Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kuda, Kegilaan, Mistifikasi

16 November 2020   19:02 Diperbarui: 16 November 2020   19:30 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Nietzsche (1844-1900) mungkin tak pernah mengira bahwa dia punya hubungan pungkas dengan kuda. Filsuf dan kuda, sekilas tak punya hubungan. Namun, Bela Tarr merenungi dan melihat benang merahnya. Film El Caballo de Turin (Kuda Turin) (2011) besutan sutradara asal Hungaria itu meneroka ihwal kuda. Gambar bergerak yang mengambil tajuk di atas terinspirasi penggalan terakhir riwayat Nietzsche yang terkait dengan kuda.

Seperti lazim diketahui, petualangan intelektual Nietzsche ditutup dengan episode ia yang terpuruk karena ihwal kuda yang teraniaya. Orang tahu detil akhir hayat Nietzsche, namun tak tahu apa yang terjadi dengan sang kuda setelah perjumpaan dengan sang filsuf. Bela Tarr justru meneroka ihwal kuda, penunggangnya dan dunia si penunggang yang suram, monoton, keras, sunyi, tanpa keceriaan. 

Tidak heran bila satu penulis di The Guardian bilang dalam kritik filmnya jangan-jangan Nietzsche menjadi kuda setelah kejadian di Turin itu. Film yang dibikin dengan format hitam-putih ini jangan harap bawa kegembiraan justru sebaliknya ia bertutur ihwal kesuraman, ketidakberdayaan, dan kekerasan hidup.

Satu ganjalan besar untuk mengagumi Nietzsche adalah karena akhir hayatnya yang tragis. Sekitar sepuluh tahunan dihabiskannya dalam kondisi kejiwaan abnormal. Dalam bahasa yang lebih tegas, dia telah gila. Kehilangan akal, lenyap kewarasan, rusak syaraf.

Nietszche dirawat di sejumlah asylum. Adiknya, Elisabeth Forster-Nietzsche merawat dengan penuh perhatian. Sejumlah foto Nietzsche yang tak waras lagi menampilkan wajah sosok yang sorot matanya nyalang dan kosong, dihiasi kumis yang sesak bergerumbul menutupi bibir.

Sepuluh tahun menghabiskan usia dalam ketidakwarasan jelas bukan akhir hayat yang menyenangkan. Dan, tentu saja bukan kegilaan ini yang membikin Nietszche abadi dalam literatur. Keabadiannya karena karya-karyanya yang puitik, sarat metafor dan aforism. Pemikirannya menantang akal, mendobrak kemapanan, dan katakanlah menghujat ilah. Atau boleh jadi juga kegilaannya berperan tak kurang penting bagi ketersohorannya.

Konon, titimangsa 3 Januari 1889, pagi itu, di Turin, di sebuah jalan raya berderap pedati kuda yang entah mengapa tiba-tiba sang kuda tak mau lagi berjalan. Pengendara pedati yang kehabisan akal memerintah agar kudanya berjalan lantas naik pitam. Dengan kejam ia memecuti kudanya. Nietzsche yang tengah melintas menikmati pagi hari, merasa teramat kasihan pada sang kuda. 

Sang filsuf bergegas menghampiri dengan penuh amarah. Kemarahannya dilampiaskan dengan memeluk leher kuda untuk melindunginya dari pecutan nan ganas. Detik berikutnya air matanya berderaian dan ia jatuh berdebum ke bumi. Sang filsuf tenggelam dalam emosi terdalamnya tanpa pernah bisa kembali sadar. Itu momen terakhir kala kewarasan masih bersenyawa di otak Nietszche.

Di masa-masa Nietzsche sudah tak waras, ada beberapa karib dan pengagum yang datang membezuk. Jelas mereka bukan mengagumi kegilaannya, tapi menghormati dan mengagumi kejenialan yang pernah bersemayam di benak sang gila, Nietszche.

Meski dalam hidupnya Nietszche "membunuh" Tuhan, tetapi ada saja yang memakaikan jubah "keilahian" di masa-masa akhir nafasnya terhembus. Bahkan saat menjelang nyawanya sirna, ada yang bikin narasi beraroma hagiografis, manaqib meminjam bahasa sufistiknya.

Saudari Nietzsche, Elisabeth yang berperan melukiskan jam demi jam berlalunya hidup Nietzsche di Weimar. Penyakit pneumonia disebutkan berperan menggerogoti nyawanya. Titimangsa 25 Agustus 1900, badai luar biasa turut menghantar kepergiannya. Elisabeth mengira sang kakak habis nafas di tengah-tengah ramainya guntur dan kilat berkelahi di ufuk. 

'Tapi dia sadar lagi, kesadarannya pulih di saat malam, dan ia berusaha bicara. Aku masuk ke kamarnya pada jam dua malam paginya untuk memberi dia air minum. Ketika aku menarik bebayang lampu ke sisi lain agar dia bisa melihatku, dia berteriak girang: "Elisabeth!". Kupikir bahaya sudah usai. Dia tidur beberapa jam setelah itu dan kukira ini akan membantunya pulih lagi. Tapi, wajahnya makin berubah, nafasnya kian susah: bayangan maut meliputinya. Lagi dia membuka matanya yang ajaib. Dia bergerak susah-payah, membuka mulutnya dan menutupnya lagi, seakan-akan dia punya sesuatu untuk dikatakan dan tergesa untuk menyebutkannya. Dan tampaknya bagi semua yang mengelilinginya wajahnya berangsur memerah. Kemudian getaran ringan; nafas yang dalam---dengan lembut, dengan tenang, dengan satu pandangan agung terakhir, dia menutup matanya untuk kali terakhir.' (Kisah ini bisa dilihat di buku besutan Frederick Copleton, S.J, Friedrich Nietzsche: Philosopher of Culture (1958)).

Sedikit banyak, ada nuansa kedewataan dalam narasi Elisabeth saat mendedahkan akhir riwayat kakaknya. Utamanya ihwal guntur dan kilat yang sambung-menyambung meningkahi badai menjelang Nietzsche berpungkas.

Saya teringat Iqbal yang meremehkan gagasan si gila Nietzsche yang ditepikan oleh Rumi, sang darwis penyair terbesar. Nietzsche memang bicara Zarathustra, dan merenungi "diri". Tapi, ia hanya menemui dirinya sebagai abyss (abgrund: Jerman). Dia menatap abyss, dan abyss pun menatap dirinya. Ujungnya, nihilisme. Namun, nihilisme Nietzsche tidak pesimis, ia memuja hidup.

Tak ada salahnya bila berandai-andai, andaikata Nietzsche hidup di "Timur" boleh jadi yang ditemuinya dalam puncak permenungan adalah bukan sekadar bersitatapan dengan abyss. Dia melebur dalam abyss, atau abyss itu menjadi dirinya. Tapi, begitulah, Nietzsche berpikir bahwa bila ia melebur dalam abyss, maka hidup akan bertukar jadi pesimis. Ia berasumsi bahwa ia akan menolak dunia. Ia adalah representasi kedirian yang berusaha mempertahankan ego.

Saya baca fragmen dari situs Henry Corbin legacy, di dalam Man of Light Iranian Sufism (1971), Corbin menyebut kegilaan Nietzsche bersumber dari "kegagalan inisiasi". Gagasan ini sepertinya menarik. Di satu fragmen bukunya Nietzsche ada menyebut tentang kebutuhannya akan guru selain juga murid. Nietzsche dibetot kebingungannya oleh Abyss. Serupa Narcissus yang tenggelam di danau tempat ia mengagumi kegantengannya sendiri.

Secara kasar, kalangan religius akan menyitir Nietzsche dan Marx sebagai simbol dekadensi Barat. Nietzsche dikenal sebagai "Sang Pembunuh Tuhan" dan Marx tersohor karena berkalam "Agama itu Candu". 

Di akhir hayatnya, Marx tidak gila, Nietzsche ya edan. Betul-betul edan yang bukan kiasan. Beberapa mungkin dengan gampang bilang, itulah hukuman, azab Tuhan pada Nietzsche. Apakah hanya sesimple itu? Kegilaan adalah azab? Bagaimana bila kegilaan itu adalah kebahagiaan Nietzsche? Nietzsche adalah orang gila yang bahagia. Menyauk Descartes, tak ada salahnya bila Nietzsche mendaku "Aku gila, maka aku ada".

Nietzsche adalah seorang pencari. Pencari yang hilang akal. Kuda terpecut merampas akalnya. Mengapa ini terlihat remeh? Kuda dan kegilaan.

Sejumlah penulis bilang bahwa kegilaannya adalah efek jangka panjang dari sipilis yang diderita Nietzsche. Meski ada juga yang menyanggah bahwa dia tidak menderita sipilis melainkan gonorrhea. Ini dua penyakit yang berbeda. Bila ditelusur lebih dalam lagi, penyakit Nietzsche didiagnosis sebagai efek dari perang yang lestari bikin dia mengidap warisan neuralgia, insomnia, masalah mata, dan gangguan pencernaan. Bukan tidak mungkin juga ada persoalan genetis mengingat bahwa ayahandanya meninggal muda karena penyakit otak.

Saat mudanya, masih di usia belasan, Nietzsche adalah sosok religius. Kawan-kawan sebayanya malah menjulukinya "pastor muda". Dia hampir selalu mencatat dan merenungkan kembali permainan-permainannya di masa kecil. Dia mencari makna. Bahkan, dia merasa sangat dekat dengan Tuhan. "Tuhan bergetar di dalam nadiku," ujarnya.

Copleton, sarjana Jesuit yang bukunya dikutip di atas menarik kesimpulan bahwa kegilaan Nietzsche berhubungan dengan raibnya keimanannya. Dia bilang begini, "The dark years of madness that came upon in the final period of his life may well have been due in part to the constant tension involved in denying and attacking a Faith which he felt to be confronting him with a claim that brooked no denial." Betulkah? Entah.

Pemberontakan pemikirannya atas kuasa Tuhan berlangsung ketika dia terpesona pemikiran Schopenhauer. Sebuah keterpesonaan yang membekas abadi. Menariknya, di dalam Gay Science, Nietzsche menyebut tentang orang gila. Menurutnya, orang gila adalah orang yang berontak terhadap Tuhan. Sesuatu yang justru dilakukannya dan dia pun lantas bermasalah secara mental. Apakah ini sebuah self-prophecy?

Adalah aneh dan musykil bahwa sejumlah masa sebelum dia mengalami degenerasi mental dia justru menikmati hidupnya. Di Venice yang indah, dia melewatkan hari-harinya dengan ceria dan riang gembira. Dia berjalan-jalan ke bukit, gunung, pasar, menyapa para ibu di warung-warung, anak-anak segan dan hormat kepadanya, orang-orang di ruangan tempat dia masuk sangat menghargainya. Memang, saat itu namanya sudah mulai dikenal. Hingga akhirnya, ya itu dia bertemu kuda. [ ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun