Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gajah-gajahan Sindiran buat Penguasa

4 September 2014   03:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:41 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="seni gajah gajahan"][/caption]

Bingung ketika mau memotret kesenian ini, motret dekat gajahnya tidak nampak, motret dari jauh supaya gajahnya nampak tapi gantian penunggangnya yang tidak nampak.

Sementara rombongan terus saja berjalan dan baru berhenti untuk menari agak lama ketika di perempatan atau pertigaan, setelah 2-3 lagu rombongan segera berjalan.

Diiringi musik perkusi yang mirip bedug kecil, kenong, dan gong suara jlegar-jlegur sayup-sayup sampai jauh, terlebih dikasih pengeras suara yang dipikul bergantian di bagian rombongan paling belakang.

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="penari perempuan di atas gajah gajahan"][/caption]

Bokong gajah megal-megol mengikuti tetabuhan yang disertai sholawatan, sholawatan ini menggunakan nada lagu-lagu dangdut yang sedang tren, "Aku rapopo", "Goyang Oplosan", "Kereta malam", dan lagu-lagu campur sari lainnya.

Syair lagu diubah dengan kata-kata dakwah, dan sesekali dengan syair aslinya. Telinga penonton pun sudah familier dengan lagu-lagu yang dibawakan meski bukan dengan syair aslinya. Ajakan beribadah, dan anjuran tidak berbuat dosa pada intinya, serta kritik-kritik pada keadaan dan situasi saat ini.

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Para pengiring ikut bernyanyi dan berjalan di depan, samping dan belakang gajah"][/caption]

Gajah-gajahan ini dipikul bergantian, satu di depan sebagai pencari jalan dan pengarah laku, sementara yang di belakang mengikuti dengan jalan maju dan bergerak ke kanan dan ke kiri biar bokong gajah bisa bergoyang megal-megol. Dan sesekali yang memikul bergantian, dengan masuk ke lobang di kaki depan dan belakang gajah. Dengan berpakaian hitam hitam pemikul tidak tampak, seakan-akan kaki gajah betulan.

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Gajah gajahan berjalan mengelilingi desa"][/caption] Mbah Pardi ketua rombongan ketika ditanya tentang makna hewan gajah dalam kesenian ini, mengatakan bahwa gajah adalah simbol penguasa, kesombongan, keserakahan, dan penindasan. Sedangkan anak kecil atau gadis penunggang melambangkan, ketidakberdayaan, orang kecil, rakyat, perempuan yang bisa menaklukkan penguasa. Mbah Pardi menambahkan awal mula seni gajah di desanya bermula dari nethek gugah sahur waktu puasa, dan selanjutnya berdasarkan hasil kesepakatan antarwarga dikembangkan menjadi  gajah-gajahan, gajah-gajahan ini menurutnya sudah ada di daerah lain sebelumnya, hanya dikembangkan karena untuk pakem sendiri tidak ada. Sebenarnya seni gajah-gajahan ini mengacu pada kitab suci Al Quran, yakni pada jaman Nabi Ibrahim AS pasukan gajah Raja Namrud dikalahkan burung Fil. [caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="berpakaian punakawan menjadi pengiring"][/caption]

Pengiring rata-rata para orang tua, para sespuh dusun atau desa, pakaian mereka pakaian khas Ponorogonan hitam hitam, ada pula yang memakai kostum punakawan sambil bernyanyi mereka berjoget gembira mengikuti tabuh tabuhan mengelilingi desa.

Mbah Kateno menambahkan, gajah ditunggangi anak kecil mengisyaratkan bahwa  penguasa atau jabatan tak selamanya langgeng, terbukti gajah sebesar itu kalah ditunggangi oleh anak kecil dan diarak keliling kampung.

Mbah Kateno menambahkan, gajah ditunggangi perempuan mengandung pengertian penguasa yang kalah oleh perempuan dan dijadikan bahan tontotan dan tertawaan dan diiring keliling kampung.

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="berpakaian khas Ponorogoan"][/caption]

Kesenian gajah-gajahan ini tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Ponorogo, namun yang paling banyak di daerah Jetis, Balong, dan Sambit. Sementara di daerah Ponorogo bagian utara berbentuk unta-untaan.

[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="pilosofi perempuan naik gajah, penguasa kalah dengan perempuan"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="penonton bergabung untuk joget"][/caption]

Selamat menikmati, sampai ketemu kembali dengan kesenian daerah lainnya, salam njepret.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun