Aku belum selesai menghabiskan kopiku yang hampir dingin karena tertunda oleh suara Zola yang menarik-menarik meminta makan. Sekalian aku buang terlebih dahulu kotoran semalam di nampan pasir yang mulai menebarkan aroma khas, setelah mengembalikannya ke tempat asalnya, kemudian mencuci tangan dengan sabun aku tuang jatah Zola pagi itu. Dan terlihat layar ponselku menampilkan gambar ada telepon masuk.
"Mas, hari ini bisa bertemu nda?" tanya penelepon di ujung mic ponselnya kira-kira 30 km letaknya dari kediamanku.
"Hai Ton..iya, jam berapa?" jawabku membuat seluruh darahnya serasa lancar menjalari urat-urat dalam tubuhnya, dan membuat oksigen di otaknya full memberikan rangsangan setiap sinaps terhubung di ujung dendrit-dendritnya yang belakangan ini sering terganggu akibat keputusan Aini untuk pisah dengannya jadi mantab.
Perkantoran di Jalan Sarinah selalu memberikan kenangan yang menurutku suka berulang. Bahkan pernah satu babakan kisah kulakoni di salah satu gedung bertingkat itu. Dan seperti sebuah kebetulan, dua tahun kemudian aku mengalaminya lagi dengan lakon yang sama, namun dengan figuran dan sutradara yang berbeda.Â
Gara-gara lakon tersebut, aku hampir  putus persahabatan dengan kawan baikku, dan bahkan yang tragis dipecat atasanku sendiri di kantor.
Berpura-pura adalah perilaku yang ganjil yang pernah kutahu dalam kamus psikologi. Jika aku berpura-pura sedih padahal tidak, aku berpura-pura cinta padahal terpaksa, itu disebut dengan istilah munchausen syndrome.
Istilah yang diadaptasi dari karakter Baron Munchausen yang diciptakan oleh penulis asal Jerman dalam bukunya yang berjudul Baron Munchausen's Narrative of His Marvellous Travels and Campaigns in Russia(1785). Sindrom ini ditunjukkan oleh kecenderungan seseorang untuk berpura-pura sakit, menderita, atau memiliki trauma psikologi untuk mendapat perhatian dari orang lain. Ngerinya, dalam beberapa kasus, orang yang memiliki kecenderungan ini bisa sampai nekat untuk melukai dirinya sendiri agar dirinya menarik simpati dari orang di sekitarnya.
Pukul 12.10 aku sampai di salah satu warung kopi modern ala-ala orang western. Kulihat Toni sdh duduk di meja paling kanan yang menghadap perempatan jalan.
Dan alamak...!
Ini meja yang dua tahun lalu aku duduk bersama bosku. "oh Tuhan! Semoga ini bukan lakon ketigaku" doaku dengan gemetar dalam hati.
Toni bercerita tentang pacarnya yang setelah lebaran besok akan dinikahinya. Itu berarti 3 bulan dari sekarang.Â
Aku semakin merinding, dudukku kugeser ke kiri dan ke kanan.
"kamu kenapa Mas? Wasir?"Â
"ng..ngga..kesemutan aja" jawabku menutupi perasaan hati yang tak karuan.
Meja paling kanan, menghadap perempatan jalan.Â
Pada waktu itu, saat pak Arif menceritakan kepadaku dua tahun lalu, bahwa calon istrinya, Elga akan dinikahinya, namun tiba-tiba, minta putus, dan saat itu, tepat pukul 14.05, ada pesan masuk, Elga memaksa bertemu aku untuk menjalani lakon yang aku tidak bisa kulakukan. Namun ancamannya menarikku lebih kuat atas nama balas jasa.
Aku semakin berkeringat, dan tidak konsentrasi mendengarkan curhatan Toni.Â
Aku masukkan ponselku ke dalam ransel, untuk fokus menjadi pendengar yang baik terhadap kawanku itu.
Selesai kami bertemu aku pamit, dan tentunya dengan solusi yang kuanggap paling bijak membantunya keluar dari permasalahan itu.
Namun sebelum meninggalkan cafe tersebut, aku langsung menuju toilet, kubuka ponsel ku.....
Ada 20 panggilan tak terjawab, dan kulihat di pesan masuk, pkl.14.05 Aini minta aku temuinya di restoran tepat di samping cafe itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H