[caption id="attachment_332253" align="aligncenter" width="600" caption="Barong yang masih digantung di belakang panggung, mirip kepala reyog"][/caption]
Hari pertama saya di Pulau Bali dimulai dengan mengunjungi Sanggar Tari Uma Dewi yang berada di Jl. Waribang No 21 Kesiman Denpasar. Pukul 7 pagi sudah rapi mempersiapkan diri menuju lokasi dan segera berangkat, karena takut terjebak macet. Meski jalanan padat merayap namun sesampai di lokasi masih terlalu pagi, karena acara dimulai pukul 9:30. Sambil menunggu, saya berjalan-jalan menuju balik panggung (di ruang ganti). Masih tampak 5-7 orang yang sebagian masih membersihkan peralatan yang terkena debu. Sebagian lagi mempersiapkan sesaji. Dan sebagian lagi masih bertiduran di balai-balai setelah perjalanan jauh bermotoran.
[caption id="attachment_332266" align="aligncenter" width="600" caption="Bli Made Sartika, dia menjelasakan perbedaan pekerja seni dengan pelaku seni"]
Meski tidak tahu apa yang dibicarakan karena memakai bahasa daerah Bali, namun sekilas dari canda dan nada bicaranya mereka saling curhat, saling cerita tentang cerita manggungnya tempo hari di tempat lain.
Bli Made Sartika, nada bicaranya paling keras dan lantang sesuai dengan badannya yang gede dan kumisnya yang tebel, dia yang paling ngotot berbicara, dan satu dua patah kalimat menggunakan bahasa Indonesia sehingga saya mulai tahu yang mereka perbincangkan.
"Asalnya dari mana bli..." tanya Bli Made sartika kepada saya yang asyik jeprat-jepret.
"Dari Ponorogo, saya ijin motret ya...," jawab saya.
"Ora Po Po.... sama dong tari barong kan mirip tari reyog..." Made Sartika menirukan gaya lagu Juve dalam menjawab pertanyaan saya, dan saya pun mengangguk.
"Memang ada perbedaan pekerja seni dengan pelaku seni Bli? Kok bikin Bli Made kelihatan marah?" pancing saya untuk mendapat penjelasan darinya.
"Semalam jengkel, masa saya dikatakan pekerja seni, emangnya saya kayak wanita nakal habis bekerja terus dapat duwit, bekerja seperti apa yang dimau orang yang memperkerjakan saya?" Bli Made Sartika terus nerocos, membuat saya semakin bersemangat.
"La terus harusnya gimana?" semakin membuat saya penasaran.
"Semalam saya manggung di daerah Jimbaran, saya punya pakem dalam menari itu karena saya pelaku seni, saya menari berdasar seni yang saya geluti, bukan sebagai pekerja seni seperti yang mereka katakan, pelaku seni itu punya tanggung jawab terhadap seni yang dimainkan, punya idealisme, punya rasa memiliki, kalau pekerja seni begitu dapat duit selesai, tariannya berdasar apa yang diminta orang yang membayar kita, kita jadi ngikuti apa yang mereka mau karena duit mereka...." sambil manggut-manggut seakan saya tahu apa yang jadi pokok masalah, meski saya sendiri masih bingung dengan apa yang dia katakan.
"Bukannya saya sok suci dan ndak butuh duit, tapi ini masalah komitmen dalam seni, meski setiap manggung saya dibayar tak kurang dari sejuta tapi soal seni jangan ngatur...," katanya lagi.
[caption id="attachment_332230" align="aligncenter" width="600" caption="Merias diri adalah ketrampilan yang wajib dimiliki tiap penari"]
[caption id="attachment_332382" align="aligncenter" width="600" caption="meski tanpa bantuan, setiap penari harus mandiri mempersiapkan dirinya masing masing"]
Ni Komang, meski datangnya agak terlambat dia langsung merias diri tanpa nimbrung sama teman-temannya. Dengan cekatan membuka tas kosmetik dan segera mengolesi wajahnya. Tak lama kemudian dia sudah menyelesaikan riasan wajah dan rambut, dan tinggal memakai baju adat serta pernak-perniknya. Kebiasaan setiap hari di antara mereka sehingga terlihat profesional dalam bekerja. Sementara yang tampil belakangan membatu temannya yang mendapat giliran tampil lebih dulu. Dan canda tawa di antara mereka dalam ruang ganti ini seakan memperlihatkan kekompakan mereka, meski di antara mereka tidak hanya menari di satu tempat saja.
[caption id="attachment_332383" align="aligncenter" width="600" caption="sambil tiduran, karena mendapat giliran menari belakangan"]
[caption id="attachment_332384" align="aligncenter" width="600" caption="banyak yang berusia masih muda menjadi aset untuk penerus"]
[caption id="attachment_332385" align="aligncenter" width="600" caption="meski berusia tua mereka masih berkarya"]
[caption id="attachment_332387" align="aligncenter" width="600" caption="W Like, usia tua bukan halangan, namun peran menyesuaikan"]
Usia para penari juga beragam, ada yang sudah menjadi kakek, bujangan, bahkan ada 2 orang yang masih berusia SD, peran mereka juga berbeda-beda. Dan mereka saling mendukung satu dengan yang lainnnya. Seperti W Like ikut menari sejak sekolah setingkat SMP sampai sekarang, mulai dari penari pelengkap, penari barong, sampai sekarang memerankan Rangda.
[caption id="attachment_332386" align="aligncenter" width="600" caption="Damun, bertugas mempersiapka gamelan dan sesaji (upakara)"]
Beda lagi dengan Damun, dia harus datang lebih awal dan pulang paling akhir. Dia yang mempersiapkan panggung, gamelan, serta menyiapkan sesaji (upakara). Dan menurut Damun selain tari Barong dan Kerisan di sore harinya ada tari Kecak, tiketnya sama 100 ribu tiap orang, penari kecak sudah tim lain lagi, lebih banyak melibatkan pemain muda.
"Salam Budaya"
*) Salam Njepret
*) Salam Jalan-jalan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H