Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Negeri 5 Menara

7 Agustus 2011   02:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:02 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kamis kemarin setelah sholat subuh saya mengeluarkan motor dan seperti biasa meneteng kamera usang yang telah lama terbiasa menjadi kalung keseharian saya.

Sesampai di alun-alun sebelah timur jalan di blokade polisi, saya jadi penasaran pasti ada sesuatu, mau mendekat tapi tidak boleh, sehingga saya harus berkendara memutar masuk jalur selatan naik trotoar menembus dari dalam alun-alun, dan berhasil mendekat ternyata disitu ada 30-an truk besar yang membawa alat-alat mulai dari listrik, elektronik bahkan truk pakaian, semula saya mengira para pedagang musiman yang akan mulai menata lapaknya untuk jualan di alun-alun, seperti biasa setiap Ramadhan ada pasar malam di alun-alun sampai 15 Lebaran.

Setelah 1/2 jam orang-orang yang terbiasa jalan pagi sudah mulai berkerumun dan saya sudah mulai mendapat jawabannya, ternyata ada shoting film pantesan jalan dijaga polisi.

Dari sebagian krue ketika saya tanya rata malah menggeleng nggak mau menjawab, karena ratusan pekerja film itu harus berkejaran dengan waktu yang mungkin semakin mempet, dan mungkin 1 jam-an semua krue siap pada tempat dan tugasnya masing-masing, dan bagian security menghalau para penonton yang mulai memadati jalan alun-alun timur untuk mundur supaya tidak mengganggu jalannya syuting.

Tampak juru kamera, juru lampu serta peralatan komputer sudah nyala, dan tampak diujung jalan sebelah utara 5 sepeda pancal siap dikayuh, menuju tenpat kamera dan pemberi aba-aba , dan pas di depan Apollo teathrea pengendara sepeda paling depan berhenti dengan mengerem mendadak, "Kaiiiii.....iks........" sura rem sepeda itu mirip suara anjing yang kejepit. Sambil melihat gambar lebar yang terpampang pada tembok bioskop pengendara itu mulai berkata-kata. Tapi entah apa yang dikatakan karena dari tempat saya berdiri tak terdengar, namun kesempatan ini saya pergunakan untuk memotret, saya akali tidak memakai flash biar nggak menggangu, namun ada security yang tahu. "Maaf mas jangan motret pijaran lampunya mempengaruhi hasil gambar."  Namun saya sudah berhasil mendapatkan 5-7 gambar.

Dalam coustum pemain film mirip pakain santri-santri Gontor, begitu juga perilakunya, mungkinkah di bulan Ramadhan ini Pondok Modern Gontor bikin film yang bernuansa Islami? Saya harus cari jawabnya.

Sementara shoting diulang lagi sampai 7-8 kali, disitu dapat saya tangkap kira-kira menceritakan sekelompok pelajar pesantren sedang berangkat sekolah dan melewati gedung film, salah satu dari mereka berhenti karena penasaran ada gambar poster film yang terpampang di papan gambar bioskop, gambar itu seronok dan sexy sehingga menggoda mata salah satu anak pondok itu, dan mengajak teman lainnya untuk melihat gambar gratisan ini, mungkin hal beginian sangat tabu untuk kalangan pondok.

Hanya itu sekilas yang bisa saya tangkap dari apa yang saya lihat pagi itu, lalu saya penasaran mencari jawab harus buka laptop sesampai di rumah nanti, mungkin apa judul film itu, minimal temanya.

Pikiran saya melayang-layang mengaitkan adegan film itu dengan kebiasaan anak-anak pondok yang setiap hari Jum'at libur dan pergi beramai-ramai ke kota meski sekedar makan atau belanja, biasanya mereka singgah di Masjid Duwur, BRI karena dulu belum ada ATM seperti sekarang ini, dan makan di depot Marwa yang kala itu nuansanya Islami sehingga banyak disinggahi anak pondok.

Dan saya masih ingat kala itu yang sering disinggahi adalah pasar loak di belakang SMP 1, bukannya mau beli biasanya anak pondok akan menjual jam tangan, sepatu, atau radio saku, mungkin kiriman uang mereka dari orangtua belum sampai. Termasuk spatu Eagle kala itu berasal dari anak pondok yang kehabisan uang, dan sayapun kala itu gak bakalan kuat untuk beli sepatuan begituan wakakakakaka..

Jumat paginya ketika mau lewat jalan Sukarno-Hatta lagi-lagi polisi menghadang nggak boleh lewat, dan ketika saya tanya mengapa kok nggak boleh lewat? Pak polisi bilang ada shoting film Negeri 3 atau 5 Menara kelanjutan di alun-alun kemarin. Dan inilah yang bisa menjawab penasaran saya sejak Kamis kemarin.

Cerita itu diambil dari novel karya Ahmad Fuadi,

Novel ini bercerita tentang kehidupan 6 santri dari 6 daerah yang berbeda menuntut ilmu di Pondok Madani (PM) Gontor yang jauh dari rumah dan berhasil mewujudkan mimpi menggapai jendela dunia. Mereka adalah:

  1. Alif Fikri Chaniago dari Maninjau
  2. Raja Lubis dari Medan
  3. Said Jufri dari Surabaya
  4. Dulmajid dari Sumenep
  5. Atang dari Bandung
  6. Baso Salahuddin dari Gowa

Mereka sekolah, belajar dan berasrama dari kelas 1 sampai kelas 6. Kian hari mereka semakin akrab dan memiliki kegemaran yang sama yaitu duduk dibawah menara pondok madani. Dari kegemaran yang sama mereka menyebut diri mereka sebagai Sahibul Menara. Alif lahir di pinggir danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburubuah durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain sepak bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatra dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok  Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie .Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya, belajar di pondok. Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dia terheran-heran mendengar komentator sepak bola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.

Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Rajadari Medan Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep,Atang dari bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.

Sumber; wikipedia

[Telkomsel Ramadhanku]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun