Bagi konsumen ini adalah kemajuan dimana semakin mudah dalam berbelanja, sementara bagi pedagang di dalam pasar yang membayar sewa lapak mahal ini merupakan awal kiamat, apalagi munculnya maal mall besar di Ponorogo juga akan mempercepat kehancuran mereka.
Tapi siapa yang salah? Pemda yang melakukan pembiaran? atau konsumen yang mencari kemudahan? Atau jaman dimana pasar tradisional sudah waktunya mati pelan? Entahlah munculnya pasar-pasar baru di Ponorogo perlu disikapi selain masalah ekonomi tentunya masalah ketertiban dimana kemacetan terus mengancam dengan pasar-pasar yang agak liar dan agak ilegal seperti Pasar kudapan tambakbayan
[caption id="" align="aligncenter" width="336" caption="Pasar lanang menjual aneka kebutuhan lelaki (lanang)"]
Pasar Lanang pasar ini buka menjual lelaki, tetapi nemjual aneka kebutuha para lelaki, mulai peralatan pertanian, asesoris lelaki, baju khas Ponoragan, pernak-pernik lelaki seperti jam tangan, akik, pusaka seperti keris, barang antik dan lain sebagainya. Pakaian lelaki juga banyak, namun sejak dulu pasar ini kalau boleh saya sebut mirip pasar antik kayak loak.
Masih ingat ketika saya SMA-an dulu sering belanja di pasar ini, cari barang-barang bekas seperti sepatu, radio, jam, dan tas.
Dulu kalau hari Jumat anak-anak pondok libur banyak yang menjadikan pasar lanang ini tujuan mereka, mereka berjalan mulai dari terminal sampai pasar dan toko-toko, tempat makan, banyak juga diantaranya yang bersepeda onthel, persis seperti cerita dalam film "Negeri Lima Menara" yang menceritakan anak-anak pondok. Maaf mereka menjual barang-barangnya karena kehabisan bekal, barang barang tersebut dijual dibawah separuh harga, dulu kalau ingin membeli kami mencegat mereka di jalanan menuju pasar ini, karena kalau sudah masuk dalam pasar akan bersitegang dengan penadah didalam. Lumayan bisa memperoleh barah ber merk dengan harga murah. Maklum dulu belum ada komunikasi seluler dan atm seperti sekarang, menunggu kiriman harus menunggu waktu seminggu lebih.
Bagaimana kondisi pasar lanang sekarang? Lebih mengenaskan, kolap hampir mati, banyak pemilik lapak di halaman depan yang menutup lapaknya dan memilih tidak berjualan karena terus merugi karena sepi. Sementara didalam tinggal para penjahit-penjahi tua dengan mesin jahit tuanya menunggu para pelanggan yang ingin menambal celana atau mengecilkan celananya. Dan penjual baju tradisional seperti jarik dan kebaya yang makin hari makin sepi peminatnya.
Cerita pasar lanang dan para penjahit antik akan saya ceritakan lagi di  Pasar Lanang buka di lik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H