Kurang lebih tiga bulan lagi masyarakat Dempo Barat akan melangsungkan pemilihan kepala desa (Pilkades). Tepatnya, 11 September 2019. Suatu hal yang menggembirakan, tetapi di lain pihak, juga menghawatirkan. Pasalnya, tanpa penulis sebut kasusnya satu per satu, dalam beberapa pemilihan yang telah dilangsungkan di tahun-tahun yang lalu, sebuah kegiatan politik di desa ini memberikan efek yang sebetulnya tidak kita harapkan. Munculnya permusuhan, saling tuding dan cemooh, konflik berkepanjangan, bahkan sampai ke tingkat fisik pun telah menjadi hal lumrah saat menjelang bankan sesudah pemilihan.
Tentu dasar pemikiran dari diadakannya kegiatan politik yang berasas demokrasi ini bukanlah untuk memecah belah. Kita mungkin sama-sama yakin bahwa kegiatan empat tahunan ini bukan hanya persoalan kompetisi saling rebut kuasa dan jabatan, tetapi sebagai suatu bentuk upaya untuk mencapai suatu keadilan dan kesejahteraan umum. Pertanyaannya, bagaimana dan siapakah yang sekiranya dapat memperjelas serta meminimalisir fenomena seperti yang telah disebut? Penulis bisa menjawab, salah satunya adalah generasi muda dan para mahasiswa.
Alasannya sederhana. Sebagai penerus di kehidupan mendatang, generasi muda dan para mahasiswa adalah bagian masyarakat yang potensial dalam membangun suatu perubahan. Sejarah membuktikan bahwa kehadiran dari gerakan yang diprakarsai oleh golongan muda, sangat efektif dalam melawan status quo negatif, serta berbagai kemandekkan yang terjadi pada masyarakat atau bangsa tertentu. Dan hal ini tentu harus sama-sama diinsyafi oleh generasi muda dan mahasiswa di Dempo Barat demi masa depan desa yang lebih baik. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan, akan dibahas pada dua sub-bab berikut ini.
Pentingnya Sosialisasi Prinsip Demokrasi di Daerah
Kita bisa melihat bahwa suatu kegiatan politik di Dempo Barat masih jauh dari kata demokratis. Mungkin sebagian dari prinsip demokrasi sudah diimplementasikan, tetapi sebagian di antaranya juga diabaikan. Dan parahnya, beberapa hal yang diabaikan ini justru adalah nafas dari demokrasi itu sendiri. Contohnya adalah kebebasan dalam memilih serta sikap menerima segala macam perbedaan. Kedua hal ini mutlak harus ada dalam suatu asas demokrasi.
Kita sering melihat ada beberapa oknum yang dengan sengaja memaksa seseorang atau kelompok guna memilih paslon tertentu dengan alasan-alasan tertentu. Jika dinalar dari kacamata demokrasi, tentu hal ini adalah bentuk pelanggaran. Suatu paksaan tidak ada dalam kamus demokrasi. Hak pilih seseorang mutlak sebagai hak privasi. Tidak boleh diganggu gugat, apalagi sampai dipaksa. Sekedar mengajak atau berkampanye, tentu sah-sah saja. Tidak ada persoalan. Tetapi ketika sudah sampai pada sikap pemaksaan, maka tentu menjadi masalah dan akan memunculkan efek negatif.
Pun kita juga jarang melihat munculnya sikap saling menerima perbedaan dari setiap  warga desa. Seakan mereka yang bukan golongannya adalah salah, dan kebenaran hanya milik kelompoknya saja. Tafsir bahwa kebenaran dikooptasi oleh sekelompok orang ini yang memunculkan sikap anti terhadap mereka yang berbeda, salah satunya adalah beda pilihan pasangan calon (paslon). Padahal jika dipikir-pikir, ikatan ke-tetangga-an atau bahkan kekeluargaan yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun, rasa-rasanya 'kok sayang sekali apabila harus ditukar dengan ajang empat tahunan seperti pilkades ini.
Nah, di sinilah letak pentingnya pemuda serta mahasiswa yang sudah mengenyam pendidikan dan mengerti tentang bagaimana konsep demokrasi harus diterjemahkan, untuk mensosialisasikan asas-asas demokrasi kepada warga desa. Tentu hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bisa dengan sikap yang tidak saling menyalahkan, dan mencoba menerima perbedaan dengan tidak membentuk sekat-sekat dalam suatu masyarakat. Karena disadari atau tidak, sekat-sekat dalam bentuk apapun yang ada dalam masyarakat juga akhirnya menjadi salah satu faktor yang dapat menyuburkan sikap anti perbedaan ini.
Pun pemuda serta para mahasiwa juga dapat membentuk suatu kelompok guna mempropagandakan sikap yang demokratis. Dari perkumpulan ini pulalah nantinya diharapkan bisa lahir sebuah program yang digagas oleh mereka untuk mempertemukan kedua paslon (karena pada tahun ini ada dua paslon di Dempo Barat) untuk saling membeberkan visi dan misi masing-masing, serta untuk saling serap aspirasi sehingga salah satu paslon yang terpilih bisa menerima agenda-agenda dari paslon yang lain apabila dirasa bagus dan perlu. Kegiatan ini tidak seperti debat capres yang lebih mendekati debat kusir. Tetapi satu kegiatan untuk saling mengutarakan gagasan atau ide agar kemudian bisa saling tukar pikiran. Efek yang diharapkan timbul adalah tetap terjalinnya silaturrahmi dari kedua paslon, serta sikap saling menerima dengan setiap keputusan. Bukankah menyenangkan apabila kita hidup dalam desa dengan para pemimpin serta masyarakatnya yang toleran?
Tentu ini bukan hal mudah karena yang kita hadapi adalah status quo atau kebiasaan yang telah menjamur di masyarakat. Tetapi walaupun demikian, perubahan tidak berarti tidak mungkin, bukan?
Merangsang Kritisisme Warga Desa
Hal kedua yang mungkin absen dari warga desa Dempo Barat adalah kritisisme atau pertimbangan rasional dalam memilih paslon. Rata-rata pemilih memilih berdasarkan sentimen hubungan akrab, rasa tidak enak, atau pertimbangan lain yang sejatinya tidak ada kaitannya dengan suatu pemerintahan desa itu sendiri. Istilah politisnya adalah pemilih dengan pertimbangan sosiologis, bukan rasional.
Nah, ini juga menjadi soal dalam masyarakat kita. Karena dengan tingkat kritis yang rendah, efeknya adalah  kurangnya pemahaman warga akan apa saja yang diagendakan oleh para calon kepala desa, serta apa keuntungannya bagi mereka. Rumusnya sederhana, semakin rendah tingkat kritisisme warga, semakin besar potensi mereka untuk ditindas. Karenanya, sikap kritis terhadap para calon kepala desa ini harus "dimasyarakatkan" oleh generasi muda dan mahasiswa.
Dengan sikap kritis, mencita-citakan sistem pemerintahan yang transparan pun tidak sulit kita realisasikan. Pasalnya, dengan tingkat kritisisme warga desa yang membaik, rasa keingintahuan mereka juga akan muncul. Sehingga, setiap agenda atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para calon kepala desa ini pun akhirnya akan dipertanyakan pertanggungjawabannya.
Kasus yang sering terjadi, warga sering melihat pilkades ini hanya menjadi ajang ceremonial, tidak perlu serius, dan sikap mereka cenderung bersikap bodo amat. Padahal, setiap pilihan yang mereka ambil akan sangat berpengaruh pada kehidupan mereka selama empat tahun ke depan. Mungkin banyak yang menyangkal dengan berucap, "halah.. mau siapa pun kadesnya, toh saya tetap saja jadi petani!". Pada satu pihak sangkalan ini mungkin ada benarnya. Tetapi di lain pihak, sangkalan ini salah besar.
Profesi si penyangkal tadi mungkin saja tetap jadi petani. Tetapi kebijakan distribusi pasar, harga sembako, lapangan pekerjaan, dana bantuan, atau upaya pembenahan desa, tentu akan sangat berubah. Beberapa hal yang telah disebut akan sangat bergantung pada kebijakan para pemimpin mereka dari tataran pemimipin negara, sampai pada pemimpin desa. Kita harus pahami bahwa suatu kebijakan politik hampir mempengaruhi sebagian besar dari kehidupan kita. Karenanya, sudah saatnya kita mulai peduli dan tidak lagi acuh pada kegiatan politik di desa ini. Terutama generasi muda dan para mahasiwa yang sudah pasti akan mengisi zaman berikutnya. (Bung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H