Menerapkan aturan dan disiplin di sekolah memiliki tantangan yang tidak mudah. Guru banyak terjebak pada situasi memandang  anak - bahkan melabel anak  yang kedapatan beberapa kali melanggar aturan atau disiplin sekolah sebagai 'anak nakal'.Â
Tulisan ini adalah pemikiran dari  cerita pengalaman nyata yang saya lakukan atau terapkan di satu sekolah di mana saya menjadi bagian dari tim yang menangani program pengembangan sekolah di bidang akademik, sekaligus sebagai pendamping guru dalam menangani disiplin sekolah untuk  menerapkan konsep 'disiplin tanpa hukuman'.Â
Di mana proses pendidikan anak, pengajaran  dan penerapan aturan dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi, komunikatif dan menghindari hal-hal yang masuk ke dalam kategori bullying. Maka melalui tulisan  singkat ini, akan saya paparkan beberapa tips  mengembangkan disiplin diri pada anak, tanpa harus menciptakan suasana yang tegang, marah, tekanan, apalagi hukuman.Â
Tentunya tips mengembangkan disiplin diri ini juga bisa diterapkan di dalam mendidik anak untuk belajar berdisiplin di rumah. Para orangtua tentunya banyak mengalami kondisi tatkala anak-anak nampak sulit memperhatikan aturan, nampak malas, dianggap sering membuat masalah yang mengundang kesal atau marah, sehingga banyak orangtua mudah melabeli anak dengan label 'nakal'.Â
Menerapkan aturan dan disiplin di sekolah memiliki tantangan yang tidak mudah. Guru banyak terjebak pada situasi memandang  anak - bahkan melabel anak. Mengapa ada label nakal disematkan kepada anak? Umumnya untuk anak-anak yang tidak menurut, tidak patuh, melanggar aturan, dan sikap lainnya yang membuat guru atau orangtua menjadi kesal.Â
Kata 'nakal' dalam KBBI artinya: 1. Suka berbuat kurang baik (tidak menurut, mengganggu, dan sebagainya, terutama bagi anak-anak). 2. Buruk kelakuan (lacur dan sebagainya). 'Kenakalan' artinya sifat nakal; perbuatan nakal; tingkah laku secara ringan yang menyalahi norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Menurut John Dewey, perilaku  kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, instink atau bawaan hereditas, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - "situasi kita" - termasuk tentunya orang lain. Anak-anak tumbuh sejak lahir sesuai dengan situasi, kebiasaan, pola yang ia alami di lingkungan tempat ia tinggal.Â
Sejak bayi anak belajar dari Ibunya, atau yang mengasuhnya. Belajar dari Ayahnya atau keluarganya yang lain, serta teman bermainnya sehari-hari.Â
Lingkungan, baik di rumah ataupun di sekolah memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk perilaku anak, sehingga perilaku baik atau nakal tidak serta merta muncul dari dalam diri pribadi anak. Melainkan sebuah proses penyerapan, proses belajar, proses meniru dari apa yang anak alami, dengar, dan saksikan.Â
Ketika ada seorang anak menunjukkan perilaku yang disebut sebagai 'nakal', sesungguhnya besar kemungkinan itu bukankah sifat  anak yang sesungguhnya atau yang menempel pada dirinya. Kenakalan dalam bentuk perilaku adalah akumulasi berbagai pengalaman yang ia alami sejak kecil.
Perilaku yang normal pada seorang anak, selain dipengaruhi lingkungan di mana ia tumbuh, juga tergantung pada usia, kepribadian, dan perkembangan fisik dan emosional anak.Â
Perilaku seorang anak dapat menjadi masalah jika tidak sesuai dengan harapan keluarga atau jika perilaku tersebut mengganggu. Perilaku normal atau "baik" biasanya ditentukan oleh apakah itu sesuai secara sosial, budaya, dan perkembangan. Mengetahui apa yang diharapkan dari anak Anda pada setiap usia akan membantu Anda memutuskan apakah perilakunya normal.Â
Pun demikian juga pada perilaku Anak yang dianggap tidak baik, seperti  malas, mudah marah atau emosional, banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Itu bisa mencakup alasan biologis, seperti lapar atau lelah. Anak-anak  dapat memasukkan alasan emosional, seperti tidak mampu mengatasi atau menggambarkan perasaan mereka sebagai penyebab perubahan sikap atau tindakan impulsif mereka. Â
Mereka juga bisa  tidak semangat karena guru mereka galak, hingga mereka tidak nyaman berada di kelas bersama gurunya. Kemudian  tentu budaya lingkungan sekolah atau rumahnya, itu juga  dapat memengaruhi perilaku.
Jadi sesungguhnya tidak ada anak yang (terlahir) nakal! Kenakalan, apapun bentuknya adalah dampak dari pengalaman hidup yang ia terima. Jika Anda mempunyai dua orang anak yang kembar, coba Anda bereksprerimen (saya sangat tidak sarankan tentunya). Yang  satu Anda didik, Anda perlakukan dengan kasih sayang, penuh keceriaan, diperhatikan.Â
Lalu yang satunya lagi, lebih sering Anda abaikan, berkomunikasilah dengan cara yang kasar, bersikap kikir terhadap hampir semua permintaannya. Anda  cukup butuh waktu 1 tahun saja menerapkan pola itu, buktikan dampak yang luar biasa terhadap perilakunya di tahun berikutnya.Â
Nah bagaimana dengan disiplin dan aturan di sekolah? Tentu kerangka pemikirannya dalam hal membentuk perilaku anak-anak di sekolah itu sama dengan pola asuh di rumah seperti disebutkan di atas. Menerapkan disiplin sesungguhnya tidak perlu dengan cara-cara yang menyebabkan  perilaku anak menjadi negatif. Saat ini para pakar parenting menyebutnya dengan istilah 'disiplin positif'. Kita bisa mendidik anak untuk berdisiplin, taat aturan dengan cara-cara memengaruhi perilakunya melalui pola yang positif, bebas bullying, tanpa hukuman.Â
Ketika saya menerapkan pola khusus di sekolah tempat saya bekerja sebagai konsultan dan pendamping ada beberapa cara yang saya terapkan untuk membantu para guru menegakkan disiplin terhadap anak tanpa harus ada hukuman, tanpa harus ada bentakan, apalgi pukulan.
Berikut adalah tips bagaimana mengembangkan disiplin diri anak secara positif:
1. Kenalkan kepada anak tentang batasan-batasan
Secara sosial, pelanggaran atas disiplin adalah pelanggaran atas batas. Memahami batas adalah proses kerja nalar yang sederhana, dan itu bisa dilatih sejak usia dini. Misal batas waktu bermain, batas area bersepeda, batas waktu menonton TV dan lain sebagainya. Jadi kenalkan anak tentang batasan, kemudian komunikasikan bahwa ia perlu menjaga dirinya atau mengikuti intruksi dengan batas yang jelas. Karena jika tidak, akan berkonsekwensi logis terhadap hal lainnya. Bermain tidak kenal waktu akan melelahkan, bersepeda terlalu jauh tanpa pengawasan akan berbahaya, dan seterusnya.
Di sekolah biasanya saya minta para guru menjelaskan tentang aturan bermain dan batasan area bermain untuk anak sebagai tahap awal menjelaskan bagaimana disiplin dalam kelas dan di lingkungan sekolah harus ditaati. Kemudian masing-masing guru membuat semacam poster "Do's and Dont's". Setiap hari disampaikan saat membuka kelas.
2. Biasakan untuk berdialogÂ
Membiasakan berdialog dengan anak, khususnya dalam menyikapi perilakunya, kejadian yang menimpanya, atau emosinya tatkala  melakukan tindakan impulsif adalah cara yang sangat baik dalam menerapkan disiplin yang positif kepada anak. Berdialog melatih anak belajar mengungkapkan perasaan dan sekaligus belajar mendengarkan. Kitapun juga membantu mereka lewat contoh tentang betapa pentingnya mendengarkan.Â
Ketika anak melakukan pelanggaran disiplin, menghukumnya bukan solusi yang tepat agar ia tidak mengulangi, bisa jadi hukuman akan membuat ia bertambah stress dan cenderung melakukan tindakan lain yang lebih berat dari pelanggaran sebelumnya. Dialog mengajak kita memahami akar masalah mengapa seorang anak berbuat salah, berperilaku buruk atau tidak mengerjakan tugas misalnya.Â
Saya mencoba menerapkan tips berdialog ini bersama  guru piket di sekolah. Setiap anak yang datang terlambat, saya minta guru piket mencatat, kemudian menanyakan dan menuliskan alasan anak mengapa terlambat setelah dilakukan dialog dengannya. Dan setelah lama berjalan, pola itu memberikan motivasi baru untuk anak yang suka datang terlambat karena berbagai alasan, kemudian  mendapatkan solusinya melalui dialog tadi. Bukan melalui hukuman. Kebiasaannya datang terlambat tidak terjadi lagi. Karena dialog melatih anak-anak mencari solusi, belajar tentang pengaturan diri, dan berlatih mengontrol emosi.
3. Hindari mempermalukan anak
"Umurmu 6 tahun, jangan bertingkah seperti bayi!"Â
"Tidak mengerjakan tugas lagi? Pemalas seperti kamu tidak akan sukses!"Â
"Kamarmu menjijikkan, bersihkan."Â
"Kenapa kamu tidak bisa mengerjakan soal semudah ini? Dasar 'telmi'! (Telat mikir)"
Pernahkah Anda mengucapkan kata-kata itu? Ungkapan-ungkapan itu semua memiliki efek mempermalukan , membuat anak-anak merasa buruk tentang diri mereka sendiri. Hal ini tentu saja berdampak negatif pada harga diri anak dan  juga tidak efektif, karena memperkuat identitas anak sebagai seseorang yang berperilaku dengan cara tertentu.
Jika anak Anda selalu diberi tahu bahwa mereka bertingkah seperti bayi, mereka akan menyerap ini dan lebih berperilaku seperti itu. Jika Anda menyebut mereka sebagai pemalas, mereka akan menganggap diri mereka seperti itu dan bertindak sesuai dengan itu. Cobalah untuk mengomentari perilaku anak Anda, memberi tahu mereka ketika itu tidak pantas, tanpa menimbulkan perasaan malu.Â
Jika Anda perlu memberi peringatan, atau Anda memberi penjelasan khusus tentang kondisi diri anak Anda, lakukan berdua saja, jangan di depan orang lain. Itu akan membuat anak belajar berpikir dan merasa dirinya masih punya kesempatan untuk merubah sikap atau memperbaiki kesalahan.
4. Gunakan konsekuensi logis untuk mengganti hukuman
Sebagian besar guru menganggap bahwa hukuman untuk anak yang berbuat tidak baik, melanggar disiplin adalah cara yang tepat untuk membuat mereka 'kapok'.  Padahal sesungguhnya hukuman hanya efektif untuk jangka pendek, tidak akan memberi pemahaman yang kuat tentang pentingnya disiplin untuk jangka panjang.Â
Saya pernah meminta guru mengganti hukuman menulis tulisan "aku akan mengerjakan tugas" sebanyak dua halaman, atau berdiri di depan kelas, dengan mengurangi waktu bermain saat jeda pelajaran sebagai konsekuensi logis anak yang tidak mau mengerjakan tugas. Kemudian anak tersebut mengisi waktu "konsekuensinya" dengan mengerjakan  tugasnya bertahap. Awalnya itu dipandang terlalu lunak dan membuat anak tidak berubah juga.Â
Namun beberapa waktu kemudian, nampak perubahan anak yang mulau mau mengerjakan tugasnya, meski kadang perlu dibantu. Itu lebih baik, dan mendidik anak belajar tentang arti konsekwensi dalam hidup.
Demikian tips singkat tentang mengembangkan disiplin diri pada anak ini saya tuangkan sebagian dari pengalaman saya dalam membantu mendampingi guru di sekolah. Pada prinsipnya tips disiplin diri - yang tentu masih banyak lagi - adalah upaya bagaimana mendidik anak dengan pola kepengasuhan yang positif (positive parenting), karena sesungguhnya anak belajar tentang perilaku sesuai pengalamannya sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H