[caption id="attachment_354521" align="aligncenter" width="510" caption="Andi dan ambulan jenasahnya"][/caption]
Pernah bercita-cita menjadi sopir jenazah?
Saya yakin pasti anda menggeleng, pekerjaan yang berkutat tidak jauh dengan mayat, orang berkesusahan, orang yang berduka dan sebagian besar orang mengangap menyeramkan. Namun hal itu sudah menjadi keseharian dan menjadi kewajiban bagi mas Andi, Anto, dan para sopir ambulan jenazah lainnya. Berikut ini kisah mas Andi dan mas Anto yang bekerja sebagai sopir ambulan jenazah di rumah sakit plat merah di Ponorogo.
[caption id="attachment_354522" align="aligncenter" width="510" caption="Menaikan jenasah ke ambulan, maaf foto agak jauh karena ndak etis bila mengenai keluarga dan jenasahnya"]
Sekitar 2 bulan yang lalu suami bulik saya meninggal dunia di rumah sakit, kebetulan anak-anak bulik saya itu berdomisili di luar kota semua. Sementara saudara yang lain menenangkan bulik yang sedang histeris dengan membawa bulik dengan mobil lain, sedangkan saya menemani mas Anto di mobil ambulan jenazah yang mengangkut jenazah paklik tersebut. Selain menemani sopir dalam perjalanan tugas saya sebagi penunjuk jalan.
Begitu keluar luar rumah sakir raungan sirne ambulan jenazah meraung-raung dan lampu sirene berputar-putar memecah kemacetan kota. Begitu melewati lampu merah suara sirene diperkeras oleh mas Anto, dan para pengendara lainya mengalah menepi dan membiarkan mobil jenazah lewat meski lampu merah. Terus begitu di setiap lampu merah yang dilewati. Di jalan lurus pun kendaraan lainpun harus mengalah. Jalan tanjakan dan turunan tajampun dilahapnya, seperti mas Anto sudah kenal setiap medan yang dilalui. Dan luar biasa jalan 50-an km yang biasa ditempuh dengan perjalanan 1 jam kali ini bisa ditempuh dengan waktu tidak ada 1/2 jam perjalanan. Resikonya saya mual-mual dan muntah begitu turun dari ambulan, mas Anto hanya tersenyum, karena nyaris sepanjang perjalanan minim sekali perkataan yang keluar, mungkin bentuk penghormatan kami pada jenasah paklik saya yang sedang membujur di belakang kami yang hanya dibatasi kaca yang bisa digeser. Sementara rombongan mobil yang membawa bulik belum juga nampak.
[caption id="attachment_354524" align="aligncenter" width="510" caption="kamar mayat, jadi kantornya"]
Setelah jenasah paklik diturunkan, saya dan mas Anto berpamitan untuk kembali ke kantor. Â Dan perjalan pulang ini kami baru bisa saling bercerita.
Mas Anto sudah mulai menjadi sopir ambulan sekitar tahun 90-an ketika saya kala itu masih sekolah di sekolah calon perawat, kami sudah akrab dan berkumpul lama dalam satu institusi.
"Awalnya ndak takut mas menjadi sopir jenazah?" tanya saya.
"Awale ya takut Tri.... lama-lama terbiasa......." jawabnya, diapun sejak dulu terbiasa memanggil saya Trie...