Teringat pada saat aku kehilangan fokus kuliah. Rasanya seperti ditinggalkan di padang pasir yang tandus. Tapi siapa sangka, dari kekosongan itu, aku menemukan kesempatan kecil: sebuah kesempatan untuk memperbaiki mimpi yang selama ini kusembunyikan. Yups betul, dengan kuliah yang tidak stabil dengan bantuan teman-teman, nama organisasi mulai kembali tenar dengan goalsnya mengadakan kajian bersama DPR dan didatangi 80 Peserta dari Keluarga Mahasiswa Universitas Dinamika + umum.
Atau ketika pendekatan saya selesai. Memang rasanya sakit seperti duri di dadaku, tapi aku belajar dari luka itu. Aku belajar tentang batasan, tentang menerima ketidaksempurnaan, dan tentang mencintai diri sendiri sebelum mencintai rembulan.
Dan masalah keluarga? Sekarang aku menyadari bahwa berdebat adalah cara kami untuk bisa memahami satu sama lain. Mungkin, cinta memang hadir dalam bentuk yang tak selalu lembut.
Malam tahun baru, aku duduk sendiri di bawah pohon mangga dan melihat langit yang dipenuhi kembang api, seolah merayakan perjalanan panjang manusia yang tak pernah berhenti berharap. Aku menghisap rokok sedalam-dalamnya, sambil merenungkan satu pertanyaan: Jika masalah adalah hadiah, siapa yang memberikannya padaku?.
Jawabannya jelas. Yang memberiku masalah adalah Tuhan, Tuhan yang mencintaiku dengan caranya yang unik. Masalah adalah bentuk perhatian dari Tuhan, cara Ia berkata, “Aku ingin kau tumbuh. Aku ingin kau menjadi lebih kuat.”
Bukankah Tuhan Maha bijak? Ia tak memberi jawaban, tetapi memberi pertanyaan. Ia tak memberi kenyamanan, tetapi memberi tantangan. Dan dari setiap tantangan itulah, aku belajar menjadi diriku yang sekarang.
Tahun 2025 baru saja dimulai. Aku tidak tahu apa yang menantiku di depan sana, tetapi aku tahu satu hal: aku siap menerima apa pun yang datang. Masalah bukan lagi sesuatu yang kutakuti, tetapi sesuatu yang kucintai.
Masalah adalah cermin. Ia memantulkan bagian diriku yang telah aku abaikan. Ia mengajarkan bahwa aku lebih kuat dari yang kukira, lebih bijaksana dari yang kusadari, dan aku menyadari bahwa mungkin aku diakui memiliki cinta pada Tuhan daripada sebelumnya.
Dan malam itu, aku menulis sebuah pesan untuk diriku sendiri: Masalah adalah anugerah, dan aku akan menerimanya dengan lapang dada. Karena pada akhirnya, Tuhan ingin aku menjadi versi terbaik sesuai keinginan-Nya.
“Aku mencintai permasalahanku. Karena aku tahu yang memberi permasalahan juga mencintaiku,” – Jalaludin Rumi.
Sambil tersenyum kecil, aku menutup buku harian dan mengambil langkah baru. Selamat datang, tahun 2025. Sudah kita ketahui ujian hidup adalah tanda cinta Sang Pencipta kepada kita. Mari kita bersemangat dalam menyelesaikan masalah, dan hidup dengan cinta, kemudian kita akan menemukan keindahan yang tersembunyi di antara keduanya.