Globalisasi yang terus melaju membuat urusan pangan diserahkan pada mekanisme pasar bebas dan menjadikan pangan sebagai komoditas yang berorientasi keuntungan. Tidak bisa kita pungkiri bahwa mekanisme pasar bebas di era globalisasi mengkondisikan harga-harga kebutuhan pangan menjadi fluktuatif. Oleh karena itujika kita menyerahkan urusan hidup matinya bangsa yaitu pangan ke dalam fluktuasi harga ala pasar bebas maka kita telah menyerahkan secara sukarela kedaulatan bangsa khusunya di bidang pangan karena menyandarkan hidup mati bangsa ke dalam iklim pertarungan bebas.
Pemenuhan kebutuhan pangan mengalami pengkerdilan dengan mereduksi makna antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Dalam spektrum yang lebih mengakar dan luas, kedaulatan pangan adalah prinsip utama dengan ketahanan pangan sebagai sebuah konsekuensi logis dari kedaulatan pangan. Maka dari itu asas kemandirian akan lebih mengena jika kita memaknai kedaulatan pangan sebagai jalan keluar ancaman krisis pangan dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
5. Sejarah dan Konsep Kedaulatan Pangan
Sejak World Food Summite pertama pada tahun 1996 di Roma para petani telah menyampaikan bahwa hanya dengan diwujudkannya kedaulatan pangan lah dunia mampu untuk menghapuskan kelaparan sekaligus menghapuskan kemiskinan di pedesaan. Konsep “kedaulatan pangan”, pertama kali diperkenalkan oleh organisasi petani internasional bernama La Via Campesina pada World Food Summit (WFS) tersebut, pada Nopember 1996 di Roma, Italia. konsep kedaulatan pangan banyak diadopsi berbagai elemen gerakan sosial di seluruh dunia. Mereka mendefinisikan kedaulatan pangan sebagai hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi mereka sendiri atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk bumi, berdasarkan produksi yang berskala kecil dan menengah, menghargai kebudayaan mereka sendiri dan keberagaman kaum tani.
Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan negara untuk menentukan kebijakan pangannya sendiri dengan memprioritaskan produk pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, serta melarang praktik perdagangan pangan dengan cara dumping (Pramono 2005). Dalam paradigma ini, tiap negara berhak menentukan dan mengendalikan sistem produksi, distribusi, dan konsumsipangan sendiri, sesuai dengan kondisi ekologis,sosial, ekonomi, dan budaya lokal, serta tidak ada campur tangan negara lain. Konsep dan strategi kedaulatan pangan ini sudah diterapkan oleh beberapa negara, seperti Kuba, Mali, Mozambik, Venezuela, dan Bolivia (Sulistyowati 2003). Kuba adalah salah satu negara yang berhasil menerapkan kedaulatan pangan. Untuk menerapkan kedaulatan pangan, Kuba melakukan reformasi kebijakan pertanian yang mencakup tiga bidang, yaitu kebijakan teknologi, produksi, dan distribusi (Sulistyowati 2003). Dengan sumber daya hayati yang beragam dan dukungan teknologi yang memadai, Indonesia akan mampu menjadi produsen pangan halal, sehat, dan dapat bersaing dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
Konsep kedaulatan pangan lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara mandiri, berdaulat dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang, kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri kebijakan pertanian, ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan dan tanah, yang berwawasan ekologis, sosial, ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan kedaerahan mereka. Ini menyangkut hak yang sebenar-benarnya terhadap pangan dan produksi pangan, sehingga orang mempunya hak atas pangan yang aman, cukup gizi dan cocok dengan kondisi budaya setempat dan hak atas sumber-sumber daya untuk memproduksi pangan serta kemampuan untuk menjaga keberlanjutan hidup mereka dan masyarakatnya. Hal ini telah dideklarasikan oleh 400 delegasi yang berasal dari organisasi petani, masyarakat adat, nelayan, LSM, aktivis sosial, akademisi dan peneliti dari 60 negara pada Pertemuan Dunia tentang Kedaulatan Pangan (World Forum on Food Sovereignty) di Havana, Kuba pada tanggal 3 sampai 7 September 2001.
6. Ketahanan Pangan dan Agenda Kapitalisme Global
Di sisi lain,istilah ketahanan pangan dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negara–negara berkembang dari krisis produksi dan suplay makanan pokok.Fokus ketahanan pangan pada masa itu menitik beratkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dan membebaskan daerah dari krisis pangan yang nampak pada definisi ketahanan pangan oleh PBB sebagai berikut: food security is availability to avoid acute food shortages in the event of wide spread coop vailure or other disaster (Syarief, Hidayat, Hardinsyah dan Sumali,1999).Selanjutnya definisi tersebut disempurnakan pada Internasional Conference of Nutrition 1992 yang disepakati oleh pimpinan negara anggota PBB sebagai berikut: tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang baik dalam jumlah dan mutu pada setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif
Kenyataan bahwa dunia telah mengalami krisis pangan justru menjadi mesin ekonomi bagi kapitalisme untuk memperluas ekspansi global dalam bisnis pangan demi menemukan sumber daya alam baru, pasar baru dan sumber eksploitasi. Krisis pangan telah menjadi bagian dari ajang spekulasi baru di sektor pangan. Kita patut mewaspadai apakah konsep ketahanan pangan yang selama ini menjadi pijakan pemerintah dalam memenuhi ketersediaan pangan dalam negeri merupakan bagian dari agenda kapitalisme global dalam memperluas ekspansi modal dan pangsa pasar dalam bidang pangan. Sudah semestinya penanganan masalah krisis pangan diatasi dengan menguatkan kedaulatan masing-masing negara dalam mengatur produksi, distribusi hingga konsumsi pangan (IGJ, 2011)