Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kopi di Jawa 10 Tahun Lagi Punah

11 Oktober 2014   14:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:29 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_328450" align="aligncenter" width="600" caption="Kopi yang telah disangrai secara tradisional oleh petani"][/caption]

Tak berlebihan bila judul diatas saya pakai, karena makin hari lahan kebun kopi di Jawa semakin menyempit, banyak para petani yang engggan untuk menanam kopi kembali, banyaknya petani yang menebangi pohon kopinya yang telah hidup puluhan tahun, banyak petani yang mengalihkan laahannya untuk tanaman yang lebih produktif dan lebih menghasilkan uang.

[caption id="attachment_328451" align="aligncenter" width="600" caption="Tanaman cengkeh pengganti pohon kopi di daerah Pudak Ponorogo"]

141298478989573730
141298478989573730
[/caption]

Harga kopi yang tak kunjung membaik dibanding dengan harga cengkeh, membuat petani menebangi pohon kopinya diganti dengan tanaman cengkeh, harga kopi kering siap goreng yang berharga dalam kisaran 30-40 ribu jauh bila dibanding dengan harga cegkih kering yang di tingkat petani mencapai harga 140-180 ribu. Hektaran pohon kopi di Ponorogo, Madiun, Magetan, Karanganyar yang selama ini menjadi sentra penghasil kopi di daerah penulis sudah berubah menjadi lahan yang ditanami sayuran seperti kool, wortel, bawang putih bawang merah dan sebagainya yang tiap 3 bulan sekali bisa panen dan lebih bisa menghasilkan uang. Belum lagi di Daerah Banaran Jawa Tengah dan daerah Banyuwangi yang menjadi andalan penghasil kopi yang banyak diganti dengan tumbuuhan karet.

[caption id="attachment_328452" align="aligncenter" width="225" caption="Pohon kopi hanya disisakan dipinggir lahan, mirip sebagai pagar"]

14129848721045994191
14129848721045994191
[/caption]

[caption id="attachment_328453" align="aligncenter" width="225" caption="Pak Surip menebangi pohon kopinya dan menyisakan dipinggir lahan, dia lebih mengandalkan sayuran"]

14129849481322098800
14129849481322098800
[/caption]

[caption id="attachment_328454" align="aligncenter" width="600" caption="Dulunya lahan ini dipenuhi pohon kopi, namun kini hanya tersisa dipinggir lahan, sebagai pagar"]

14129850851679848506
14129850851679848506
[/caption]

Meski kopi Indonesia diakui masyarakat dunia menjadi kopi nomor 1 namun tidak serta merta begitu indahnya di tingkat petani, banyak benang kusut yang perlu diurai, mulai dari cara tanam, cara panen, cara pengeloloaan, sampai cara pendistribusiannya. Belum lagi dengan mudahnya tranportasi menjadikan kopi dari Sumatra lebih gampang membajiri masuk ke Jawa, harga kopi dari Sumatra ditingkat pedagang hanya 20-25 ribu membuat semakin hancurlah kopi di pulau Jawa.

Meski di tiap daerah mempunyai dan citra rasa tentang kopi berdasar demografis. Semakin tinggi daerah tempat kopi tumbuh semakin mempunyai mempunyai ciri tersendiri, meski jenis dan bibit kopinya sama. Seperti halnya sama-sama jenis Arabika atau Robusta berbeda citra rasa dan aromanya meski ditanam dalam satu daerah kabupaten meski hanya beda ketinggian daerah tempat penanaman.

[caption id="attachment_328456" align="aligncenter" width="600" caption="Mas Iwan jauh-jauh berkeliling demi kecintaannya pada kopi Indonesia"]

1412985851456678622
1412985851456678622
[/caption]

[caption id="attachment_328457" align="aligncenter" width="600" caption="Penulis menikmati kopi di Wijsoen Coffe milik Mas Nugroho"]

14129859271472720076
14129859271472720076
[/caption]

Dia adalah Mas Iwan dari Malang, berkeliling Jawa demi kopi, dia mendatangi perkebunan kopi dan para petani di desa-desa untuk menyemangati untuk mempertahankan kopinya, dia datang ke Ponorogo mampir di kedai ini (Wijsoen Coffe) milik mas Nugroho setelah di Ponorogo banyak kopi lokal yang bercitra rasa menjanjikan.

Kami naik dan turun gunung mendatangi petani kopi, meyakinkan bila kopi meraka layak dijual dan bisa menjadi kopi andalan bila cara mengelolanya benar. Karena selama ini petani hanya dinikmati sendiri bukan dijual. Kami membeli 1-2 kg untuk sample dan oleh mas Iwan dan mas Nugroho di rosting di Malang, dan kami kembali ke petani untuk menyajikan kopi yang telah dibeli darinya. Para petani itu kaget karena sudah tidak mengenali kopinya lagi, rasa dan aroma jauh berbeda dengan yang para petani hasilkan. Para petani itu mulai paham dengan yang kami maksutkan, dan akan mengelola kopinya sesuai dengan pengarahan mas Iwan, untuk menyendirikan jenis kopi berdasar jenis, pohon, dan tempat panen untuk lebih mudah memberi lebel atau mengkategori jenis kopi tersebut.

[caption id="attachment_328459" align="aligncenter" width="600" caption="Kopi hasil panenan petani"]

14129866171502923806
14129866171502923806
[/caption]

Tak ada kata terlambat asal ada kemauan dan kepedulian, kalau bukan kita siapa lagi yang akan melestarikan kopi. Dan yakin lah setiap hari kopi masih dinikmati mirip BBM yang setiap hari dikonsumsi.

"Selamat Ngopi Indonesiaku"

"Selamatkan Kopi Indonesiaku"

*) Salam Njepret

*) Salam Ngopi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun