Sebut saja, misalnya, konflik komunal yang lahir dari rahim agama baik internal maupun antaragama; Peristiwa Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok (1997); Peristiwa Katapang, Kupang (1998); Kerusuhan Poso (2000); Kerusuhan Ambon (1999-2000); Insiden Monas Berdarah (2008); Konflik Sunni versus Syiah di Sampang, Madura (2012), dan sejumlah peristiwa lain yang miris dan menyedihkan.
Catatan lain, konflik komunal antarsuku, misalnya, yang terjadi di Sampit antara suku Dayak dan Madura (2001); Perselesihan Suku Tidung versus Bugis Letta (2010); Peperangan Suku Dani versus Suku Moni di Mimika, Papua (2014).
Sedangkan konflik komunal antaretnis terjadi pra-reformasi 1998, dahsyat sekali. Peristiwa ini diawali dengan kerusuhan, perusakan, penjarahan, pembakaran rumah-rumah, toko-toko dan perusahaan-perusahaan milik etnis Cina di berbagai tempat; Jakarta, Solo, Makassar, dan kota-kota besar lainnya.
Dari data di atas, bisa kita terjemahkan bahwa heterogenitas bisa menjadi ancaman Pancasila, sila ke-3, teapatnya, yaitu Persatuan Indonesia. Selanjutnya akan merembet ke sila-sila berikutnya. Konflik menjadi penyebab utama disintegrasi keutuhan berbangsa dan bernegara kita.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana menghadapi kemajemukan atau keragaman di atas agar tak terjadi konflik komunal? Perbedaan agama, suku, etnis, bahasa dan lain sebagainya seharusnya bisa menjadi aset berharga dari kekayaan bangsa ini, agar Indonesia tetap aman, damai dan rukun.
Menurut saya, Â obat yang paling mujarab menyikapi kemajemukan atau keberagaman di atas adalah dengan mengutamakan "dialog". Seluruh persoalan di negeri ini butuh penyelesaian dengan menggunakan hati yang bersih dan kepala dingin, tak harus selalu bertemu di ring tinju. Malu, sungguh terlalu!
Selain dialog, "sikap toleransi" merupakan obat yang paling manjur juga dalam menyikapi persoalan disintegrasi keutuhan negara dan pemecah belah warga. dengan menumbuhkan pemahaman nilai-nilai universal kemanusiaan, yaitu kita semua merasa bersaudara yang saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
*Kota Serang, Rabu Pagi, 10 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H