Â
Epistemologi Abid Al-Jabiri
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dua kunci utama yang paling mendasar dari kemajuan peradaban manusia. Keduanya tidak dapat diraih begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan inilah yang kemudian dikenal sebagai epistemologi.
Muhammad ‘abid Al-Jabiri, seorang pemikir asal Maroko, membagi model epistemologinya ke dalam tiga (3) bagian, yaitu model bayani, irfani, dan burhani. Bayani secara etimologi mempunyai pengertian:  al-fashl wa al-infishal(memisahkan dan terpisah), al-dhuhur wa idhhar (jelas dan penjelaan). Pengertian pertama berkaitan dengan metodelogi, sedangkan pengertian kedua berkaitan dengan ru’y (visi). Adapun secara terminologi, bayani memiliki pengertian sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin tafsir al-kitab) dan syarat-syarat memproduksi wacana (syuruth intaj al-kitab).
Ringkasnya, bayani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memiliki otoritas penuh menentukan arah kebenaran. Dalam tradisi nalar epistemologi bayani, fungsi akal hanya digunakan sebatas untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks. Di samping itu, nalar epistemologi bayani ini selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Akal dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Wilayah kerja akal pikiran perlu dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukan untuk mencari sebab-akibat  lewat analisa keilmuan yang akurat.
Dalam konteks penafsiran QS. Al-Maidah: 51, yang menjadi isu konflik saat ini, corak pemikiran model bayani ini sangat mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga menjadi sulit berdialog  dengan tradisi epistemologi irfani dan burhani.
 Epistemologi irfani secara sederhana bisa diterjemahkan sebagai pengetahuan yang diperoleh qalb (hati)  melalui kasyf, ilham, ‘iyan (persepsi langsung) dan isyraq.Oleh karena itu, irfani bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hambanya (kasyf) setelah adanya olah rohani (riyadhah) yang didasarkan atas dasar cinta (mahabbah).Sebuah pengetahuan akan diperoleh melalui hati yang dapat mengantarkan seseorang untuk menimbang mana yang terbaik untuk diterapkan. Ringkasnya, epistemologi irfani adalah model metodologi berpikir yang didasarkan atas intuisi.
Epistemologi irfani ini kurang begitu disukai oleh model bayani, karena bercampur-aduknya dan dikabur-buramkannya tradisi berpikir irfani oleh kelompok-kelompok tarekat. Disamping itu juga lantaran pola pikir irfani, struktur fundamental epistemologinya dan nilai manfaat yang terkandung di dalamnya cenderung sulit dipahami. Tak heran jika pada prakteknya, masing-masing epistemologi tidak pernah akur. Para penganutnya saling mengklaim kebenaran hingga berujung saling kafir-mengkafirkan atau murtad-memurtadkan. Pola pikir tekstual bayani secara politis sangat mendominasi yang kemudian membentuk pola pikir hegemonik dan kaku. Otoritas teks dan kaidah-kaidah metodologi yang dibakukan lebih diunggulkan dibandingkan dengan sumber keilmuan lain seperti alam, pikiran dan intuisi. Â Â
Epistemologi terakhir adalah burhani. Dalam bahasa Arab, al-burhanditerjemahkan sebagai  argumen yang cleardan distinct. Secara umum didefinisikan sebagai aktivitas pikir untuk menetapkan kebenaran sesuatu. Sedangkan menurut pengertian logika, al-burhandiartikan sebagai aktivitas pikir yang menetapkan kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan pada pengetahuan yang bukti-buktinya mendahului kebenaran
Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem pengetahuan yang berbeda dengan metode pemikiran tertentu dan memiliki wold view tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain. Burhani mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran.
Perpaduan teks dan akal memunculkan kekakuan dan ketegangan-ketegangan tertentu bahkan tak jarang menimbulkan konflik dan kekerasan yang bersumber dari pola pikir ini. Dalam kasus penerjemahan kata auliyayang terdapat dalam QS. Al-Maidah : 51, kaum bayani menerjemahkannya secara tekstual, sedangkan kaum burhani mencari terjemahan lain yang sesuai dengan konteksnya.