Apakah kau duduk cukup nyaman untuk membaca tulisan ini? Setidaknya kau harus duduk dengan senderan yang cukup nyaman dan alas yang empuk, karena aku ingin bercerita sejenak...
Pagi ini setelah semalaman nyenyak mendekam dibalik selimut, aku kembali diizinkan membuka mata olehNya di hari yang indah ini. Pandangan pertama ku di pagi ini adalah jam dinding mati yang menunjukan pukul 03.00 dini hari (padahal kutahu jam sudah melebihi dari itu), kemudian kuarahkan pandangan ini ke atas langit langit kamarku yang berwarna hijau pohon, dan terlihat hadir pula cahaya matahari pagi menembus jendela kamar ini.
Sebelum kubangkitkan tubuh yang masih bersembunyi dibalik selimut tebal ini, aku duduk lalu memejamkan mata ini dan kuucapkan rasa terima kasihku padaNya.
Karena pagi ini bukan hanya mataku saja yang masih terbuka untuk melihat, namun kedua telinga ini yang masih mendengar  suara ayam berkokok, kicauan burung - burung, hembusan angin pagi hari, suara tukang bubur yang bersemangat mengetok sendok pada mangkoknya (yang cukup menganggu teligaku). Kemudian Dia masih memberiku pikiran yang sehat, mulut yang masih bisa berucap, kedua tangan yang masih bisa bergerak untuk membuka gorden, kedua kaki ini yang masih sanggup untuk melangkah melompat bahkan berlari sekalipun, Jantung yang masih kurasakan detaknya, dan yang terpenting adalah hembusan nafas gratis yang masih kunikmati tanpa harus perlu membeli oksigen.
Setelah ucapan terima kasih singkat kutujukan padaNya, mulailah aku berbenah kamar kecil ini setelahnya aku coba melangkah keluar, matahari tersenyum ceria padaku dari ufuk timur sana. Kucoba memandangnya sembari kupejamkan mata dan kuhirup dalam - dalam udara segar pagi ini yang jarang kudapatkan bila berada di kota metropolitan. Sesekali kupandang hijaunya pepohonan yang daunnya disenggol manja oleh angin - angin pagi, kudapati juga jauh di sana terlihat beringin tua yang mulai ditinggal oleh daun - daunya yang semula lebat, dan pemandangan pagi ini juga dihiasi oleh antena - antena tv tetangga yang bertenggeran.
Aku berhenti sampai di situ, kuarahkan tanganku untuk mengambil untaian handuk yang direntangkan di tali jemuran untuk turun kebawah dan membasuh diri ini. Sembari kuturuni anak tangga ini, sesekali pandanganku tak bisa lepas dari senyuman matahari itu.
Sehabis membasuh diri dan menggigil kedinginan, aku menyeduh sekantung teh lalu kutambahkan dua sendok gula untuk menambah rasa manis. Dan aku duduk di bangku favorit ku sembari membawa 4 lembar roti dan teh yang tadi. Kemudian kulanjutkan untuk membaca buku yang semalam sempat tertunda.
Di tengah asiknya menikmati lembaran bacaan dan menyantap sarapan, terbesit tanya di pikiranku...
Menurutmu hari esok itu seperti apa sih?
Mulanya aku sempat abai pada pertanyaan itu karena pikirku hari esok sama saja dengan hari ini, karena belakangan ini akupun tidak begitu sibuk dengan kegiatan apa - apa, kalaupun itu sibuk karena aku menjalani kuliahku.
Kubalik lagi lembaran demi lembaran, sambil menikmati teh yang sudah mau kering di dalam gelas ini dan roti yang tadinya berlembar empat tersisa hanya sekali lahapan saja. Muncul kembali pertanyaan - pertanyaan di pikiranku...
Jika hari esok orang yang kau kasihi meninggalkanmu bagaimana?
Jika hari esok kau tidak memiliki makanan bagaimana?
Jika kau hidup tanpa uang esok hari, bisakah kau bahagia?
Munculnya pertanyaan semacam itu sempat membuatku tak fokus dengan bacaan di tangan, sempat kucoba untuk lanjut membaca tapi tak bisa. Pertanyaan itu mengangguku, akhirnya kututup buku ini dan aku mulai memahami dan kemudian mencoba menjawab pertanyaan yang muncul dalam kepalaku.
1. Hari esok itu seperti apa?
Secara logika, jika hari ini Senin tentu esok hari adalah Selasa bukan? Atau jika hari ini musim buah mangga tentu besar kemungkinan esok pun tetap musim mangga bukan? Tapi aku tahu itu bukan jawaban yang pas untuk pertanyaan tadi, jadi merenung kembali dan mencoba untuk menjawabnya..
Hari Esok adalah hari yang tidak bisa kumengerti dengan baik,
Hari Esok bisa 180 berbeda dengan hari ini,
Hari Esok harusnya jadi hari di mana aku bisa lebih baik dari sekarang walau kenyataannya tidak selalu begitu,
dan yang pasti Hari Esok adalah misteri karena segala kemungkinan keajaiban dan hal terburuk sekalipun bisa terjadi bagiku
2. Jika hari esok orang yang kau kasihi meninggalkanmu bagaimana?
Spontan kujawab "bukankah semua orang (termasuk diriku) kelak akan meninggal?" Faktanya memang begitu bukan? Tapi dari pertanyaan itu muncul lagi pertanyaan lanjutan, "Apakah aku siap?" nyatanya jawaban spontan tadi tidak semudah dengan kesiapanku bila kelak itu terjadi padaku.
Belakangan ini orang yang kukasihi (kekasihku) baru saja ditinggal oleh mendiang adiknya. Tak ada yang meduga bahwa adiknya pergi pada saat tertidur sedari malam hari. Dan dia pun mengaku padaku bahwa hal ini tidak pernah mudah untuk dijalani olehnya, dan tentu dia pun tidak siap dengan kehilangan mendiang adik tersayangnya.
Kejadian yang sama pun sempat menimpaku belakangan ini, namun bukan kehilangan orang - orang terkasihku. Tapi barang penting bagiku yang hilang (Laptop dan Handphone), aku tak meduga bahwa kedua kedua barang itu akan hilang secara beruntun. Di mana Laptop hilang saat di kereta selang sebulan kemudian Handphone ku dijambret oleh dua orang, dan sialnya aku tak berhasil mengejarnya. Dan (lagi) kejadian yang menimpaku ini tidak pernah siap bagiku untuk menerimanya, tapi Life Must Go On bukan?
3. Jika hari esok kau tidak memiliki makanan bagaimana?
"YA PUASA AJA LAH, RIBET AMAT?" jawaban spontan kembali muncul di otakku. Memang tidak ada yang salah dengan berpuasa. Tapi ada perbedaan di sini, Puasa itu karena kita menahan nafsu untuk makan dan minum namun makanannya itu ada, tinggal menunggu waktu untuk berbuka saja baru menyantapnya. Bagaimana kalau aku dapati memang hari esok tidak ada makanan sama sekali untuk kumakan?
Lagi - lagi pertanyaan lanjutan "bisakah kau tetap mengucap syukur?" nyatanya mengucap syukur itu tidak mudah bagiku terutama di saat - saat terpuruk. Apakah kau begitu juga kawan?
4. Jika kau hidup tanpa uang esok hari, bisakah kau bahagia?
Ada sebuah kutipan terkenal yang pernah kubaca "Uang tidak bisa membeli kebahagiaan". Pada momen tertentu kurasa itu memang benar dan aku setuju, tapi ada lagi cuita yag bilang "uang tidak bisa membeli segalanya, tapi segalanya butuh uang". Rasanya seperti lingkaran setan bukan?
Benar bahwa banyaknya uang bukan indikator kebahagiaan, justru dengan banyak uang bisa membuat kita takut kalau sewaktu - waktu ada maling yang mengambil uang kita. Tapi bagaimana kalau uang sama sekali tidak kita miliki, sulit juga bukan?
Pertanyaan - pertanyaan tersebut selalu muncul di kepalaku hampir setiap malam yang mana bila itu muncul tak jarang membuatku cemas juga khawatir yang berlebihan. Dan tak jarang aku hampir stres lantaran terlalu memikirkan pertanyaan tadi.
Tiba - tiba aku ingat dengan perkataan Sudjiwo TedjoÂ
"Menghina Tuhan tidak perlu dengan umpatan dan membakar kitabNya. Khawatir kamu tak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan"
Sontak perkataan itu seperti menamparku dan aku pun malu sekali rasanya karena Aku telah menghina Tuhanku dan kekhawatiranku belakangan ini lebih besar daripada ucapan syukurku. Dengan adanya kekhawatiran itu membuatku tidak menikmati apa yang ada di depanku, justru aku malah takut akan hari esok yang belum pasti seperti apa gambarannya dan melupakan kenikmatan yang ada di depan mata.
Dengan membawa rasa bersalahku, akupun mencoba merayu hatiNya untuk memohon ampun karena aku telah menghinaNya lewat rasa khawatirku ini.
Hingga akhirnya pertanyaan - pertanyaan itu bisa terjawab tanpa meninggalkan rasa penasaran dan khawatir yang berkelanjutan:
- Hari esok memang misteri, bisa itu berupa kesenangan bisa itu kesedihan bagiku, bahkan secara bersamaan kesenangan dan kesedihan itu bisa hadir dalam satu hari. Namun, bukankah apa yang kuperbuat hari ini berpengaruh besar pada hari esok?
- Semua orang kelak akan meninggalkan dunia ini, maka dari itu aku harus lebih menikmati setiap momen yang ada bersama mereka yang kukasihi, supaya kelak tak ada muncul rasa penasaran
- Aku harus belajar pada semut, yang mana mereka bekerja tanpa harus dipimpin, dan mereka mengumpulkan makanan sebelum musim dingin atau kelaparan tiba
- Kurasa kebahagiaan itu adalah ketika aku bisa mecukupi diriku dengan apa yang ada padaku saat ini, tidak selalu dengan uang yang banyak juga tidak perlu yang sempurna itu datang baru aku mengucap syukur, namun cukupkanlah sampai yang sempurna itu datang padaku.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H