Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

[kampretjebul4] Pasar Lanang dan Pasar Wedok di Ponorogo yang Kian Terancam

28 Maret 2015   21:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:51 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_406088" align="aligncenter" width="620" caption="Pasar Songgolangit, Pasar Legi, Pasar Wedok apapun namanya ini merupakan pasar induk dan pasar terbesar di Ponorogo"][/caption]

Ponorogo, 28/03/2015

Banyak pengunjung yang tidak tahu nama pasar induk di Ponorogo ini, karena namanya relatif baru dan sekitar 10-an tahun terakhir nama itu digunakan, setelah peristiwa kebakaran pasar dan dibangun menjadi 2 lantai. Nama Songgolangit diambil dari legenda Ponorogo putri jaman kerajaan sebelum berdirinya Ponorogo. Maka dari banyak pengunjung yang tidak mengetahui meski saban hari berkunjung ke pasar dan papan nama  Pasar Songgolangit terpampang di pintu masuk utama. Orang-orang lebih suka dengan sebutan nama lama yaitu Pasar Legi.

Pasar Legi ini mulai ada pada masa Temenggung Wiryodiningrat, awalnya tempat mangkalnya penjual bernung, bernung adalah kulit buah maja yang keras dan ulet tidak gampang pecah, isinya dibuang dan diberi lubang dua kemudian diberi tali, bernung ini dipakai untuk mengambil air mungkin kalau sekarang mirip timba atau ember. Dan Akhirnya pasar ini disebut pasar Mernung sebelum terkenal menjadi Pasar Legi, dan bersamaan pindahnya ibu kota kabupaten ponorogo pasar ini menjadi pasar induk, sedangkan pasar induk yang lama sampai sekarang masih hidup meski semakin sepi yaitu Pasar Pon di kota sebelah timur.

Dan Pasar legi ini ada 2 tempat, yang satu sebelah selatan belakang pos polisi (barat daya), sedang satunya lagi ada di seberangnya (tenggara) dari bundaran lampu merah perempatan Pasar legi. Dan orang jaman dulu tidak mau ribet menyebutnya, Pasar Lanang untuk pasar yang berada di belakang pos polisi ini, dan Pasar Wedok untuk pasar yang berada di seberangnya.

Ini ceritanya mengapa orang menyebut Pasar Wedok dan satunya Pasar Lanang.

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Pasar wedok atau pasar perempuan, bukan menjual perempuan tapi pasar ini menyediakan barang-barang konsumsi, barang dapur, urusan perempuan"]

[/caption]

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="sayur mayur dan kebutuhan sehari-hari"]

[/caption]

Pasar wedok atau pasar perempuan, bukan menjual perempuan tapi di pasar ini yang dijual aneka kebutuha para ibu-ibu (para perempuan), barang-barang konsumsi, barang dapur. Kebutuhan pokok, beras, gula, ketan, minyak, sayur, ikan, daging, ayam, kelapa, dan aneka kebutuhan dapur lainya sampai alat-alat rumah tangga yang berhubungan dengan perempuan.

Pasar ini buka mulai jam 7 pagi sampai jam 5 sore, para penjual didalam pasar ini tidak membawa pulang daganganya, daganganya ditinggal dilapak masing=masing dan ditutup memakai plastik, dan pintu pasar dikunci dan dijaga ketika malam tiba.

Namun begitu pelatarannya kalau malam masih bisa buat jualan kuliner khas Ponorogo yang buka semalaman, di parkiran depan mulai barat sampai ke selatan.

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="daging, ikan, dan tak melulu yang jualan wanita, tapi urusan barang dapur"]

[/caption]

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="kelapa didatangkan dari daerah Trenggalek dan Tulungagung"]

[/caption]

Pasar ini merupakan pasar terbesar di Ponorogo, dan dulu merupakan pusat perdagangan di wilyah mataraman (Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Magetan, Madiun), posisinya ditengah diantar kabupaten-kabupaten tersebut. Dulu hanya satu lantai, setelah terbakar pada tahun 2000-an pasar ini dibangun menjadi 2 lantai. Ada pro kontra tentang kebakaran ini, konon sengaja dibakar karena para pedagang didalamnya susuah diatur, dan pasar padat dan kumuh. Tapi entahlah kala itu banyak pasar besar di Indonesia yang terbakar, namun isue itu menjadi isue nasional dimana pemabakaran pasar dimotif-i proyek pembangunan pasar selanjutnya. Entahlah.......

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="penjual meluber sampai jalan raya dan dibekas stasiun KA"]

[/caption]

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="sama-sama legal, didalam pasar maupun di pinggir jalanan tetap bayar retribusi"]

[/caption]

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="pasar di bekas stasiun KA dan jalanan ini ramai di pagi hari bikin jalanan macet, sementara dalam pasar induk sepi"]

[/caption]

Paska kebakaran didirikan pasar darurat di bekas terminal, banyak pedagang yang frustasi selain kehilangan modal karena daganganya habis terbakar masih harus beradaptasi lagi dengan pasar darurat dimana situasi dan kondisinya tidak seperti di pasar sebelumnya.

Bersamaan didirikan pasar darurat, diutara pasar yang terbakar ini ada pasar krempyeng pasar sayur di bekas stasiun KA dan bekas kantor pengadilan niaga (sekarang sudah jadi aset pemda dan di jadikan pasar juga). Pasar inipun semakin hari semakin ramai dan ramainya-pun hampir menyamai pasar darurat yang berada di bekas terminal.

Antusias para pedagang ketika kembali menempati pasar setelah rampung dibangun paska terbakar tinggi, nama pasar-pun dirumah menjadi Pasar Songgolangit, satu tahun dua tahun ramai, begitu juga sampai tahun ke sepuluhan. Namun bersamaan ramainya perdagangan di dalam pasar Songgolangit, perdagangan yang berada diluar dijalanan dan di bekas stasiun juga mengalami peningkatan semakin pesat. Kalau didalam pasar Songgolangit buka jam 7 pagi sampai jam 5 sore, tapi pasar dijalanan ini nyaris buka 24 jam.

Dan ini membuat perdagangan didalam pasar resmi semakin menurun, keluh para pedagang di dalam. Karena barang-barang yang dijual diluar  sama dengan yang dijual di dalam pasar.

Beda lagi bagi para pembeli lebih mudah beli di luar tinggal parkir kendaraan dan turun langsung bisa memilih barang belanjaan yang diperlukan tanpa harus berjalan jauh ke dalam pasar, apalagi naik turun tangga. Dan orang yang jualan di luar ini selalu ada, baik ketika subuh orang mau masak, ketika berangkat kerja, ketika istirahat kerja, sepulang kerja, sore menjelang persiapan makan malam, bahkan sampai larut malam.

Bagi konsumen ini adalah kemajuan dimana semakin mudah dalam berbelanja, sementara bagi pedagang di dalam pasar yang membayar sewa lapak mahal ini merupakan awal kiamat, apalagi munculnya maal mall besar di Ponorogo juga akan mempercepat kehancuran mereka.

Tapi siapa yang salah? Pemda yang melakukan pembiaran? atau konsumen yang mencari kemudahan? Atau jaman dimana pasar tradisional sudah waktunya mati pelan? Entahlah munculnya pasar-pasar baru di Ponorogo perlu disikapi selain masalah ekonomi tentunya masalah ketertiban dimana kemacetan terus mengancam dengan pasar-pasar yang agak liar dan agak ilegal seperti Pasar kudapan tambakbayan

[caption id="" align="aligncenter" width="336" caption="Pasar lanang menjual aneka kebutuhan lelaki (lanang)"]

[/caption]

Pasar Lanang pasar ini buka menjual lelaki, tetapi nemjual aneka kebutuha para lelaki, mulai peralatan pertanian, asesoris lelaki, baju khas Ponoragan, pernak-pernik lelaki seperti jam tangan, akik, pusaka seperti keris, barang antik dan lain sebagainya. Pakaian lelaki juga banyak, namun sejak dulu pasar ini kalau boleh saya sebut mirip pasar antik kayak loak.

Masih ingat ketika saya SMA-an dulu sering belanja di pasar ini, cari barang-barang bekas seperti sepatu, radio, jam, dan tas.

Dulu kalau hari Jumat anak-anak pondok libur banyak yang menjadikan pasar lanang ini tujuan mereka, mereka berjalan mulai dari terminal sampai pasar dan toko-toko, tempat makan, banyak juga diantaranya yang bersepeda onthel, persis seperti cerita dalam film "Negeri Lima Menara" yang menceritakan anak-anak pondok. Maaf mereka menjual barang-barangnya karena kehabisan bekal, barang barang tersebut dijual dibawah separuh harga, dulu kalau ingin membeli kami mencegat mereka di jalanan menuju pasar ini, karena kalau sudah masuk dalam pasar akan bersitegang dengan penadah didalam. Lumayan bisa memperoleh barah ber merk dengan harga murah. Maklum dulu belum ada komunikasi seluler dan atm seperti sekarang, menunggu kiriman harus menunggu waktu seminggu lebih.

Bagaimana kondisi pasar lanang sekarang? Lebih mengenaskan, kolap hampir mati, banyak pemilik lapak di halaman depan yang menutup lapaknya dan memilih tidak berjualan karena terus merugi karena sepi. Sementara didalam tinggal para penjahit-penjahi tua dengan mesin jahit tuanya menunggu para pelanggan yang ingin menambal celana atau mengecilkan celananya. Dan penjual baju tradisional seperti jarik dan kebaya yang makin hari makin sepi peminatnya.

Cerita pasar lanang dan para penjahit antik akan saya ceritakan lagi di  Pasar Lanang buka di lik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun