Pak Juni menggedrinda batu yang telah dipotongi pak sadeni, dipinggiran kali Grindulu
Pacitan, 01/02/2015
Suara gerinda pak Juni memekakan telinga, tangan kanannya memegangi batu kecil yang ia tempelkan pada lempengan besi gerinda yang berputar dengan kecepatan tinggi yang digerakan oleh mesin bertenaga listrik. Debu langsung berterbangan tatkala batu yang dipegang tangannya ditempelkan pada lempengan besi yang berputar tersebut, dan sesekali ia membetulkan maskernya yang tidak ditalinya dengan sempurna. Seementara matanya ia lindungi dengan kaca mata plus yang ia pakai.
Begitulah pak Juni bekerja sehari-hari bersama 2 temannya di gubuk pinggir jalan menuju Pacitan yang nyaris berada dibibir sungai Grindulu. Ia sudah 14 tahun menekuni pembuatan batu akik dipinggir sungai ini. Bahan bahan ia dapatkan dari runtuhan-runtuhan batu serta batu-batu kali yang mudah didapatkannya di sekitarnya. Banyaknya tebing-tebing batu dia akan lebih mudah memilih mana batu yang sudah berumur tua atau batu yang berumur muda. Menurut dia batu yang berumur tua atau yang berada semakin dalam batunya semakin gelap warnanya, kalau merah semakin merah, kalau hijau semakin hijau. Dan harganya pun semakin mahal dan kekerasannya-pun lebih keras dibandingkan dengan lapisan batu atasnya.
![14227046291854344780](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14227046291854344780.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Wida, pengrajin muda yang bertugas finishing setelah di bentuk oleh pak Juni
Dalam gubuk ini mereka bekerja bertiga, pak Sadeni bertugas memotongi batu-batu menjadi kecil sekaligus membikin pola, pak Juni bertugas membentuk batu dan meratakan batu batu yang telah dipotongi oleh pak Sadeni, sedangkan mas Wida yang paling muda bertugas menghaluskan sekaligus finishing, mas Wida ini memnggunakan alat rakitan sendiri batu gerinda yang paling halus dan amplas yang digerakann oleh ger dan rantai sepeda bekas yang di set sendiri. Pak Juni menggunakan mesin pompa air yang dibikin sedemikan rupa sehingga bisa memutar gerinda, sedangkan pak sadeni menggunakan pemotong keramik yang dia beli di toko bangunan.
![1422705607240337510](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1422705607240337510.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
batu mentah, tampak biasa tak bernilai, per biji 10 ribu rupiah, pemesan tinggal pilih atau bawa batu sendiri untuk dibikinkan
Batu batu yang nampak tak bernilai dan tidak berharga ditangan mereka bisa menjadi batu yang berkilau dan berharga tinggi. Pembeli atau pemesan bisa memilih-milih batu yang tersedia dengan membeli dengan harga 10-20 ribu rupiah, dan pelanggan bisa membawa batu sendiri dari rumah untuk dibikinkan disini dengan tarif 10 ribuan dan yang ukuran kecil dengan tarif 15-20 ribu. Semakin kecil semakin mahal tarifnya.
Mereka bekerja mulai jam 8 pagi sampai jam 4 sore, pelanggan mereka orang orang yang lewat dan penasaran dengan kegiatan mereka. Tempat mereka mencolok sehingga mengundang rasa penasaran orang yang sedang lewat untuk mampir.
![14227056851405422151](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14227056851405422151.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
pak Sadeni memotongi batu kecil menjadi kecil kecil untuk dipola
![14227057581546027149](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14227057581546027149.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
masih tradisional, dengan alat dan perlindungan diri seadanya
Menurut mereka, sekitar 2 bulanan ini pesanan meningkat, tidak tahu apa sebabnya mungkin imbas musim liburan kemarin. Ramainya jalur Pacitan Ponorogo akan menambah penghasilan mereka, karena semakin banyak orang yang penasaran dan mampir pada gubuknya.
Bilamana tidak ada pesanan, batu akik yang sudah jadi diambil pengepul dari Pacitan untuk dipasarkan di tempat wisata. Meski harga di tempat wisata bisa berkali lipat mereka lebih seneng membikin dan langsung menjualnya tanpa harus menunggu laku dan tidaknya. Sambil melayani pelanggan dadakan yang mampir di tempat usahanya. Dan disyarankan kalau mempunyai bahan batu bagus silahkan mampir untuk dibuatkan, dengan menunggu 1-2 jam batu akik sudah jadi.
![14227058361623190481](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14227058361623190481.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
2 jam menunggu berbuah hasil, ongkos membuat batu ini per biji 10 ribu, untuk ukuran kecil 15-20 ribu, makin kecil makin rumit dan makin mahal membikinnya
Menurut mereka, orang memakai akik dengan model dan ukuran yang besar besar dengan warna gelap, orang menganggap batu batu tersebut bertuah, seperti bentuk tro banyu (ada air dalam batu) miriip waterpas, tapak jalak (ada tanda plus) bertuah buat kesaktian, torong (terang tengah) berkasiat bisa untuk meneropong. Tapi itu dulu, sekarang bergeser dengan warna yang cerah dan tembus pandang, seperti merah cerah, hijau cerah, biru cerah. Dan bila disorot lampu senter bisa tembus dengan warna-warna tersebut harga batu akan semakin mahal, dan pemakainya-pun sekarang orang orang muda dan ibu-ibu, kalau dulu cuma bapak-bapak yang sudah umur setengah baya.
![14227059341075838790](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14227059341075838790.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
dipinggir jalan menuju Pacitan dan pinggiran sungai Grindulu ini gubuk gubuk mereka pergunakan untuk berteduh waktu bekerja
Meski murah bukan bearti merugi, karena bahan yang mudah didapat dan peralatan yang sederhana, serta ditempat gubuk seadanya kata mereka tidak perlu mengeluarkan modal banyak. Pengeluaran hanya buat listrik, amplas dan mata gerinda. Makan dan minum di rumah yang tinggal menyeberang jalan. Dan bila menginkan batu yang bagus atau bahan batu yang bagus pelanggan dipersilahkan unutk datang dirumahnya yang berada diseberang jalan dengan naik ke atas bukit di utara jalan.
![14227060391198451686](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14227060391198451686.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
bila sudah masuk di pasaran atau gerai harga bisa melambung 3-5 kali lipat
Rasa penasaran saya untuk membandingkan dengan harga di gerai dan penjual batu akik yang berada di kota, meski pilihannya banyak tapi harganya naik menjadi 3-5 kali lipat, sedangkan bahan batu rata-rata naik 3 kali lipat. Namun pembeli tinggal memilih dan tidak perlu menunggu. Rata-rata batu yang sudah diberi frame (cincin) berharga 50 ribu ke atas. Lagi-lagi lagi kerasnya perbukitan Pacitan menghidupi mereka yang dengan rajin mengolah dan bisa memanfatkannya.
Untuk melihat reportase teman-teman Kampret lainya buka kampretjebul
*) Salam dari desa
*) Salam Kampret
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI