Pengantar
Jokowi-JK di dalam dokumen resmi visi-misinya secara eksplisit menawarkan 31 agenda startegis dalam mewujudkan Trisakti Kemerdekaan yang diperas menjadi 9 agenda prioritas. Dalam salah satu agenda prioritas tersebut, Jokowi-JK “akan meningkatkan kualitas hidup manusia melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 Juta Ha.”
Berikutnya, dalam agenda berdaulat dalam politik, Jokowi-JK berkomitemn untuk mewujudkan sistem dan penegakkan hukum yang berkeadilan, dalam hal itu akan memberi penekanan pada, salah satunya dengan “mendorong landreform untuk memperjelas kepemilikan dan kemanfaatan tanah dan sumber daya alam melalui penyempurnaan terhadap UU Pokok Agraria.
Dalam konsepsi berdikari dalam bidang ekonomi, Jokowi-JK “akan membangun kedaulatan pangan berbasis pada agribisnis kerakyatan melalui; “komitmen kami untuk implementasi reforma agrarian melalui (a) akses dan aset reform pendistribusian asset terhadap petani distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta Ha, (b) meningkatnya akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0.3 hektar menjadi 2.0 hektar per KK tani dan pembukaan 1 juta ha lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali.”Agenda reforma agraria Jokowi-JK tersebut patut diapresiasi oleh gerakan pengusung reforma agraria sejati sesuai UUPA 1960.
Memahami Sejarah dan Makna Reforma Agraria
Para pendiri bangsa menyadari betul bahwa pelaksanaan cita-cita kemerdekaan adalah penuntasan agenda land reform dengan segala upaya menhapuskan corak feodalisme, kapitalisme dan imperialisme yang bercokol kuat di tanah air di era penajajahan. Menanggapi suasana itu, maka agenda perombakan struktur kepemilikian, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam (agraria) menjadi syarat mutlak berdirinya negara Indonesia yang adil dan makmur.Perwujudan cita-cita proklamasi 1945 itulah yang sampai saat ini belum tercapai secara tuntas dan menguatkan argumentasi kita bahwa “Revolusi Belumlah Selesai”.
Kenyataan kolonial merupakan pengalaman empiris yang berperan besar dalam membentuk sikap para pendiri Indonesia. Keinsyafan akan problem agraria di era kolonialisme tersebar di kalangan pemimpin revolusioner yang berjuang demi tercapainya kemerdekaan politik Indonesia. Dalam Pidatonya yang berjudul “Djalannya Revolusi Kita-17 Agustus 1960”, Bung Karno secara terang benderang mengungkapkan urgensi pelaksanaan land reform yang erat kaitannya dengan cita-cita proklamasi 1945. Ia menyebutkan “Sebuah rencana mengesahkan UUPA adalah kemajuan maha penting dalam revolusi Indonesia! Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak bagi revolusi Indonesia. Gembar-gembor tentang revolusi, sosialisme Indonesia, masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan land reform adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen”. Oleh sebab itu para pendiri bangsa memahami betul kebutuhan mengatur struktur penguasaan, kepemilikan serta pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam (tanah, hutan, tambang, air, ruang angkasa) dan kaitannya dengan relasinya dengan manusia Indonesia (reforma agraria).
Dalam proses yang panjang, dengan pergulatan pemikiran dan kesungguhan dalam menghasilkan sebuah produk perundang-undangan, maka pada Tahun 1960 lahirlah Undang-undang No 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dan Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA 1960).
Masalah Mendasar
Kini di era reformasi yang menghalalkan liberalisasi penuh, kita belum berhasil mengubah masyarakat. Bahkan selama dan pasca orde baru ciri penindasan itu semakin nyata, melebihi di zaman penjajahan. Rakyat dipisahkan relasinya dengan alat produksi yang utama yaitu, tanah. Dalam kenyataan Indonesia sebagai negara agraris, contoh soal pemisahan manusia dari alat produksinya secara serampangan dapat dilihat dari petani yang kehilangan tanahnya akibat sistem yang memaksanya terpisah dari alat produksi pertaniannya.
Pemisahan petani dari tanahnya dapat berkembang menjadi ketidakadilan secara sosial dan ekonomi. Tanah terampas, kemudian terkumpul di tangan segelintir orang dengan berbagai cara. Cara yang paling ampuh adalah melalui pembenaran pertumbuhan ekonomi yang bersandar pada ekspansi investasi pada sumber-sumber agraria, khususnya tanah.