Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

DKJ: Dialektika IKN, Otoritarianisme, Sentralisasi Lagi

7 Desember 2023   05:40 Diperbarui: 11 Desember 2023   11:18 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

DKJ sama sekali tak berhubungan dengan kesenian. Singkatannya bukanlah Dewan Kesenian Jakarta. DKJ yang ini memiliki singkatan Daerah Khusus Jakarta. Akronim baru ini musti kita akrabi. 

UU DKJ diusulkan oleh DPR. Mayoritas. Hanya satu fraksi yang menolak, fraksi PKS. Isi UU DKJ menyatakan bahwa gubernur DKJ dipilih oleh presiden dari usulan DPR. 

Menurut fraksi PKS yang menolaknya, UU ini mengebiri demokrasi. Hak rakyat Jakarta utamanya nan dikebiri. Sementara, mewakili fraksi-fraksi mayoritas yang mengesahkan, UU DKJ disebut masih demokratis, karena ada peran DPR dalam memilih. Di sini ada dua logika demokrasi yang bertumbukan. Demokrasi langsung versus demokrasi perwakilan.

Indonesia Pasca-Reformasi memilih jalan memilih wakil-wakil rakyatnya dengan langsung. Partai hanya sarana. Pelengkap. Betapa tidak, siapa pun orangnya, dia berhak untuk masuk partai dan mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. 

Karenanya, saat pemilu, para konstituen cenderung memilih orang yang dikenali, bukan partai. Keluhan partai-partai, kaderisasi merekajadinya kurang berjalan. 

Partai-partai tertentu menekankan pegangan ideologisnya dengan berusaha menggerogoti bahkan menghilangkan bentuk 'demokrasi langsung' ini. PDI-P didukung PKB pernah mengajukan usulan pemilihan langsung tak lagi dilakukan, sebagai gantinya, memilih partai. Namun, usulan ini ditolak publik. 

Pada pendirian IKN, rezim Jokowi menyuntikkan paham demokrasi representatif ini. IKN dibikin sebagai wilayah Otorita. Kepala pemerintahan IKN tak dipilih rakyat, tapi, oleh Presiden. Karena itulah namanya bukan Gubernur, tapi, Kepala Badan Otorita. 

Argumen tindakan ini adalah pendirian daerah Otorita Batam semasa Orde Baru. B.J. Habibie terpilih sebagai Kepala di masa itu, sesuai usulannya. 

Logika IKN lantas dipakai lagi ke DKI Jakarta. DKI yang singkatannya Daerah Khusus Ibukota tak lagi absah, karena "I"-nya sudah diambil IKN. Jadinya disingkatlah DKJ. 

Dan, untuk memantapkan tekad "masa depan" baru, dijadikanlah DKJ sebagai wilayah Otorita. Perbedaannya, kepala Otorita DKJ terlebih dahulu diusulkan DPR, lalu dipilih oleh Presiden. Demokrasinya dianggap masih ada. 

Betulkah demikian? Bila melihat alurnya, logika IKN diteruskan DKJ ini, tak lain ia merupakan bentuk otoritarianisme baru. Dan, ini tegas namanya pada IKN maupun DKJ sebagai wilayah Otorita yang harus dibaca: Otoritarianisme. 

Alasannya, tak ada peran rakyat langsung di sana. Demos (rakyat) tak punya suara di situ. Ditelan gemuruh demokrasi representatif. Suara Presiden telah menggema jadi C'etat Moi (Negara adalah Aku). Desentralisasi sudah dibalik jadi Sentralisasi (lagi). 

Dua dekade prestasi Reformasi berupa demokrasi langsung, tentara kembali ke barak, desentralisasi dan pemberantasan KKN pelan-pelan mulai kabus. Digantikan hiruk-pikuk populisme dan demagogi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun