[caption id="attachment_334195" align="aligncenter" width="600" caption="Penghujan segera datang padi dipanen lebih awal"][/caption]
Madiun (9/11/14)
Meski mendung menggelayut namun panasnya udara luar biasa di Madiun siang tadi, orang bilang ini musim tumbuk (puncaknya kemarau), biasanya terjadi menjelang tanggal 9 bulan 9, tanggal 10 bulan 10, atau tanggal 11 bulan 11 di bulan masehi. Dan setelah melewati tangggal dan bulan tersebut diperkirakan hujan datang. Tidak tahu dari mana para petani Madiun mengetahui penanggalan tersebut, mungkin lamanya menjadi petani yang sudah turun temurun membuat mereka jeli untuk mengingatnya.
Ada pemandangan yang tidak biasanya tadi siang puluhan orang bersama-sama menyabit dan merontokan padi yang menurut pengamatan saya belum waktunya, maksudnya masih lebih baik dipanen 10-15 hari ke depan, karena batang dan daun padi masih kelihatan hijau.
Rasa penasaran itu menghatarkan saya untuk menepikan kendaraan dan mendekat pada orang-orang yang sedang sibuk bekerja di persawahan Kaibon (selatan Madiun).
"Tahsih ijem kok sampun dipaneni Bu?" tanya saya, yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia masih hijau kok sudah dipaneni.
"Selak blebah mas, yen blebah gabahe risak, mboten wonten panas, regine saget ambleg...." jawab bu Partini sambil tanganya cekatan meletakan segebok dahan padi ke dalam mesin perontok padi yang digerakan dengan diesel kecil. Bu Kartini menceritakan keburu musim penghujan, padinya bisa rusak karena tidak ada panas, dan harganya bisa anjlog kalau tidak dipanen sekarang.
"Kangungane piyambak bu?" tanya saya.
"Gadahane dewe mas, yen ingkan ngerek niku tiyang kerjo, kedah cepet-cepet mergi ketawise jawahe meh dawah, niki wau ngerjakne tiyang 15, tiyang Dagangan ngriko...." kata bu Partini, menjelaskan bila ini sawah miliknya, dan 15 orang yang membatu menyabit dan merontokan padi dengan mesin perontok tersebut orang yang dipekerjakannya berasal dari daerah Dagangan (kecamatan di Madiun).
"Sedintene pinten bu ogkose?" saya menanyakan bayaran untuk sehari bekerja.
"Kerjanya setengah hari, kulo bayar 20 ewu, kulo paringi maem lan nginum..." bu Partini menjelaskan kerjanya cuma setengah hari, dan setengah hari tersebut dibayar 20 ribu per orang.
"Kok Mboten nyewo Doz bu?" tanya saya sambil terus jeprat-jepret.
"Antri mas yen nyewa Doz.. keburu hujan malah ciloko...." jawab bu Kartini.
"Cari duwit makin sulit mas sekarang..... " kata mas Agus.
"Kok begitu mas?" ganti saya bertanya
"Sekarang musim mesin perontok padi dozer, ongkosnya lebih murah dan  praktis, traktornya tinggal masuk sawah sambil berjalan padi sudah tersabit dan keluar sudah bersih tinggal masukan karung..." sambat mas Agus.
"Daleme pundi mas? " tanya saya
"Kulo sak rombongan saking daerah dagangan, mriki wau tiyang 25 dibagi kalih sabine bu Partini niki lan sabin sing tengah niko.... " sambil menujuk ke arah barat tempat beberapa temannya bekerja di milik orang lain.
Mereka berangkat bekerja bersama-sama dan pulangnya bersama-sama memakai 2 kendaraan, yang satu alat perontok padi yang dimodifikasi bisa untuk dinaiki meski terlihat berbahaya, dan satunyanya lagi naik pick up terbuka. Ongkos bahan bakar mereka tanggung bersam-sama dengan iuran dari hasil kerjanya. Â Meski berbahaya mereka seakan mengesampingkan resiko tersebut, dan untuk menghindari polisi lalu lintas mereka melewati jalan-jalan kecil jalan pintasan.
Tak jauh dari lahan bu Partini, nampak pula traktor pemanen padi masih meraung-raung di tengah sawah. Orang Madiun lebih suka menyebut Dozz. Dan saya pun penasaran ingin mendekat, kepingin tahu apa perbedaan panen dengan tenaga manusia dengan panen dengan tenaga mesin kayak mesin dozz ini.
Untung pemilik dozz berada di pinggir sawah tempat saya memotret, sementara 3 anak buahnya bekerja mengoprasionalkan mesinnya,
"Ongkosnya harian atau per luas lahan pak" tanya saya.
"Per kotak mas, sak kotaknya 350 ribu, yang punya padi tinggal nunggu di jalan besar ini, karena padi keluar langsung dimasukan karung, dan tinggal terima bersih." jawab pak Karno pemilik doz.
"Sehari bisa dapat berapa kota pak?" tanya saya.
"Antawis 4-5 kotak mas..." jawab pak Karno.
Luar biasa, lebih hemat tenaga, lebih hemat biaya, dan praktis dibanding dengan tenaga manusia. Dan pemilik sawah tinggal menungu di jalan besar sambil mengawasi tanpa mengeluarkan uang makan dan jasa angkut dari tengah sawah ke tepi, tanpa harus tapen (memisahkan yang kotor dan bersih), karena sudah ada blowernya yang memisahkan kotoran dengan padinya.
Tapi menurut pak Karno bila ingin mengunakan mesinnya, lahan tanah harus rata, dan berpetak lebar, tidak boleh naik turun pematang, seminggu sebelum dipanen lahan tidak boleh diairi biar rantai roda doz-nya tidak terperosok.
Menjelang musim panen tiba begini pak Karno tidak pernah sepi order, begitu selesai satu tempat sudah ada tempat lainya yang sudah mengantri.
Serba susah disisi lain lebih praktis dan murah dan di salah satu sisi mematikan lahan kerja buruh tani, inilah hidup semakin hari semakin kejam, dulu manusia melawan manusia, sekarang manusia melawan mesin, sudah jamannya.
"Salam dari Desa"
*) Salam Njepret
*) Salam Blakarakan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H