[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Misnatun dan temannya berpose"][/caption]
SARIYEM tak sendiri, masih ada puluhan temannya sesama perempuan yang berprofesi seperti dirinya. Meski usianya tak lagi muda namun punggung dan langkah kakinya selayaknya remaja belasan tahun. Menjadi kuli panggul bukanlah cita-citanya namun pekerjaan ini telah ia geluti sejak tahun 1974-an. Pasar Songgolangit (Ponorogo) menjadi tumpuan hidup keluarganya, begitu juga suaminya hidup dari hiruk pikuknya pasar. Namun suaminya jauh lebih banyak pendapatannya dibanding dirinya, suaminya kuli panggul borongan, dalam setiap bongkar muatan ia kerjakan bersama temannya dan hasilnya dibagi sama dengan temannya.
[caption id="" align="aligncenter" width="482" caption="Sariyem"]
Lain lagi dengan Misnatun, ia tergolong muda di antara teman-temannya, badannya gemuk dan tegap sehingga melahap setiap beban yang orang berikan. Namun ia tak serakah akan pekerjaan, dia selalu bagi-bagi kerjaan meski dia paling kuat di antara teman-temannya.
[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Misnatun, relatif masih muda dibanding teman-temannya"]
Begitu halnya mbah Jemirah, meski usianya hampir 70-an tahun ia masih sanggup menggendong satu atau dua sak beras dalam sekali gendong, usia tua tak menghalanginya untuk tetap bekerja.
Mereka rukun tak pernah berebut pelanggan dalam bekerja, rata-rata rumah mereka berdekatan, bahkan tak jarang di antara mereka masih sanak saudara, bahkan satu keluarga.
Selain menjadi kuli panggul mbah Boyami ini membuat sapu lidi yang dibuatnya di rumah lalu dibawanya ke pasar dan dijajakannya disela-sela pekerjaannya. Segepok sapu lidi ia hargai 3 ribu rupiah.