Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Relasi Mengejutkan Islamisme dengan Komunisme

12 November 2020   17:10 Diperbarui: 12 November 2020   17:18 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gagasan Mirsaid Sultan-Galiev (1892-1940), tokoh muslim-nasionalis-komunis dari Asia Tengah, tampaknya bisa dimasukkan juga dalam kategori relasi penyesuaian ideologis ini. Seperti disebut oleh Komintern (singkatan dari Komunis Internasional, organisasi internasional besutan Lenin untuk mewujudkan komunisme dunia) sendiri, ideologinya, Sultan-Galiyevisme menggemakan gagasan ideologis revolusioner komunisme, sosialisme, nasionalisme, dan muslim. Masuk dalam kategori ini juga tampaknya gagasan Soekarno yang dituliskannya dalam tajuk menyolok pada tahun 1926, 'Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme' dimuat di buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 (Jakarta: Banana Books, 2016).

Patut dicatat, upaya menjalin hubungan antara agama dengan revolusi rupanya telah dilakukan di masa kepemimpinan Lenin. Memang, ada langgam yang relatif berbeda antara Lenin dengan Stalin dalam melihat agama. Tareq Y. Ismael, dalam bukunya Communist Movement in the Arab World (London and New York: Routledge Curzon, 2005) menengarai bahwa segera sesudah revolusi Oktober 1917, para pemimpin Soviet mendorong para aktivis anti-kolonial Arab, Timur Tengah, dan Asia lainnya untuk bergabung dengan perjuangan rakyat demi kemerdekaan nasional. Beralasan bahwa pencapaian kemerdekaan nasional mungkin terjadi hanya dengan upaya persatuan dalam satu negara, orang-orang Soviet bahkan merenungkan penggunaan Islam sebagai "gerakan kultural" dan "satu-satunya faktor kesatuan di antara kaum Muslim," untuk tujuan itu.

Relasi ketiga, koeksistensi damai. Rodinson memandang bahwa kecenderungan ke arah variabel ini tampaknya lebih disukai oleh komunis maupun muslim yang saleh. Menurutnya, ideologi masing-masing tidak diutak-atik, tak ada upaya membikin sinkretisme, terjadi koeksistensi damai dan terwujudnya kompetisi yang adil. Organisasi komunis dan muslim saling membentuk aliansi untuk mewujudkan tujuan bersama tanpa menerabas nilai intrinsik gagasan dan prinsip masing-masing.

Relasi ketiga ini ditengarai Rodinson sebagai solusi yang disokong para komunis Perancis saat Komintern pada 1935 mendukung gerakan Front Popular, yakni front bersama kaum komunis dengan sosial demokrat dan nasionalis borjuis membendung pasang naik Nazi dan Fasis di Eropa. Bagi Rodinson relasi ketiga inilah yang secara paralel diambil oleh gerakan Kristen pro-komunis 'Terre Nouvelle' di Perancis.

Dalam hal cengkeraman ideologis, persis setelah meninggalnya Stalin-lah (Stalin meninggal 1953) Uni Soviet melenturkan genggaman ideologisnya terhadap gerakan komunis Arab, meski tentu tak melepasnya sama sekali. Uni Soviet di bawah Khruschev tampak menyokong gagasan Pan-Arabisme dan Sosialisme ala Nasser di Timur Tengah. Gagasan tersebut dianggap Uni Soviet revolusioner dan arah menuju sosialisme masa depan dipersepsikan tidak mesti dipimpin oleh komunis. Bisa dibilang dari posisi inilah Rodinson mengesktrapolasi gagasannya tentang koeksistensi damai komunis dengan Islam.

Ada relasi keempat lagi yang bisa ditambahkan terkait relasi komunisme dengan Islam. Secara spesifik, barangkali lebih tepat menyebutnya Islamisme. Luz Gmez Garca menengarai relasi ini dalam tulisannya 'Islamists and communists: A history of Arab convergenze parallele' (lihat dalam buku besutan Feliu dan Izquierdo-Brichs (ed.) yang sudah disebut di atas). Gmez Garca menyebut ini dengan defeksi. Dia mengambil kasus dari komunis ke Islamis, dalam hal ini dia mengangkat kasus Adil Husain. Adil Husain adalah mantan militan dari Partai Komunis Mesir.

Gmez Garca mengutip bahwa di dalam surat kabar al-Sha'b bertitimangsa 21 Maret 1989 Adil Husain memberikan pernyataan yang patut dicermati ihwal pendirian ideologisnya. Perlu diketahui bahwa saat itu Adil Husain adalah editor dalam majalah tersebut, majalah kepunyaan Partai Buruh Sosialis Mesir yang didirikan pada 1978 setelah Revolusi Korektif Anwar Sadat.

Berikut kutipan pernyataannya:

"Saya menghabiskan bertahun-tahun berjuang di bawah pengayoman Marxisme dan Komunisme, dengan meyakininya seperti para pejuang loyal lainnya bahwa ideologi ini adalah jalan mencapai kehidupan yang lebih baik bagi rakyat dan tanah air saya. Akan tetapi, melalui studi, refleksi, pengalaman saya sendiri dan di atas segalanya, pertolongan Allah, menjadi jelas bagi saya bahwa Marxisme tidak merepresentasikan keajaiban dan solusi ilmiah yang saya harapkan bagi problem Mesir dan kemanusiaan. Dan apa yang lebih penting, saya menyadari bahwa agama tanpa tuhan dan atheisme adalah basis Marxisme, yakni materialisme dialektis, hanya mencirikan masyarakat yang korup dan orang yang tercela. Bagi saya, jelas bahwa agama sejati, yakni satu Tuhan yang menurunkan wahyu untuk keselamatan kita, adalah satu-satunya yang membimbing kita menuju satu masyarakat yang ideal."

Adil Husain rupanya tiba pada pandangan bahwa Islam menjadi jalan bukan tujuan. Ia adalah jalan pada tingkatan di mana ideologi yang kuat dengan fondasi absah religiusnya bisa menjadi kekuatan penggerak revolusi bilamana ia mampu membentuk blok sosial yang anti-hegemonik. Selain Adil Husain, beberapa nama berikut masuk dalam kelompok defektor Marxisme ke Islamisme era 1980-an, yakni Tariq al-Bishri dan Muhammad Imarah di Mesir, Rasyid al-Gannushi di Tunisia dan Hasan al-Turabi di Sudan. Bisa ditambahkan lagi Fahmi Ya'dan dari Yordania dan Muhammad al-Rumaihi dari Kuwait. Karena warna diskursus Islamisme yang relatif berbeda, mereka dilabeli aneka sebutan, seperti muslim liberal, Islamis kultural, Islamis neo-turats, dst.

Hal yang mencolok, ada warna Marxisme Gramscian dalam pandangan mereka tentang agama. Memang, para Islamis neo-Gramscian ini melihat kekuatan agama dengan relatif berbeda. Bagi mereka ini transformasi keimanan menjadi ideologi demi praksis adalah mungkin karena potensi emansipatoris Islam, pembawa jalan hidup baru dan budaya baru demi kemanusiaan. Islam dianggap memiliki peran krusial untuk menuju kepada sistem yang komplit (nizam kamil). Ada nuansa bentuk khas posmodernitas Arab 1980-an ini, yakni Islamisme kewargaan dengan akar-akar Gramscian.

Arkian, relasi komunisme dengan Islamisme rupanya tidaklah melulu manikean, hitam putih. Ada spektrumnya. [ ]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun