Alih-alih memberi ancaman lewat counter-attack, Tim Garuda justru seringkali langsung kehilangan bola. Ada yang akibat salah umpan karena terlalu buru-buru mengirim bola ke depan, ada pula yang disebabkan kena rebut balik oleh lawan.
Memang tercatat 2 shot on goal, tetapi itu lahir pada menit pertama. Setelahnya tak ada lagi tendangan para pemain Indonesia yang membuat repot Matt Ryan. Tiga tembakan berikutnya melenceng semua.
Padahal counter attack mematikan adalah senjata andalan sebuah tim underdog manakala menghadapi lawan yang lebih unggul. Harus pintar-pintar memanfaatkan peluang sekecil apapun menjadi serangan maut, menjadi gol, menjadi kemenangan.
Problem Lawas
Problem ini sudah terlihat kala menghadapi Arab Saudi. Di mana berkali-kali Indonesia mendapatkan peluang bagus untuk melakukan counter attack mematikan, tetapi malah berakhir mengecewakan.
Kalau mau ditarik lebih jauh ke belakang, penyakit ini bahkan sudah ada sejak pertama kali Shin Tae-yong menangani timnas kita. Terlihat dari rasio gol per pertandingan di level senior, di mana menurut data Transfermarkt Indonesia mencetak total 97 gol dalam 49 pertandingan di berbagai ajang.
Kombinasi dua angka tersebut menghasilkan rataan 1,98 gol per pertandingan. Bolehlah kalau mau dibulatkan menjadi rata-rata 2 gol per pertandingan.
Rekor bagus? Lumayan? Tunggu dulu.
Ingat, total 97 gol tersebut beberapa di antaranya disumbang oleh skor-skor besar tatkala melawan tim jauh lebih lemah. Misalnya, berondongan 12 gol ke gawang Brunei Darussalam dalam dua pertandingan home-away di Putaran Pertama Kualifikasi Piala Dunia 2026 pada Oktober 2023 lalu.
Perlu dicatat juga jika dari 97 gol tersebut tak ada striker yang mendominasi perolehan. Pencetak gol terbanyak di era STY justru Witan Sulaeman (9). Jumlah gol winger/attacking midfielder Persija Jakarta tersebut mengungguli catatan Dimas Drajad (6) dan Ramadhan Sananta (5) yang penyerang murni.
Menariknya lagi, dari 6 dan 5 gol koleksi Dimas dan Sananta tersebut, 3 di antaranya dicetak ke gawang Brunei. Dengan kata lain, ketajaman keduanya tak muncul manakala menghadapi tim dengan kekuatan setara apalagi lebih tinggi.
Shin Tae-yong sendiri mengakui kurang tajamnya lini depan ini adalah problem yang belum sanggup ia atasi. Langkahnya menunjuk Yeom Ki-hun merupakan konfirmasi atas hal tersebut.