Mohon tunggu...
Made Bungloen
Made Bungloen Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis sambil ngopi. Selain disini, tulisan saya bisa juga disimak di http://www.bungloen.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masihkah agama Anda yang Paling Benar?

1 Agustus 2016   18:53 Diperbarui: 1 Agustus 2016   19:01 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada pertanyaan yang menggelitik dari seorang teman. Dia bertanya, kenapa saya memilih Hindu sebagai agama yang saya anut. Secara spontan jawaban yang saya berikan adalah, karena Hindu adalah agama leluhur saya, dan karena sebagai orang Bali, saya seharusnya melanjutkan tradisi dan budaya warisan leluhur saya yang tidak akan pernah lepas dari agama Hindu. Dari sini pembicaraan kemudian berlanjut dengan beberapa pertanyaan yang sangat mendalam dan memang susah saya jawab, dari 2 gelas kopi dan beberapa batang rokok yang telah habis selama kami berdiskusi, saya mendapatkan beberapa poin kesimpulan tentang kehidupan beragama di Indonesia.

Agama Keturunan

Secara umum, pilihan sebuah agama dalam kehidupan sehari – hari kita memang tidak pernah bisa kita tentukan, karena yang menentukan adalah lingkungan keluarga kita sendiri. Apapun agama orang tua kita, secara turun temurun, itu akan terus diwariskan dari generasi ke generasi, dan ini umum terjadi di semua lapisan masyarakat Indonesia. Seorang anak yang lahir dari orang tua beragama Hindu, anaknya akan otomatis beragama Hindu.

Pengecualiannya ada pada orang tua yang berbeda agama, anak mungkin berada dalam pilihan. Contoh, Bapak beragama Hindu, dan Ibu beragama Kristen. Semasa kecil orang tua yang baik, akan membebaskan kita menjalani kehidupan beragama Bapak, juga tidak akan membatasi kita pada kehidupan beragama Ibu kita. Tapi pada kondisi orang tua yang agak sedikit kaku, anak akan diharuskan untuk menjalani kehidupan beragama salah satu orang tua saja, pada umumnya yang terjadi dalam sistem keluarga patriarki di Indonesia adalah, anak akan mengikuti agama Bapak.

Orang tua yang baik maupun orang tua yang kaku akan berujung pada satu pilihan agama yang digunakan oleh anaknya, ini terjadi ketika anak masuk sekolah. Dalam pengisian formulir dan administrasi sekolah, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi, kita memang diharuskan untuk mengisi kolom agama. Bukan situasi yang bijak jika kita mengisi kolom agama tersebut dengan 2 macam agama yang dianut orang tua, ini akan menjadi masalah pada si anak sendiri ketika di lingkungan sekolah, karena salah satu mata pelajaran anak di sekolah adalah mata pelajaran agama, lalu pelajaran agama manakah yang harus diikuti oleh anak?. Pada keadaan ini, orang tua yang baik akan mengisi kolom agama dengan salah satu agama saja tanpa merubah situasi si anak ketika di rumah. Dan tetap saja, sejak kecil, label agama yang dianut oleh anak adalah satu agama yang merupakan pilihan orang tuanya.

Situasi ini adalah situasi yang memang nyata dijalani dalam kehidupan bermasyarakat kita. Dan sebagian besar masyarakat yang menganut agama yang diturunkan oleh orang tuanya akan tetap menganut agama yang sama seumur hidupnya.

Agama Lingkungan

Lingkungan yang saya maksud disini adalah lingkungan setelah kita dewasa, ukuran dewasa adalah dewasa dalam pemikiran, tidak terbatas pada umur, tapi pada umumnya, kategori dewasa adalah yang berumur 20 tahun keatas. Pada usia ini, umumnya karena keadaan, entah itu karena kuliah, atau pekerjaan, menyebabkan seseorang berpindah tempat dari rumah yang merupakan tempatnya tumbuh menuju tempat baru dalam jangka waktu yang cukup lama, atau lebih dari 2 tahun.

Pada umumnya lingkungan baru tersebut, telah memiliki mayoritas agama yang dianut oleh masyarakatnya. Seiring berjalannya waktu, entah melalui proses pergaulan, diskusi, pembicaraan di warung kopi, dan proses keseharian lainnya, seorang pemeluk agama bisa berpindah keyakinan, karena ada banyaknya masukan tentang agama baru yang merupakan agama mayoritas di lingkungan baru tersebut. kejadian ini banyak sekali terjadi pada warga negara asing yang menetap di Indonesia.

Ini adalah keadaan yang minim sekali terjadi pada penduduk lokal Indonesia, dikarenakan kebanyakan penduduk lokal memang sejak awal terbentuk untuk meneruskan agama yang diturunkan kepadanya, tanpa mau berpindah ke agama yang lain, istilah lain yang bisa saya sebutkan disini yaitu fanatik positif, karena dia mau mendengarkan dan membandingkan, tapi tidak mau berubah keyakinan.

Agama Perkawinan

Tidak bisa dipungkiri kalau cinta tidak mengenal suku, agama, maupun ras. Di Indonesia ada banyak sekali terjadi perkawinan beda agama, beda ras, bahkan beda negara. Disinilah konversi atau peralihan agama biasa terjadi, kebanyakan keadaannya adalah istri mengikuti agama suami, tapi pada beberapa keadaan, ada pula suami yang mengikuti agama istri. Ada pula yang setelah perkawinan tetap memelihara agama masing – masing dalam situasi yang tidak saling mempengaruhi dan toleransi yang sangat tinggi antar masing – masing pelaku perkawinan. Keadaan ini banyak juga terjadi, tapi lebih banyak proses konversi agama satu sama lain setelah perkawinan.

Agama Pilihan Sendiri

Proses untuk menentukan pilihan tentu didasari dengan ada banyaknya pilihan dan mengerti atau mempelajari tiap – tiap pilihan yang ada, dari hasil rangkuman setiap pilihan tersebut kita akan bisa menentukan mana yang terbaik untuk kita. Orang – orang yang pernah mempelajari berbagai pilihan agama yang berbeda, entah itu dari kitab suci, literatur, diskusi, atau membaca setiap kajian agama, tentu sangat paham benang merah, dan perbedaan dari tiap – tiap agama, dari sini kemudian dia akan mencocokan dengan keadaan dirinya masing – masing dan menentukan sebuah agama sebagai agama yang cocok untuk cara berfikir dan kesehariannya.

Dalam proses penentuan pilihan tersebut, seseorang telah membaca berbagai artikel, tulisan, literatur dari berbagai macam cara berfikir yang ditawarkan oleh tiap – tiap agama. Dan kejadian umum yang terjadi, orang yang telah melalui proses ini, selalu kembali kepada agama awal. Karena dia tahu, semua agama adalah sama, perbedaannya tipis sekali ketika ditelusuri secara mendalam, perbedaan yang sangat mencolok hanya pada mayoritas penganut dan cara melakukan ritual tiap agama itu sendiri yang tujuannya dan maknanya sama.

Kalau tujuan dan maknanya sama, kenapa harus mempermasalahkan caranya? Itulah pertanyaan yang selama ini membuat sebagian orang yang fanatik terhadap agama tertentu tidak sadar, bahwa agama adalah ukuran pribadi dan ranah masuknya ajaran tiap – tiap agama adalah ranah pribadi yang tidak bisa diganggu gugat oleh orang lain.

Undang – Undang Dasar Republik Indonesia pasal 29, menjamin kebebasan kita untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat menurut agama kita masing - masing, tidak ada yang bisa dan berhak mengatur kita dalam urusan agama yang kita anut. Tidak juga melalui intimidasi, pengaruh, dan yang sejenisnya. Kita semua berhak atas satu agama dan kepercayaan yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia, dan kita berhak melakukan peribadatan menurut ajaran agama kita masing – masing.

Tidak bisa kita pungkiri, dalam menjalani kehidupan beragama kita merasakan ikatan persaudaraan satu sama lain atas kepemelukan agama itu sendiri, merasa sealiran dan satu jalan dalam ideologi membuat kita merasa sebagai satu tubuh, satu orang pemeluk agama disakiti, maka orang lain dalam pemeluk agama yang sama akan merasa tersakiti. Ini bukan hal yang istimewa, karena sifat manusia sebagai makhluk sosial memang secara otomatis membawa kita pada pemikiran ini. Tapi ada sedikit kekeliruan yang jelas tampak pada prinsip ini, ketika pihak – pihak tertentu menggunakannya sebagai bahan untuk adu domba antar pemeluk agama.

Secara spontan, manusia akan cepat sekali bereaksi pada isu – isu sensitif, apalagi mengarah pada pribadi mereka masing – masing. Reaksi yang pertama timbul adalah ketersinggungan, dan kemarahan. Banyak yang tidak paham, bahwa setiap permasalahan, apapun bentuknya memiliki akar atau penyebab masalah itu terjadi. Inilah yang seharusnya di cari terlebih dahulu baru kemudian bereaksi terhadap temuan tersebut. Hal inilah yang sering sekali rawan menjadi bahan pemicu kerusuhan atau tindak kekerasan terhadap orang lain atas nama agama. Oknum – oknum yang menginginkan perpecahan agama paham sekali akan hal ini, dan Indonesia dengan kehidupan multi agama, sangat rawan terjadi tindak kekerasan atas nama agama. Politisi sering menggunakan isu – isu seperti ini dan memanfaatkan reaksi setiap umat beragama untuk menggalang dukungan, atau menjatuhkan pihak lawan.

Pada satu kasus yang pernah saya alami, ada sebuah tempat ibadah yang dirobohkan oleh pemeluk agama tertentu, sebut saja agama A, dikarenakan ada konflik lahan antara pemilik lahan sebelumnya, dengan pembeli yang mengalami kendala ketika transaksi jual beli lahan tersebut. dalam prosesnya, pembeli tidak sanggup memenuhi perjanjian yang telah disepakati antara penjual dan pembeli, dan kebetulan, lahan yang dibeli telah didirikan sebuah tempat beribadatan. Karena konflik ini, pemilik sebelumnya akhirnya merubuhkan bagunan tersebut, karena memang pemilik lahan berhak atas lahan tersebut. itu duduk persoalan sebenarnya. Tapi ketika menyebar ke masyarakat, berita yang sampai adalah, pengusiran terhadap umat A ketika beribadat oleh umat B, adapula yang memberitakan telah terjadi intimidasi atas umat A oleh umat B, ada pula yang memberitakan pelarangan pendirian tempat ibadat untuk umat A oleh mayoritas umat B. dan ini kemudian memicu kerusuhan yang lebih besar, hingga masalah yang sebenarnya tidak tampak. Reaksi satu tubuh seperti yang saya jelaskan diatas kemudian memicu sentimen antar agama yang membuat masalah jadi semakin besar.

Agama adalah hal pribadi, yang kebanyakan diturunkan oleh orang tua kita dan ada beberapa keadaan yang memang kita bisa memilih agama kita masing – masing. Ada banyak literatur atau tulisan yang menjelaskan kalau setiap agama memiliki tujuan dan makna yang sama, hanya saja tata cara pelaksanaannya berbeda – beda, jadi kalau tujuan dan maknanya sama, kenapa harus dipermasalahkan. Kita semua harus bisa tetap tenang dalam setiap permasalah yang menyangkut tentang agama, karena kebanyakan masalah tersebut adalah hasil politisir dari masalah yang sebenarnya terjadi.

Indonesia adalah negara yang pada dasarnya mencintai kedamaian, tapi oleh pihak – pihak tertentu dikesankan seolah – olah kita dalam keadaan perang antar agama, yang justru menurut saya pihak – pihak tersebut memang sedang mencari cara untuk membuat perang tersebut terjadi. Di negara kita tidak pernah terjadi perang antar agama, ini harusnya kita pahami bersama, kita hanya dikesankan oleh pihak tertentu sedang berada dalam keadaan perang, dan kita sering di bodohi dengan kata – kata permusuhan yang justru membuat kita terjebak dalam situasi perpecahan yang melemahkan kekuatan bangsa kita.

Mari kita bersama – sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa kita dengan tidak mudah dibodohi oleh pihak – pihak yang menginginkan perpecahan bangsa kita. Beratus tahun kita hidup dalam persatuan dalam keberagaman yang justru adalah kekuatan sejati bangsa kita. Tidak ada satu bangsa di dunia pun yang bisa membuat kedamaian dalam keberagaman seperti yang dimiliki oleh bangsa kita.

Ahhh... nyiup kopi malu jak roko katih...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun