Pohon Mangga itu daunya masih bergeming, meski angin malam terus memanggil. Aku duduk di dibawah pohon mangga, menatap secangkir kopi racik hitam hangat yang hampir kehilangan uapnya dan menghisap rokok yang ku tak tau hampir habis. Malam terakhir di tahun 2024, seperti lembar terakhir sebuah buku usang. Namun, alih-alih menutupnya, aku membuka kembali halaman-halaman yang penuh noda (masalah).
Masalah. Kata yang begitu sederhana namun sering menjadi batu sandungan bagi perjalanan hidupku. Aku ingat betul bagaimana sepanjang tahun ini (2024), masalah datang seperti badai yang mengamuk, memporakporandakan harapanku. Namun, anehnya, malam ini aku merasa damai. Bagaimana bisa? Apa yang berubah? .
Tahun itu dimulai dengan ambisi besar. Aku menetapkan berbagai target: kuliah yang lebih stabil, dekat dengan rembulan yang lebih dewasa, bahkan rencana liburan panjang ke tempat-tempat yang belum pernah kudatangi. Namun, kenyataan sering kali punya rencana sendiri, bukan? .
Bulan Mei, aku kehilangan sang rembulan. Pendekatan yang telah kubangun dengan rembulan selama berbulan-bulan hancur begitu saja. Kata-kata terakhirnya masih bergema di telingaku: “Kita terlalu sibuk mencari kesempurnaan, sampai lupa bahwa retakan itu adalah bagian dari keindahan.”. Saat itu, aku hanya merasakan kesedihan. Kenapa? Yups itulah pertama kali aku dekat dengan rembulan dan rembulan sendiri selalu memperhatikan ku setiap saat sehingga aku terbawa dengan keindahan perilakunya.
Bulan November, aku kehilangan fokus pada kehidupan kuliah. Bayangan stabilitas yang kupegang erat tiba-tiba direnggut tanpa peringatan. Aku merasa seperti kapal tanpa jangkar, terombang-ambing di lautan ketidakpastian. Ada alasan tersendiri yang memporak-porandakan kehidupan itu, yaitu : memperjuangkan nama organisasi untuk kembali tenar dihadapan masyarakat miniatur Negara.
Kemudian, masalah keluarga yang datang di setiap saat. Perdebatan yang tak ada habisnya tentang ekonomi membuat aku merasa asing di tengah orang-orang yang seharusnya paling dekat denganku.
“Apa salahku?” sering kali aku bertanya pada diriku sendiri. Tapi bukankah itu pertanyaan yang sia-sia? Salah siapa tidak penting. Yang penting adalah bagaimana aku bisa bertahan, bagaimana aku bisa menemukan makna di balik semua ini.
Pernahkah kita berpikir, mengapa masalah selalu hadir di setiap sudut hidup kita? Apakah masalah benar-benar musuh, atau mungkin mereka adalah teman yang tak kita undang?.
Pada malam tahun baru, saya menyadari sesuatu yang telah saya abaikan. Masalah-masalahku yang dulu aku benci, kini terasa seperti buku berisi pelajaran. Jika hidup adalah sebuah buku, maka masalah adalah tinta yang menyusun ceritanya. Apa jadinya aku menulis tanpa dia? Apa yang dapat aku pelajari tanpa mereka?.
Masalah itu seperti hujan. Pada saat itu, aku merasa kedinginan dan lembap, dan tubuhku mulai menggigil. Tapi bukankah hujan juga menyuburkan tanah, membuat bunga mekar, dan melahirkan pelangi? Masalah, bagiku, adalah hujan yang menyiram tanah kehidupan.
Teringat pada saat aku kehilangan fokus kuliah. Rasanya seperti ditinggalkan di padang pasir yang tandus. Tapi siapa sangka, dari kekosongan itu, aku menemukan kesempatan kecil: sebuah kesempatan untuk memperbaiki mimpi yang selama ini kusembunyikan. Yups betul, dengan kuliah yang tidak stabil dengan bantuan teman-teman, nama organisasi mulai kembali tenar dengan goalsnya mengadakan kajian bersama DPR dan didatangi 80 Peserta dari Keluarga Mahasiswa Universitas Dinamika + umum.
Atau ketika pendekatan saya selesai. Memang rasanya sakit seperti duri di dadaku, tapi aku belajar dari luka itu. Aku belajar tentang batasan, tentang menerima ketidaksempurnaan, dan tentang mencintai diri sendiri sebelum mencintai rembulan.
Dan masalah keluarga? Sekarang aku menyadari bahwa berdebat adalah cara kami untuk bisa memahami satu sama lain. Mungkin, cinta memang hadir dalam bentuk yang tak selalu lembut.
Malam tahun baru, aku duduk sendiri di bawah pohon mangga dan melihat langit yang dipenuhi kembang api, seolah merayakan perjalanan panjang manusia yang tak pernah berhenti berharap. Aku menghisap rokok sedalam-dalamnya, sambil merenungkan satu pertanyaan: Jika masalah adalah hadiah, siapa yang memberikannya padaku?.
Jawabannya jelas. Yang memberiku masalah adalah Tuhan, Tuhan yang mencintaiku dengan caranya yang unik. Masalah adalah bentuk perhatian dari Tuhan, cara Ia berkata, “Aku ingin kau tumbuh. Aku ingin kau menjadi lebih kuat.”
Bukankah Tuhan Maha bijak? Ia tak memberi jawaban, tetapi memberi pertanyaan. Ia tak memberi kenyamanan, tetapi memberi tantangan. Dan dari setiap tantangan itulah, aku belajar menjadi diriku yang sekarang.
Tahun 2025 baru saja dimulai. Aku tidak tahu apa yang menantiku di depan sana, tetapi aku tahu satu hal: aku siap menerima apa pun yang datang. Masalah bukan lagi sesuatu yang kutakuti, tetapi sesuatu yang kucintai.
Masalah adalah cermin. Ia memantulkan bagian diriku yang telah aku abaikan. Ia mengajarkan bahwa aku lebih kuat dari yang kukira, lebih bijaksana dari yang kusadari, dan aku menyadari bahwa mungkin aku diakui memiliki cinta pada Tuhan daripada sebelumnya.
Dan malam itu, aku menulis sebuah pesan untuk diriku sendiri: Masalah adalah anugerah, dan aku akan menerimanya dengan lapang dada. Karena pada akhirnya, Tuhan ingin aku menjadi versi terbaik sesuai keinginan-Nya.
“Aku mencintai permasalahanku. Karena aku tahu yang memberi permasalahan juga mencintaiku,” – Jalaludin Rumi.
Sambil tersenyum kecil, aku menutup buku harian dan mengambil langkah baru. Selamat datang, tahun 2025. Sudah kita ketahui ujian hidup adalah tanda cinta Sang Pencipta kepada kita. Mari kita bersemangat dalam menyelesaikan masalah, dan hidup dengan cinta, kemudian kita akan menemukan keindahan yang tersembunyi di antara keduanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H