuruh nunggu di posyandu atau warung dan teman saya tersebut menyelinap sebentar, belakangan teman saya tersebut masuk di salah satu rumah yang sudah menjadi langganannya. Dan sorenya saya sering diajak teman-teman saya (bekas teman SMP) yang bekerja sebagai sopir angkutan penumpang jurusan Pulung-Kesugihan. Seringkali antar jemput dicarter oleh penghuni warung ini atau mengantar jemput lelaki pelanggan di daerah ini. Paginya di antar dan sore harinya sekitar jam 4-5 sore dijemput, maklum belum ada ponsel seperti sekarang ini, dan kendaraan pribadi masih langka.
Gesing ini dulu terkenal seperti kehidupan bebas, ada beberapa suami yang merelakan istri atau anaknya dipakai tamu. Sementara suami atau orang tuanya bekerja di sawah.