Mohon tunggu...
Iip Rifai
Iip Rifai Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Penulis Buku PERSOALAN KITA BELUM SELESAI!, 2021 | Pernah Belajar @Jurusan Islamic Philosophy ICAS-Paramadina, 2007 dan SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, 2015

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Khatib Jumat yang Saya Acungi Jempol

20 Juni 2020   05:26 Diperbarui: 20 Juni 2020   07:37 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin, 19/6/2020, saya kebetulan menunaikan Salat Jumat di kampung, tanah kelahiran saya sendiri. Sungguh luar biasa. Tak terlihat suasana pandemi atau wabah. Kampung saya, insyaallah jauh dari ancaman Covid-19, 'nauzubillah'. Tak terlihat ada physical distancing, tak ada SOP pemakaian masker, pula tak tak ada pengecekan suhu tubuh atau penyemprotan disinfektan oleh DKM sebelum masuk masjid.


Barisan salat tak berjarak, justru di masjid kami, memakai aturan syariat, yaitu lurus dan rapat. Penuh kesadaran dan tanggung jawab. Warga kami bukan warga ngeyel-an, juga bukan antisains, atau penentang WHO, dan sejenisnya. Wilayah kami termasuk kategori 'zona hijau', tak ada satu orangpun yang terpapar, alhamdulilah.

Satu hal menarik dari ritual jumat-an adalah khutbah Jumat. Terus terang, biasanya ketika khatib naik mimbar, maka berbarengan dengan dimulainya memejamkan mata. Saya dan keumuman 'ikhwatu iman sidang Jumat rahimakumullah', biasanya demikian. Bangun-bangun saat ikamat atau dicolek orang yang berada di sebelah, bahwa salat akan segera dimulai. Soal sah atau tidak, berpahala atau tidak, itu urusan Tuhan. Kira-kira demikian.

Jumat-an kali ini, saya 'full melek'. Taka ada rasa kantuk atau ngobrol dengan orang yang di sebelah karena lama tak bersua. Sama sekali, saya khusuk mendengarkan khatib menyampaikan pesan-pesan Tuhan untuk jemaahnya. Sungguh penyampaian pesan Ilahi yang sistematis, disamping rasional dan penuh nilai. Bagi saya, khutbah Jum'at yang sangat berbobot, jika dinilai ala kampus mendapatkan nilai A+, nilai istimewa; mumtaz jiddan.

Sang khatib, menurut saya, punya kompetensi kebahasaan dan kemahiran dalam ilmu tafsir. Hal ini jelas terlihat ketika ia memulai bahasannya dengan mengurai kata 'nur' dalam bahasa Arab secara letterlijk kemudian  memberikan kontekstualisasi tafsir terhadap ayat yang dimaksud. Diperkaya dengan tinjauan sastra (baca: sastra Arab) menyoal tasybih (majaz).

Wawasan yang luas dan pengetahuan umum yang dikuasai  sungguh sangat mumpuni. Jarang sekali saya mendapatkan kuliah Jumat seperti ini. Kualitas khatib, menurut saya, sekelas khatib Masjid Istiqlal. Sangat rugi, jika 'ikhwatu iman rahimakumullah',  tidur mendengkur saat pesan tersebut disampaikan.

Sajian spiritual yang menyentuh. Tema yang diangkat adalah persoalan-persoalan keseharian (daily problems) bukan materi yang mengawang-ngawang (menara gading) atau hanya sekedar wacana basa-basi. Sungguh sangat relevan dengan kondisi keseharian umat. Sang khatib bicara bagaimana kondisi sosial yang telah 'dikalahkan' atau dijajah sebuah teknologi (hp, misalnya) sehingga pesan-pesan Tuhan diabaikan bahkan ditinggalkan.

Kaum tua, muda, dewasa, dan anak-anak lebih sering berurusan dengan alat komunikasi di atas ketimbang berkomunikasi dengan Tuhan mereka; membaca kitab suci, memenuhi panggilan azan untuk salat lima kali tepat waktu, atau mengkaji kedalaman ayat-ayat suci dan sabda-sabda Nabi. Demikian kira-kira pesan khatib yang saya tangkap.

Dalam kesempatan ini, saya mau berasumsi bahwa kecakapan khatib saat meramu pesan-pesan Tuhan ketika berkhutbah sangat menentukan kondisi jamaah sidang jumat. Saya, misalnya, yang bawaannya mengantuk dan terlelap, saat khatib mulai naik mimbar, hari ini tak terjadi karena "terpukau" dengan strategi komunikasi, kompetensi serta kecakapan sang khatib menguasai psikologi umat.

Jangan selalu menyalahkan jamaah. Selama ini, jamaah kerap menjadi penderita yang selalu dijadikan objek. Kita tak pernah melihat bahwa subyek (dalam konteks ini adalah khatib) juga merupakan penentu kondisi  lapangan.

Semoga khatib-khatib Jumat di seluruh pelosok masjid, di manapun berada, mengerti dan memahami kondisi jemaahnya, sehingga ia cerdas membaca situasi dan kondisi jamaah sidang Jumat.

Walhasil, di kemudian hari, saya kira tak akan ada lagi program "tidur berjamaah" setiap kali khutbah jumat dilaksanakan. Terlebih bagi khatib yang memakai bahasa Arab saat berkhutbah di tengah umatnya yang "gelap gulita" dengan bahasa tersebut.

Tak akan ditemukan lagi bahasa seperti ini "Khatib memakai bahasa setempat saja jamaah terlelap, apalagi full memakai bahasa Arab, dari awal hingga akhir khutbah, jamaah akan bertambah lelap".

Barakallahu li wa lakum..!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun