Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Uniknya Pasar Krempyeng di Pinggir Telaga Ngebel

15 Januari 2015   05:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:07 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_346197" align="aligncenter" width="600" caption="Menimbang dagangan, memakai 3 lonjor bambu yang di bikin mirip tripod-nya tukang foto"][/caption]

Ponorogo, 14/01/15

Berkali-kali berkunjung ke telaga Ngebel baru tadi pagi tahu kalau diujung tenggara ada pasar, pasar yang sudah turun temurun. Karena selama ini begitu datang (sekitar subuh) langsung mengarah ke masjid dan setelah itu mencari spot barat telaga untuk menikmati matahari terbit dari balik bukit sebelah timur.

Pasar krempyeng, entah mengapa sering disebut begitu.

"Yen pengin moto teng mriki radi enjing mas, yen yah menten pun buyaran..." kata bu Sanikem sambil menimbangi ketela rambat di lonjoran bambu yang dibikin seperti tripot untuk menggantung timbangan neraca gantung. Dia menyarankan kepada saya kalau kepingin foto-foto di pasar supaya datang lebih awal.

"La milaine jam pinten bu bikake?" saya balik bertanya

"Jam 12 dalu niko tiyang tiyang sampun ngrembati dagangan asil tanen mas... jam 3 dalu sampun kebak peken mriki...." jawab bu Sanikem, dia menjelaskan kalau jam 12 malam orang-orang sudah berdatangan memikul hasil pertanian untuk dijual dipasar ini, dan jam 3 pagi pasar sudah ramai.

"Yen dalu sae, tiyang tiyang sami mbeto obor jentrek-jentrek, senter sentolop pating clorot iring-iringan bidal dateng peken ngiriki.....sampeyan saget mota-moto mas...." tambah bu Sanikem, dia menjelaskan orang-orang sini beragakat ke pasar bersama-sama dengan penerangan obor dan lampu senter, sinarnya gemerlapan di malam hari indah kalu di foto.

Saya jadi penasaran kepingin datang agak malam dan langsung menuju ke arah pasar ini.

[caption id="attachment_346198" align="aligncenter" width="600" caption="berjualan di bibir telaga, sudah terbiasa dari turun temurun"]

1421201783785006705
1421201783785006705
[/caption]

"Saben dinten pekenan bu peken mriki?" tanya saya

"Mboten mriki namung pekenan Pon Lan Kliwon, dinten lintune tutup, yen dinten Wage lan Legi wonten peken celake makame Nyi Latung kilen telogo megi teng Dlopo...." jawab bu Sanikem panjang, yang menjelaskan bila pasar ini hanya buka pada hari pasaran Pon dan Kliwon.

"Yen tindak miriki dinen Pon Kliwon mas....." tambahnya.

Masih menurut bu Sanikem pasar ini ada turun menurun sejak Indonesia merdeka, dan berhenti sekitar 2 tahunan pada waktu sekitar peristiwa tahun 1965 dan setelah itu beraktifitas lagi sampai sekarang, pasar ini dikelola oleh kas desa. Disebut krempyeng karena sak kerempyengan, ketika hari mulai terang pasar ini sudah buyar, dan bila hujan tiba pasar ini juga buyar, namun semenjak ada kios-kios pasar ini buka sampai jam 8 pagi, dan kios buka seharian (sampai jam 8 malam).

[caption id="attachment_346199" align="aligncenter" width="600" caption="sederhana, tawar menawar ditempat seadanya meski di dekat tempat sampah, dan tampak rinjing-rinjing (mirip tasnya wanita) untuk membawa barang yang terbuat dari anyaman bambu"]

14212019141358287081
14212019141358287081
[/caption]

Pasar ini meski berumur tua tapi masih sangat sederhana, minim barak-barak untuk berteduh seperti selayaknya pasar, maklum ini pasar desa yang dikelola oleh desa, dan yang dijual disini berupa hasil bumi seperti ketela, jagung, sayuran, buah buahan, hewan unggas seperti ayam, mentok, itik.

Sebelum tahun 80-an disini masih pakai sistem barter, barang dagangan ditukarkan dengan bakan konsumsi dari kota. Dan cara menimbang-pun baru tahun 90-an, sebelumnya memakai batokan (tempurung kelapa yang dibersihkan isinnya), 1 batok kira-kira berisi 1 liter. Yang diukur memakai batok ; beras, jagung, kopi, kedelai, kacang tholo, kacang ijo. Namun berkembangnya waktu berubah mengikuti penimbangan Kg. tapi untuk ketela dan janten (jagung muda buat sayur) masih memakai ukuran cenik (rinjing kecil= anyaman dari bambu).

[caption id="attachment_346200" align="aligncenter" width="600" caption="pak Tambir penjual makanan dan minuman, tinggal teriak sudah diantar"]

1421202035996574450
1421202035996574450
[/caption]

Di pasar ini juga ada warung, warung buka mulai jam 9 malam dan tutup jam 11 pagi. Yang terkenal warung pak Tambir yang berada di sebelah barat. Selain sedia kopi dan teh, jajanan berupa jadah bakar dan tempe goreng, dan puli (nasi yang dikasih borak lalu dikasih kelapa terus ditumbuk). Pak Tambir juga melayani antar ke para pedagang yang berjualan di pasar ini dan ketika selesai pasar baru dibayar.

[caption id="attachment_346201" align="aligncenter" width="600" caption="truk terbuka menjadi angkutan terpavorit, daerah pegunungan dengan turunan dan tanjakan"]

14212021862039801153
14212021862039801153
[/caption]

[caption id="attachment_346205" align="aligncenter" width="600" caption="berdesakan di pik up terbuka dengan tetangga satu desa"]

1421202351292124319
1421202351292124319
[/caption]

Yang lucu dipasar ini, orang-orang dari pegunungan datang dengan berjalan kaki dan pulangnya naik truk dan pik-up bak terbuka. Itupun hanya para perempuan, sedangkan para lelaki memilih berjalan kaki naik turun bukit.

Karena hanya kendaraan itulah yang kuat untuk turunan dan tanjakan, dan adanya hanya siang karena kalau malam jalannya menyeramkan banyak jurang yang curam terlalu resiko bila naik kendaraan. Itupun kalau tidak berbelanja banyak seperti mau hajatan atau mendatangakn pupuk orang-orang memilih berjalan kaki puluhan kilometer dengan memotong naik bukit turun bkit dengan jalan pintas. Sedangkan barang dagangan akan dipikul oleh para suami mereka, sedangkan para perempuan menggendong dengan rinjing. Ongkos sekali jalan 10 ribu, dan bila membawa sak (karung plastik kecil) dikenai biaya 2 ribu per sak.

Maka tak heran bila bu Sanikem di awal menceritakan bila kalau malam orang pergi ke pasar bersama-sama berjejer-jejer dengan penarangan obor dan lampu senter.

[caption id="attachment_346207" align="aligncenter" width="600" caption="ayam, kelinci, sayuran, serta umbi-umbian bisa ditemui di pasar krempyeng ini"]

14212024791442186610
14212024791442186610
[/caption]

[caption id="attachment_346209" align="aligncenter" width="600" caption="elpigi, alat listrik juga tersedia "]

142120256729687759
142120256729687759
[/caption]

Seperti halnya bu Giyem datang ke pasar ini menjual hasil bumi dan pulangnya membeli gas elpigi, beras, bahan mie instan, rokok, dan semua yang dibutuhkan yang tidak tersedia didesanya. Karena desanya berada di pegunungan perbatasan dengan pegunungan Sedudo Nganjuk. Dia berbelanja untuk keperluan 2 minggu. Sekali berbelanja sekalian naik truk karena belanjaannnya banyak.

[caption id="attachment_346210" align="aligncenter" width="600" caption="buah buahan lokal"]

142120273088651392
142120273088651392
[/caption]

Untuk buah-buahan di pasar ini tidak sebanyak dipasar barat telaga, karena lebih laku di pasar tersebut karena orang kota lebih mudah untuk mengaksesnya. Para pedagang buahpun cukup lesehan ditanah dengan beralasakan karung palstik bekas pupuk, dan bila hujan tiba tinggal ditutupi plastik dan ditinggal berteduh. Cuaca pegunungan Ngebel yang tiba tiba hujan dan tiba tiba panas sudah membuat mereka terbiasa,

Saya jadi penasaran untuk datang di pasar ini ketika malam hari, penasaran kepeingin melihat orang-orang menuruni gunung beramai-ramai membawa obor, pasti seperti kembang api yang berjalan di kegelapan malam. Semoga hari pasaran Pon besok saya bisa ke sini lagi.

*) Salam dari pegunungan Ngebel

*) Salam njepret

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun