Seorang komentator senior sampai menceletuk "wasitnya dibayar, tuh!" pada sebuah siaran langsung match commentary di YouTube. Bahkan ia dengan yakin menunjuk satu momen di mana wasit Al-Kaf ingin memberi hadiah penalti pada Bahrain, tetapi tidak jadi.
Oke, saya pribadi setuju ada beberapa hal menyebalkan dari kepemimpinan Ahmed Al-Kaf. Namun kalau dibilang wasit berlisensi FIFA tersebut tidak adil dan memihak tuan rumah, apalagi sengaja menunggu sampai Bahrain mencetak gol penyeimbang baru mengakhiri pertandingan, nanti dulu.
Alih-alih menudingkan telunjuk ke orang lain, kenapa tidak introspeksi diri saja? Toh, sepanjang pertandingan Jay Idzes, dkk. sangat tertekan dan kesulitan mengembangkan permainan.Â
Bayangkan, sampai lebih dari 30 menit pertama para pemain kita tampil sangat berantakan. Saya sampai terheran-heran sendiri, masa iya penampilan timnas balik ke setelah pabrik begitu padahal menurunkan 10 pemain naturalisasi sebagai starter?
Ancaman pertama Indonesia ke pertahanan Bahrain baru tercipta pada injury time babak pertama. Yakni ketika terjadi kemelut di muka gawang Ebrahim Lutfalla yang berujung gol Ragnar Oratmangoen.
Jadi, ketimbang menyalahkan wasit apalagi AFC, kenapa tidak menampar muka sendiri karena gagal mengembangkan permainan? Juga bolak-balik gagal memanfaatkan peluang emas untuk mengunci kemenangan?
Andai saja dua counter attack terakhir berhasil berbuah gol, sudah pasti kemenangan bakal dibawa pulang dari Bahrain National Stadium. Lawan tak bakal mampu mengejar di sisa waktu yang ada.
Namun karena gagal menambah gol, ketika lawan membalas lagi ya jelaslah hasilnya jadi seri. Maka, berintrospeksi bakal lebih bermanfaat untuk meraih hasil maksimal di laga-laga berikutnya.
Merencanakan Kemenangan
Satu ciri khas lain dari STY adalah gaya permainannya yang kental nuansa bertahan. Pola yang ia samarkan dengan possession football, di mana timnya lebih sering menunggu di area sendiri dan serangan-serangan dibangun secara cepat bahkan cenderung sporadis.
Dulu memang sempat ada masa di mana STY menekankan build up serangan dari bawah, bahkan sejak bola dipegang penjaga gawang. Namun belakangan yang lebih sering terlihat adalah permainan cepat yang lebih banyak berujung kehilangan bola.
Strategi begini dapat dimaklumi jika yang dihadapi adalah tim-tim sekelas Arab Saudi, Australia apalagi Jepang. Namun jika skema sama juga dipakai sewaktu berhadapan dengan tim yang secara kualitas tak terlalu jomplang perbedaannya, katakanlah Bahrain tadi malam, masa iya masih tetap mengusung negative football?