Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menjelang Penutupan Kompleks Pelacuran Kedung Banteng

10 April 2015   19:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:16 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_360133" align="aligncenter" width="510" caption="gapura masuk dan petak-petak mirip perumnas, mungkin ini asal-asul disembuk komplek"][/caption]

Ponorogo, 10/04/2015

Awalnya tidak percaya tentang penutupan lokalisasi terbesar di karisedenan Madiun ini, meski lokasinya diujung barat Ponorogo lokalisasi ini yang terbesar dan terbanyak penghuninya di daerah eks karisedenan Madiun (Madiun Kota, Madiun Kabupaten, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, dan Magetan). Namun setelah bertemu dan mendapat cerita dari salah salah satu kenalan yang menjadi penghuni disana.

Orang Ponorogo lebih suka menyebuk 'komplek', lebih ngetop pergi ke komplek dari pada pergi ke tempat pelacuran. Entah apa sebabnya, mungkin bangunan lokalisasi yang mirip komplek perumahan yang akhirnya disebut begitu, bangunan-bangunan tersebut ada gapura masuk dan begitu masuk akan ada gang-gang mirip perumahan, yang rumahnya berderet-deret. Jangan pernah mengatakan akan pergi ke komplek kalau di Ponorogo, oarang akan langsung menyimpulkan anda akan melacur atau mencari pelacur.

Menurut teman saya pada bulan Agustus 2014 jumplah penghuni 150 psk, dan terdiri dari 35 wuwung (induk semang). Jadi tiap wuwung (rumah) terdiri dari 4-7 psk. namun ada juga yang 2 wuwung digabung menjadi 1. Namun sekarang jumlahnya meningkat setelah Dolly dibubarkan. Jumlahnya jadi 200-an namun setelah diferikasi tinggal 176 psk.

Menurut teman saya tiap psk akan mendapat pesangon atau modal kerja 5 juta, ini berdasar nama sesuai dengan ktp, sementara eks Dolly yang pernah menerima dan berjanji tidak menjual diri lagi tidak mendapatkan pesangon. Bahkan mereka menghindar untuk mendapat pesangon tersebut. Penutupan ini berdasarkan Pergub no 460/7705/031/2014

Tempat pelacuran ini  ada sejak tahun 1981/ 1982 an, ini merupakan relokasi dari pelacuran Watoe Dakon ditimur kota. Tempat pelacuran ini sebenarnya berada diujung barat kabupaten Ponorogo, dan terpencil. Namun begitu kondisi sekarang sudah hampir mepet dengan rumah-rumah penduduk, semakin berkembang dan ramainya komplek Kedung Banteng ini sedikit banyak dimanfaatkan penduduk sekitar menjadi sumber penghidupan, seperti ojek dan jualan.

Banyak anak kecil usia sekolah yang keluar masuk di komplek ini ketika saya lewat kesana, miris sebenarnya melihat situasi tersebut. Mereka sudah terbiasa dengan keadaanya di sekitarnya dan tak menghiraukan lagi olokan teman-teman seusianya di sekolah tentang pekerjaan orang tuanya sebagai germo. Mereka anak-anak germo pemilik wuwungan, pemilik kamar. Karena orang tua mereka sudah menjadi penduduk tetap di desa Kedung Banteng ini.

[caption id="attachment_360135" align="aligncenter" width="510" caption="papan nama dari semen sebagai batas antara komplek pelacuran dengan warga"]

14286634541799714748
14286634541799714748
[/caption]

Komplek pelacuran di Kedung Banteng ini bisa saya katakan masih  tradisional, karena yang modern akan menjajakan diri di kota dengan semakin menjamurnya hotel dan tempat hiburan malam. Tradisional mulai cara berpakaian, hiburan yang mereka berikan, sampai para pelanggan yang datang. umumnya untuk kelas menengah ke bawah. Namun begitu di kedung Banteng ini masih mendingan dibanding tempat pelacuran di Ponorogo lainnya, seperti pasar Janti Mlilir, bekas terminal lama, gang Larasati, dan sekitaran alun-alun. Sementara tempat fenomenal lainya sudah mulai meredup Bancangan dan Gesing yang akan saya tulis di judul lain.

Kebetulan 2 hari yang lalu bertemu dengan bekas penghuni wisma di pusat pembelanjaan di Ponorogo, Las dulu dia penghuni wisma di Kedung Banteng mulai tahun 2000-an, perkenalan saya juga tidak sengaja ketika dia kecelakaan di dekat  alas Sukun, ojek yang dikendarainya bertabrakan dengan pengendara yang mabuk yang datang berlawanan arah. Dan pengojeknya itu teman SMP saya yang kala itu sudah menjadil langganan Las untuk mengantar dan menjeputnya di komplek Kedung Banteng.

Dia menuturkan bahwa sudah 6 bulan ini dia sudah tidak di Kedung Banteng, dia sekarang sering dipesan lewat sms atau bbm. Dan tinggal menujut tempat kesepakatan ketemuan, dengan begini dia bisa tinggal di rumahnya sambil mengasuh anak dan suaminya. Dan cara ini banyak diikuti teman-temannya.

"Kok ndak nungu pesangon?" tanya saya.

"Menerima pesangon sama saja bunuh diri, karena teregristasi, mereka (petugas) tahu tempat tinggal kita" jawabnya. Banyak dari suami mereka yang mengetahui pekarjaannya bahkan pekerjaan yang dilakoni atas seijin suaminya. Las sendiri mendapatkan suami di Kedung Banteng juga, dia pelanggannya dulu. Miris...

[caption id="attachment_360139" align="aligncenter" width="510" caption="tamu keluar masuk, biasanya kalau bermobil datang serombongan 5-8 orang, dan mencari mansa sendiri-sendiri"]

1428666635614520850
1428666635614520850
[/caption]

Teman saya tahun lalu mengambil penelitian di Lokalisasi Kedung Banteng ini, penelitihan buat skripsi buat persyaratan kelulusan di kampus kami dan kebetulan saya pernah beberapa kali mengantarnya. Dari jenis pendidikan rata-rata SLTP, dari segi usia rentang 18-40 tahun. Mereka berasal dari Ponorogo, Madiun, Wonogori, dan Tulungagung. Mereka datang atas saran atau ajakan teman yang sebelumnya sudah berada di komplek ini. Dari sekian banyak psk tidak melulu alasan ekonomi mereka melacurkan diri. Rata-rata mereka akan pulang ke tempat asalnya seminggu atau 2 minggu sekali. Dan tiap hari rabu ada pemeriksaan kesehatan dari puskesmas Sukorejo dan dari Dinas Kesehatan.

[caption id="attachment_360141" align="aligncenter" width="510" caption="potret mereka dari balik kaca mobil "]

142866725427343266
142866725427343266
[/caption]

Tempat ini buka mulai jam 10 pagi sampai malam jam 12-an. Para pelanggan berasal dari Ponorogo dan sekitar seprti Madiun, Magetan, dan Wongiri . karena Kedung Banteng ini berada di ujung Ponorogo yang mudah dijangkau dari daerah-daerah tersebut.

Berita penutupan ini sudah mereka terima, dan rencana bulan Juli 2015 ini tempat ini akan resmi ditutup. Tidak seperti berita di koran yang meberitakan bulan depan.

Biasanya para pelanggan orang-orang lama, dan ketika datang ditempat ini juga langsung mencari psk yang sudah menjadi langganannya, mereka janjian via telephon atau sms. Makanya dari sebagian mereka ditutup dan tidak ditutup mereka biasa-biasa saja. Karena dia bisa menjajakan diri lewat teknologi ponsel. Beda lagi tentunya bagi germo serta induk semang mereka akan kehilangan anak-anak yang selama ini menghidupinya.

Ditutup salah ndak ditup juga salah, di bikin tempat resmi salah dan dibiarkan dijalanan juga salah, Sebar repot pemerintah. Sementara geliat penularan HIV dan AIDS di Ponorogo sudah mulai menggeliat.

Semoga penutupan lokalisasi 'komplek' Kedung Banteng di Ponorogo ini membawa kebaikan bagi penghuni, masyarakat sekitar dan Ponorogo pada umumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun