Kehidupan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit Tidak Lebih baik dari Buruh di Industri Perkotaan.
Berbicara buruh sepertinya kita hanya melihat dan berpikir di wilayah perkotaan, baik industri manufaktur, maupun sektor lainnya seperti sektor jasa baik hotel, restoran, transportasi hingga pariwisata.
Indonesia dengan beberapa pulau yang besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua adalah wilayah yang luas dan subur sehingga ribuan tanaman bisa hidup dan tumbuh diatas tanahnya.
Salah satu tanaman yang cukup luas dan tumbuh dengan baik adalah kelapa sawit, dimana kelapa sawit justeru menjadi salah satu primadona bagi pemerintah Indonesia baik untuk menyerap tenaga kerja (buruh) maupun sebagai devisa bagi Negara, menurut data yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga termasuk GAPKI (organisasi pengusaha perkebunan kelapa sawit) luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak kurang dari 12 juta hektar lebih, dimana 51% adalah milik perusahaan-perusahaan swasta.
Sementara menurut data beberapa lembaga ada 5 (lima) juta orang yang bekerja di sektor perkelapasawitan dan 15 (lima belas) juta orang secara tidak langsung menggantungkan hidupnya dari kelapa sawit, sebuah angka yang cukup besar bukan? lalu pertanyaannya bagaimana kehidupan buruh perkebunan yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dan pengolahannya?
Menurut hasil penelitian koalisi buruh sawit (KBS) tahun 2018 yang kemudian menjadi lembar fakta, ternyata banyak sekali temuan KBS masalah-masalah yang di alami oleh buruh perkebunan kelapa sawit maupun pengolahannya, diantaranya masih banyak buruh terutama perempuan yang bekerja sebagai buruh harian lepas baik sebagai perawatan maupun menyemprot, buruh kontrak, upah yang rendah, K3 yang minim, waktu kerja yang panjang, bahkan kebebasan berserikat yang juga belum di berikan oleh pihak perusahaan, bahkan tidak jarang jika buruh berserikat akan mendapatkan tekanan dari pihak perusahaan.
Sementara itu dari hasil investigasi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) di temukan juga buruh di perkebunan tinggal di perumahan diperkebunan dengan pasokan listrik yang terbatas, dimana listrik hanya menyala dari pukul 17.30 hingga 06.00 pagi hari, tidak hanya itu GSBI juga menemukan bahwa pasokan air juga sangat terbatas, dimana air diperumahan para buruh hanya akan mengalir pada saat waktu tertentu seperti halnya listrik.
Sepertinya hijaunya perkebunan kelapa sawit belum memberikan rasa nyaman bagi para buruh dengan upah yang pantas, sebab hingga hari ini upah yang di berikan kepada para buruh perkebunan kelapa sawit baru sebatas upah minimum propinsi maupun kabupaten, padahal sawit adalah salah satu sektor unggulan bagi pemerintah Indonesia.
Ismet Inoni
Kepala Departemen Organisasi
Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Indonesia
DPP GSBI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H