Mohon tunggu...
Bung Lomi
Bung Lomi Mohon Tunggu... Freelancer - Debutant Writer

Read Well, Write Well

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tuhan, Maaf Aku MenghinaMu

5 September 2019   22:56 Diperbarui: 5 September 2019   23:35 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Vitaly Taranov on Unsplash

Apakah kau duduk cukup nyaman untuk membaca tulisan ini? Setidaknya kau harus duduk dengan senderan yang cukup nyaman dan alas yang empuk, karena aku ingin bercerita sejenak...

Pagi ini setelah semalaman nyenyak mendekam dibalik selimut, aku kembali diizinkan membuka mata olehNya di hari yang indah ini. Pandangan pertama ku di pagi ini adalah jam dinding mati yang menunjukan pukul 03.00 dini hari (padahal kutahu jam sudah melebihi dari itu), kemudian kuarahkan pandangan ini ke atas langit langit kamarku yang berwarna hijau pohon, dan terlihat hadir pula cahaya matahari pagi menembus jendela kamar ini.

Sebelum kubangkitkan tubuh yang masih bersembunyi dibalik selimut tebal ini, aku duduk lalu memejamkan mata ini dan kuucapkan rasa terima kasihku padaNya.

Karena pagi ini bukan hanya mataku saja yang masih terbuka untuk melihat, namun kedua telinga ini yang masih mendengar  suara ayam berkokok, kicauan burung - burung, hembusan angin pagi hari, suara tukang bubur yang bersemangat mengetok sendok pada mangkoknya (yang cukup menganggu teligaku). Kemudian Dia masih memberiku pikiran yang sehat, mulut yang masih bisa berucap, kedua tangan yang masih bisa bergerak untuk membuka gorden, kedua kaki ini yang masih sanggup untuk melangkah melompat bahkan berlari sekalipun, Jantung yang masih kurasakan detaknya, dan yang terpenting adalah hembusan nafas gratis yang masih kunikmati tanpa harus perlu membeli oksigen.

Setelah ucapan terima kasih singkat kutujukan padaNya, mulailah aku berbenah kamar kecil ini setelahnya aku coba melangkah keluar, matahari tersenyum ceria padaku dari ufuk timur sana. Kucoba memandangnya sembari kupejamkan mata dan kuhirup dalam - dalam udara segar pagi ini yang jarang kudapatkan bila berada di kota metropolitan. Sesekali kupandang hijaunya pepohonan yang daunnya disenggol manja oleh angin - angin pagi, kudapati juga jauh di sana terlihat beringin tua yang mulai ditinggal oleh daun - daunya yang semula lebat, dan pemandangan pagi ini juga dihiasi oleh antena - antena tv tetangga yang bertenggeran.

Aku berhenti sampai di situ, kuarahkan tanganku untuk mengambil untaian handuk yang direntangkan di tali jemuran untuk turun kebawah dan membasuh diri ini. Sembari kuturuni anak tangga ini, sesekali pandanganku tak bisa lepas dari senyuman matahari itu.

Sehabis membasuh diri dan menggigil kedinginan, aku menyeduh sekantung teh lalu kutambahkan dua sendok gula untuk menambah rasa manis. Dan aku duduk di bangku favorit ku sembari membawa 4 lembar roti dan teh yang tadi. Kemudian kulanjutkan untuk membaca buku yang semalam sempat tertunda.

Di tengah asiknya menikmati lembaran bacaan dan menyantap sarapan, terbesit tanya di pikiranku...

Menurutmu hari esok itu seperti apa sih?

Mulanya aku sempat abai pada pertanyaan itu karena pikirku hari esok sama saja dengan hari ini, karena belakangan ini akupun tidak begitu sibuk dengan kegiatan apa - apa, kalaupun itu sibuk karena aku menjalani kuliahku.

Kubalik lagi lembaran demi lembaran, sambil menikmati teh yang sudah mau kering di dalam gelas ini dan roti yang tadinya berlembar empat tersisa hanya sekali lahapan saja. Muncul kembali pertanyaan - pertanyaan di pikiranku...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun