Mohon tunggu...
Galih Andreanto
Galih Andreanto Mohon Tunggu... -

pejuang pemikir - pemikir pejuang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengembalikan Visi Kedaulatan Pangan (2)

23 September 2012   13:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:51 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

8. Kenaikan Harga Pangan Dunia

Perdagangan, dibawah teori "keunggulan komparatif," yang menjadi dasar bagi perdagangan bebas pangan telah menimbulkan ketidakadilan. Negara miskin banyak yang sebelumnya swasembada pangan telah berubah menjadi pengimpor makanan. Sedikitnya 70% dari negara-negara berkembang sekarang menjadi net importer pangan. Empat puluh tahun yang lalu negara Selatan secara keseluruhan memperoleh surplus perdagangan tahunan dalam makanan sebesar $ 7 miliar. Hari ini defisit makanan Selatan telah membengkak menjadi $ 11 miliar per tahun (Eric Holt-Gimenez, Direktur Eksekutif Food First, http://www.foodfirst.org/en/node/2141)

Akibatnya harga pangan tidak berhenti naik. Menurut indeks harga pangan FAO terjadi peningkatan sebesar 12% dari tahun 2005 hingga 2006, 24% pada tahun 2007, dan peningkatan sekitar 50% pada bulan Januari dan Juli 2008. Bank Dunia menyatakan harga telah meningkat 83% dalam tiga tahun terakhir. Biji-bijian dan komoditas lain yang dimakan oleh strata luas penduduk terutama di negara-negara Selatan global (gandum, kedelai, minyak sayur, beras dan sebagainya) telah mengalami peningkatan yang paling signifikan. Biaya gandum telah naik sebesar 130%, kedelai sebesar 87%, beras 74% dan jagung 31% (Holt-Gimenez dan Peabody, 2008; Ballesteros, C.2007 caoccion Tu es tu voto, Madrid, Ediciones HOAc). Terlepas dari perkiraan yang baik untuk produksi sereal, perkiraan FAO bahwa harga akan tetap tinggi di tahun mendatang, dan sebagai hasilnya, negara-negara miskin akan terus menderita dampak krisis pangan. (Bello W, 2008)

Diserahkannya urusan pangan pada mekanisme pasar, telah menyebabkan perusahaan kecil dan usaha menghasilkan pangan oleh rakyat kehilangan kemampuan bersaing. Hilangnya subsidi dan proteksi perdagangan di negara negara berkembang  telah mematikan kekuatan rakyat dalam menghasilkan pangan.

Semakin lama kegiatan menghasilkan pangan jatuh ke tangan perusahaan perusahaan raksasa yang beroperasi lintas negara. Korporasi pangan menguasasi dari hulu sampai dengan hilir, mulai dari produksi, distribusi hingga perdagangan pangan (IGJ)

9. Overproduksi Pangan

Banyak pihak mengira bahwa krisis pangan adalah tentang ketiadaan atau kelangkaan sumber-sumber pangan. Dugaan ini keliru dikarenakan krisis pangan ternyata adalah melimpahnya produksi pangan, namun pada saat yang sama sebagian besar masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk membeli. Hal tersebut secara sederhana dapat dibuktikan dengan data bahwa dalam periode krisis pangan tersebut volume perdagangan pangan justru mengalami peningkatan.

Sama halnya dengan krisis keuangan global yang nyatanya bukanlah cerita tentang ketiadaan uang, modal. Krisis keuangan adalah penggelembungan uang  (finacial buble) oleh pasar keuangan derivatif yang jauh melebihi kemampuan manusia dalam menghasilkan barang dan jasa. Krisis ini mengancam keberlanjutan sistem keuangan modern dan sistem ekonomi kapitalisme dikarenakan krisis terjadi secara beruntun melanjutkan krisis overproduksi.

Salah satu bukti kelebihan produksi pangan negara maju dikemukakan Prof Liselotte Schafer-Elinder dalam British Medical Journal tahun 2005, yang menyatakan akibat kelebihan pangan di negara-negara kaya telah memicu masalah kesehatan di seluruh dunia. Produksi makanan lebih dari kebutuhan penduduk. Subsidi berlebihan di negara-negara maju menyebabkan konsumsi yang berlebihan dan obesitas. Hal ini juga merusak pertanian di negara berkembang, menghalangi pemberantasan kelaparan dan kemiskinan (http://www.news-medical.net/news/2005/12/02/14804.aspx)

Meskipun pasokan pangan berlimpah, akan tetapi sebagian besar masyarakat negara-negara berkembang dan miskin tidak memiliki kemampuan untuk membeli pangan. Keadaan ini akan memiliki implikasi lebih lanjut pada pusat-pusat produksi pangan di negara maju yang akan mengalami stagnasi. Yang lebih lanjut akan memicu ekspansi keluar perusahaan-perusahaan penghasil pangan ke negara-negara berkembang (IGJ)

10. Dominasi Perusahaan Besar

Dewasa ini, sistem pangan tidak lagi berbicara dalam ruang menanggapi kebutuhan gizi orang, atau untuk produksi yang berkelanjutan berdasarkan penghargaan terhadap lingkungan hidup, tetapi didasarkan pada model yang berakar pada logika kapitalis mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, optimalisasi biaya dan eksploitasi angkatan kerja di masing-masing sektor produktif tersebut. Barang-barang public seperti air, tanah, bibit, yang selama berabad-abad telah milik masyarakat, telah diprivatisasi, dirampok dari rakyat dan dikonversi ke dalam bisnis. (Vivas Esther, 27 Juni 2010, Krisis pangan: penyebab, konsekuensi dan alternatif)

Kebijakan neoliberal dengan mendorong investasi secara luas dalam menghasilkan pangan telah menyebabkan perusahaan multinasional berlomba-lomba untuk masuk ke dalam bisnis ini. Perusahaan multinasional dengan mudah menguasai bisnis ini karena didukung oleh lembaga keuangan global, perbankan besar  dan kabijakan nasional di banyak negara, baik negara miskin maupun negara industri maju (IGJ, 2011)

Perusahaan-perusahaan menguasai industri pangan dari hulu sampai ke hilir, mulai dari penguasaan tanah, sarana produksi seperi obat-obatan pertanian, pupuk, bibit, hingga produksi dan perdagangan pangan. Tentu saja perusahaan-perusahaan tersebut dibawah kepemilikan segelintir orang saja. Krisis pangan justru menciptakan keuntungan yang besar bagi pemilik modal, dikarenakan harga pangan dapat ditentukan oleh segelintir pelaku usaha (IGJ, 2011)

Pada tahun 2007 perusahaan benih utama, Monsanto dan Du Pont, menyatakan peningkatan keuntungan sebesar 44% dan 19% untuk tahun sebelumnya. Perusahaan pupuk terbesar, Potash Corp, Yara dan Sinochem melihat keuntungan tumbuh sebesar 72%, 44% dan 95% antara 2007 dan 2006. Hal yang sama terjadi dengan processers makanan utama seperti Nestlé dengan keuntungan meningkat sebesar 7% pada periode yang sama.

Para distributor komersial besar juga mendorong margin mereka. Rantai supermarket utama di Inggris, Tesco, menyatakan meningkat 12,3% pada keuntungan mereka dalam periode ini, sedangkan Carrefour dan Wal-Mart diidentifikasi menjual bahan makanan sebagai sumber utama pendapatan mereka (GRAIN, 2008a; Vivas, 2008b). Laporan tahun 2007 tahunan oleh jaringan supermarket Safeway AS menunjukkan bahwa laba bersih meningkat sebesar 15,7% antara tahun 2006 dan 2007. (Vivas Esther, 27 Juni 2010, Krisis pangan: penyebab, konsekuensi dan alternatif)

Seluruh rantai makanan agribisnis terkena konsentrasi bisnis yang tinggi. Pada tahun 2007, nilai tambah dari merger dan akuisisi dalam industri pangan global (termasuk produsen, distributor dan penjual) adalah sekitar $ 200 miliar, dua kali lebih besar dari tahun 2005. Merger ini mencerminkan kecenderungan global ke atas dalam penciptaan monopoli dalam industri makanan (ETC Group 2008).

Jika kita mulai dengan link yang pertama dari rantai, bibit, kita mengamati bahwa sepuluh perusahaan global terbesar (Monsanto, DuPont, Syngenta, Bayer dan sebagainya) setengah dari penjualan mereka adalah pasar dengan nilai sekitar 21 miliar dolar per tahun, sektor yang relatif kecil dibandingkan dengan pestisida atau obat-obatan (ETC Group, 2005a), tetapi kita harus ingat bahwa ini adalah link pertama di pertanian-pangan dan, akibatnya, risiko kontrol melibatkan untuk keamanan pangan.

Hukum kekayaan intelektual memberikan perusahaan hak eksklusif atas benih untuk memiliki dan lebih merangsang bisnis. Hal ini telah mengikis hak-hak dasar petani untuk pemeliharaan bibit asli dan keanekaragaman hayati. Bahkan, 82% dari pasar benih komersial di seluruh dunia yang terdiri dari biji dipatenkan (tunduk pada monopoli eksklusif seperti properti intelektual) (ETC Group 2008).

Industri benih berhubungan erat dengan pestisida. Perusahaan benih besar juga mendominasi sektor pestisida dan seringnya pengembangan dan pemasaran kedua produk ini dilakukan bersama-sama. Tapi di monopoli industri pestisida bahkan lebih tinggi dan sepuluh perusahaan terbesar mengontrol 84 persen dari pasar global (ETC Group, 2005b). Merger dan akuisisi perusahaan memiliki tujuan mencapai skala ekonomi yang optimal untuk bersaing di pasar dunia. Perjanjian dari tipe "teknologi kartel" meningkat. Pada tahun 2007, sebagai Grup ETC (2008) telah mencatat, perusahaan benih terbesar di dunia dan perusahaan kimia terbesar, Monsanto dan BASF, melakukan perjanjian kerjasama dalam penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan kinerja dan toleransi terhadap kekeringan jagung, kapas, dan kedelai . Perjanjian ini memungkinkan perusahaan untuk menikmati semua manfaat dari pasar oligopoli tanpa batasan anti-monopoli.

11. Kontrol Negara Maju

Perkembangan besar kedua dalam kebangkitan dari  industri agribisnis-makanan adalah Program Penyesuaian Struktural (SAP) yang dimulai pada 1980-an. SAP adalah program pinjaman bersyarat diberlakukan bersama-sama oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sehingga negara-negara Selatan, dikuasai utang setelah 20 tahun pembangunan dan akan membayar kembali pinjaman mereka kepada bank-bank Utara (IGJ, 2011)

Untuk menerima pinjaman dari Bank Dunia, negara-negara harus menandatangani perjanjian dengan IMF untuk menyetujui penghapusan hambatan tarif untuk impor dari luar negeri, privatisasi perusahaan negara dan perusahaan publik. Ini membuka pintu yang luas bagi "dumping" dari surplus gandum disubsidi dari AS dan Eropa. Petani di Selatan tidak dapat bersaing dengan gandum yang dijual dengan harga di bawah biaya produksi. Kaum miskin pedesaan tersedia untuk bekerja dengan upah rendah di perkebunan pertanian ekspor. SAP telah  menghancurkan dan mendukung produksi pangan nasional, negara-negara Selatan kehilangan kemampuan untuk makan sendiri (IGJ, 2011)

Di bawah bendera "keunggulan komparatif," negara miskin yang sebelumnya banyak berswasembada pangan telah berubah menjadi pengimpor makanan  bersih – 70% dari negara-negara berkembang sekarang. Empat puluh tahun yang lalu Global Selatan secara keseluruhan memproduksi surplus perdagangan tahunan makanan sebesar $ 7 miliar. Hari ini defisit makanan Selatan telah membengkak menjadi $ 11 miliar per tahun. (http://www.foodfirst.org/en/node/2141

Atas nama perlindungan konsumen dunia, globalisasi pangan menjelma menjadi harmonisasi melalui penyeragaman proses, bentuk dan aturan-aturan pertanian. Dalam salah satu klausul kesepakatan tentang pertanian (Agreement of Agricultur - AoA)yang merupakan bagian dari WTO, yaitu tentang standar keamanan pangan secara internasional mengakibatkan paradoks keamanan pangan, dimana negara-negara maju melakukan penyesuaian regulasi keamanan pangan yang berbasis modal besar dan teknologi super canggih. Sedangkan negara-negara berkembang harus mengejar ketertinggalan teknologi dan modernisasi pertanian. Hal ini lah yang menjadi celah bagi negara-negera maju untuk menyerbu negara-negara berkembang dengan produk pangan yang sesuai standar internasional dan murah. Iklim perdagangan bebas yang tanpa tarif turut memudahkan arus lintas perdagangan dalam sektor pangan ini yang tentu saja akan menguntungkan korporasi-korporasi raksasa dunia dalam mengintroduksi produknya ke negara berkembang.

Era keterbukaan pasar menuntut pesatnya pertumbuhan jaringan distribusi yang telah didukung oleh besarnya investasi asing, teknologi canggih dalam distribusi dan stok produk pangan. Sejalan dengan itu kondisi permintaan akan produk pangan yang berkualitas baik dan mudah didapatkan mendapat sambutan sangat baik di dalam negeri. Hal ini lah yang menjadikan Indonesia sebagai pangsa terbesar produk pangan dunia karena jumlah penduduk yang banyak. Jika hal ini terus dibiarkan maka dampaknya adalah besarnya dominasi kendali korporasi bermodal besar atas petani kecil yang tidak mampu mengikuti standar produk internasional. Dampaknya petani kecil akan terpinggirkan dan akan meninggalkan basis kehidupan pertanian desa dan memungkinkan terjadinya urbanisasi.

Perjanjian WTO tentang Pertanian (AoA) membatasi kekuasaan pemerintah menetapkan kebijakan pertanian. WTO secara disiplin melakukan deregulasi pada tingkat nasional. Semua mekanisme yang dibutuhkan oleh negara-negara untuk mengatur sektor pertanian mereka dan menjamin pasokan makanan yang stabil diatur dalam WTO. WTO memiliki sejumlah aturan yang jelas disimpan di "kotak" yang memungkinkan AS dan Uni Eropa untuk membebaskan subsidi mereka dari aturan WTO. Standar ganda ini adalah hak istimewa negara Utara dan perusahaan-perusahaan kimia yang ingin mendominasi pasar Selatan.

Indonesia Impor Pangan

Net impor beras Indonesia mencapai puncaknya sebesar 4,74 juta ton pada tahun 1999 (BPS 1955-2008). Net impor jagung sejak 1976 juga terus meningkat dan mencapai puncaknya sebesar 1,80 juta ton pada tahun 2006 (BPS 1955-2008; Swastika et al. 2000; Swastika 2002; Swastika et al. 2005). Hal serupa terjadi pada kedelai, dengan puncak net impor 2,81 juta ton pada tahun 2007. Selama 2000-2006, produksi kedelai nasional hanya mampu memenuhi 40% dari kebutuhan dalam negeri (Swastika 1997,2007; Sudaryanto dan Swastika 2007).

Nilai Impor Non Migas Indonesia (Thousands of USD)

No

KELOMPOK SITC

2004-2009

Peningkatan

1

0

Binatang Hidup

312.256

296,92%

2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun