Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Houthi: Tekad Sparta Melawan Israel

23 Maret 2024   22:30 Diperbarui: 23 Maret 2024   22:30 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak '7 Oktober' 2023 lalu, Timur Tengah tak lagi sama. Israel melakukan aksi pembalasan yang melampaui batas. Sampai kini, korban tewas di pihak Palestina telah  mencapai 30.000 jiwa dengan porsi terbesarnya anak-anak dan perempuan. Meski begitu, Israel masih gagal menundukkan HAMAS di Gaza. Terbaru, Israel berusaha membelah Gaza jadi dua, utara dan selatan. 

Menarik sebenarnya untuk membandingkan perang Israel-Gaza dengan Perang Arab 1967. Tentu Gaza di sini konteksnya mesti diluaskan karena keterlibatan Yaman Houthi, dan Hizbullah Lebanon di Lebanon Selatan.

Houthi telah menjelma jadi momok bagi AS. Laut Merah efektif kini tak lagi sepenuhnya dalam kendali negara adidaya itu. Upaya AS yang belakangan didukung Inggris untuk memimpin persekutuan melawan Houthi hanya sedikit efektif. Uni Eropa galau mau mendukung penuh upaya ini atau tidak. Pasalnya, mereka masih disibukkan perang Rusia-Ukraina. Apalagi kini eskalasinya makin tinggi. Baru-baru ini, Perancis turut mengirim kapal perang fregatnya ke Laut Merah. Houthi dikeroyok AS, Inggris, dan Perancis. 

Keberanian Houthi melawan negara adidaya macam AS, jelas bikin kening berkerut. Ini nekad atau bodoh. Apa gabungan keduanya, setengah nekad setengah bodoh. Atau ada hal lain yang bukan nekad atau bodoh. Mungkin perlu kita sebut nyali. Jelas Houthi punya nyali besar sekali. Darimana asalnya?

Houthi tumbuh dalam kultur politico-militer Perang Saudi-Yaman. Warsa 2015, setelah Houthi menduduki Sanaa dan pemerintah Yaman yang diakui internasional terusir, Saudi berinisiatif bikin koalisi. Koalisi tersebut mencakup Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir, Maroko, Yordania, Sudan, dan Senegal. Pada tahun kedelapan perang ini, Houthi mulai mau stabil. Walakin, terjadilah 'Peristiwa 7 Oktober'. Darah juang Houthi mendidih melihat nasib saudaranya Palestina jajahan Israel. Maka, mereka pun memobilisasi diri turut memperjuangkan Palestina.

Yaman dalam ranking Global Fire Power 2024 menduduki posisi kekuatan militer 81 dari 145 negara. Bandingkan dengan Indonesia yang ada di posisi 15. Meski posisinya agak di belakang, aktor non-state-nya macam Houthi entah di posisi berapa. Bayangkan, selama delapan tahun dikeroyok sembilan negara Arab, kini dikeroyok oleh tiga negara Sekutu. Tekad perlawanan Houthi ini kiranya bisa dilihat sebagai refleksi tekad bangsa Sparta Yunani. 

Pihak AS melalui Iran berusaha membujuk agar yang belakangan ini merayu Houthi untuk tidak turut campur Perang Israel-Gaza, tapi jawaban Iran bikin kita harus merenung. Iran bilang ya dia punya otoritas spiritual atas Houthi, tapi dalam hal lain (baca: politico-militer), mereka tak bisa mengatur. Artinya Houthi punya otonomi relatif dalam militernya. 

Analisis intelijen Barat tak mengindahkan tuntutan sederhana Houthi. Setop pasokan senjata dan barang-barang ke Israel serta merdekakan Palestina. Analisis intelijen ini senafas dengan keputusan elit politiknya bahwa tunduk pada tuntutan Houthi adalah konyol. Mitos "Israel negara demokrasi satu-satunya di Arab" lebih penting dipertahankan. Meskipun ongkosnya adalah kemanusiaan dan keadilan yang nihil di pihak Palestina. 

Terakhir, saya ingin menyinggung ihwal aktor non-state Arab yang lintas teritorial bikin poros perlawanan. Bisa dibilang ini adalah .dialektika panjang kalahnya negara-negara Arab melawan Israel pada 1967. Kekalahan menyakitkan ini tak hendak diulangi oleh negara-negara Arab yang dulu berperang. Kapok. Karenanya inisiatif perlawanan diambil oleh aktor-aktor non-state macam Houthi, Kataib Hizbullah Irak, Hizbullah Lebanon. Mereka tak terbelenggu beban psikologis kalah perang. Barangkali, juga karena otonomi relatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun