Hal senada diungkapkan dr. W.M. Roan, “Itu hanya suatu social acceptability. Lelaki diajari tidak boleh menangis, dia harus tahan. Kalau perempuan menangis itu biasa.
Jadi itu ‘kan kultur saja. Padahal tidak begitu juga. Pria, karena sesuatu yang sulit, juga bisa menangis. Dalam kondisi tertentu ia bisa menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
Meskipun dianggap baik, tertawa dan menangis sebenarnya masih bisa digolong-golongkan. Ada tawa dan tangis yang genuine (asli atau tulus), ada yang palsu, ada juga yang sekadar untuk basa-basi dan basuh :D
Jadi dalam hal ini menangis dan tertawa itu masing-masing bisa dibedakan secara nuansa: yang asli, naluriah, spontan, menuju ke yang tidak spontan, dibuat-buat, sampai yang palsu.
Jika dibuat gradasi, antara ujung yang satu dengan ujung yang lain itu berbeda banyak. Tapi yang ditengah-tengah itu susah membedakannya, sehingga kita bisa salah duga.
Namun ingat, “Kalau seseorang tertawa dan menangis pada proporsi yang benar, itu artinya sehat, tapi kalau terlalu banyak tertawa dan menangis, justru sebaliknya!”
Foto: Dari Google + Edit
Referensi: Berbagai Sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H