Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengejar Matahari Terbenam di Pantai Kuta

5 November 2014   13:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:35 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_333082" align="aligncenter" width="600" caption="Langit merah merona memantul pada hamparan pasir putih yang bersih"][/caption]

Bali luar biasa macet, begitu pemandangan sehari-hari di pulau Dewata ini, terlebih pada malam Minggu atau liburan awal bulan Muharam ini (24/10/14). Rencana perjalanan harus ditata ulang karena biar tidak sia-sia waktu habis diperjalanan yang terjebak macet, perjalanan yang rencana bisa ditempuh 15 menit bisa molor sampai 3 jam.

Begitu juga jalan menuju pantai Kuta yang menjadi ikon wisata di Bali didera macet total, meski bus besar tidak boleh lagi memasuki area pantai namun bisa mengurai kemacetan.

Dan bus rombongan kami diparkir di daerah By pass dan segera menyegat shuttle bus, lumayan lama menunggu karena selain jalanan macet mungkin sore itu kebanyak orang ingin menikmati 'matahari tenggelemam' di pantai Kuta, 1 bus dibagi menjadi 2 shuttle bus, meski berdesakan namun inilah satu-satunya akses yang bisa menampung banyak orang dengan biaya paling murah menuju ke pantai. Luar biasa jalanan tambah macet sementara hari semakin gelap, harapan melihat matahari tenggelam-pun seakan tinggal impian.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Macetnya jalam menuju pantai Kuta harus pandai-pandai menyikapi"]

1415139086901346041
1415139086901346041
[/caption]

Shuttle bus yang saya tumpangi lumayan sudah tua dan tidak terawat, body dan suara mesinnya sungguh kasar, deru mesin yang terdengar keberatan beban dan berkali-kali mengrem mendadak yang membuat kami saling berbenturan dengan penumpang lain.

Pengemudinya berkali kali menghentakan tongkat presneleng dengan kasar, "Groooookkk......" suara gigi prensneleng yang mungkin tidak bisa nyantol, dan diulangi berkali-kali namun saja tidak berhasil. Dan berkali-kali setiap lampu merah tidak mau berhenti. Sungguh perjalanan yang menakutkan buat kami, shuttle bus terus melaju kencang dengan pengemudi yang ugal-ugalan dan emosian.

"Maaf mas.... cuma gigi 3 yang bisa digunakan, mendingan saya tidur dirumah kalau tahu gini...." kalimat pertama yang keluar dari pengemudi kepada saya. Karena kami semula hanya bisa saling pandang takut kalau membuat pengemudi tambah emosi.

"Mobil sialan diajak kerja malah bikin susah seharian...." katanya lagi.

Saya hanya bisa mengangguk, turunpun tidak memungkinkan, karena macet luar biasa dan tak mungkin turun dengan rombongan sebegitu banyak, sementara pantai masih 3-4 km lagi.

"Ndak apa-apa Bli... yang penting hati-hati....." kata saya mengimbangi kata-kata pengemudi, namun dia masih saja menghentak-hentakan tongkat presneleng agar bisa digerakan, namun lagi lagi gagal, dari by pass sampai pantai shuttle bus yang kami tumpangi hanya menggunakan gigi 3, wakakakakakaka mirip mobil matick, bedanya yang ini harus mendengung dan meraung dulu tiap kali memulai perjalanan.

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="matahari benar-benar tenggelam, terlambat sedikit impian meninkmati tenggelamnya matahari sirna"]

14151390381716699822
14151390381716699822
[/caption]

[caption id="attachment_333083" align="aligncenter" width="600" caption="langit biru lembayung, dalam waktu singkat langit berubah-rubah warna bersamaan tenggelamnya matahari"]

1415138996370965257
1415138996370965257
[/caption]

Hari semakin petang, dalam perhitungan pasti tidak bisa mendapat pemandangan matahari tenggelam kalau terus menumpang shuttle bus ini.

"Maaf Bli.. saya kebelet pipis......" saya pun langsung anjlog turun dari shuttle bus yang merayap di macetnya jalanan Pantai Kuta.

Sambil berlarian saya mengambil arah pantai, meski matahari sudah terbenam namun semburat merat masih dengan gagahnya menghiasi langit pantai Kuta.

Lagi-lagi pantai Kuta dipenuhi orang, dan saya harus pandai-pandai menjepret agar tidak mengenai banyak orang, lalu lalang orang yang lewat menjadi tantangan tersendiri, dan banyak frame yang 'bocor' menjepret asal jepret.

[caption id="attachment_333087" align="aligncenter" width="600" caption="kubangan air karya garukan kaki saya, maksut hati bikin fourground biar tidak terlalu polos"]

1415142924495648456
1415142924495648456
[/caption]

Terlalu dibelakang banyak orang lalu lalang, dan terlalu maju terlalu polos, akhirnya kaki saya kreatif menggaruk-garuk pasir membuat kubangan bikin semacam fourgoround supaya photo tidak terlalu polos, karena menurut temannya saya yang jago landscape element tersebut harus ada. Dan saya yakin bila ada debuaran air ombak kubangan tersebut akan rata kembali, jadi tidak merusak pantai.

[caption id="attachment_333086" align="aligncenter" width="600" caption="lega.... ketemu kampretos di pantai Kuta"]

14151391371084245485
14151391371084245485
[/caption]

Puas rasanya, dengan perjuangan yang panjang akhirnya saya bisa menikmati tenggelamnya matahari di pantai Kuta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun