Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola yang sedang belajar berkebun di desa transmigrasi. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet, juga menulis cerita silat di aplikasi novel online.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Belajar dari Loyalitas Suporter Liverpool FC

7 Desember 2023   14:08 Diperbarui: 7 Desember 2023   14:19 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KASUS kerusuhan antarsuporter masih saja menghiasi Liga 1. Sebuah tindakan kontraproduktif yang merugikan klub sendiri, sehingga sebutan suporter pada mereka layak dipertanyakan.

Terbaru, kerusuhan pecah di Stadion Jatidiri, Semarang, tatkala tuan rumah PSIS menjamu PSS Sleman, Ahad (2/12/2023) lalu. Suporter tuan rumah yang berada di tribun utara saling serang dengan pendukung tim tamu di tribun barat.

Suporter kedua kubu saling lempar batu, menyerbu lapangan, bahkan kemudian melebarkan aksi anarkis hingga ke luar stadion. Sebuah video amatir di X menunjukkan suporter saling serang di kawasan yang terhitung agak jauh dari stadion.

Alhasil, sejumlah fasilitas Stadion Jatidiri rusak, setidaknya lima bus rusak parah, lalu beberapa orang mendapat luka terkena lemparan batu. Termasuk CEO PSIS Alamsyah Satyanegara Sukawijaya alias Yoyok Sukawi.

Yoyok yang juga Ketua Asprov PSSI Jawa Tengah sekaligus anggota DPR RI harus mendapatkan delapan jahitan akibat luka yang diderita. Kepalanya bocor terkena timpukan batu di dalam stadion.

Buntut dari kericuhan ini, PSIS mendapat sanksi dari PSSI. Sebuah hukuman yang sangat berat bagi sebuah klub, yakni larangan bagi suporter untuk menonton di Stadion Jatidiri.

Hukuman tersebut berlaku hingga Liga 1 musim ini berakhir. Melengkapi denda sebesar Rp 25 juta yang juga dijatuhkan PSSI dalam keputusan beberapa hari berselang.

Merugikan Klub

Melihat apa yang menimpa PSIS usai pecahnya kerusuhan tersebut, sebutan suporter alias pendukung bagi para penonton rusuh layak dipertanyakan. Pasalnya, perbuatan mereka sangat merugikan klub alih-alih memberi dukungan.

Denda Rp 25 juta mungkin tak seberapa bagi PSIS, bahkan bagi Yoyok pribadi sekalipun. Namun larangan penonton menyaksikan pertandingan di Stadion Jatidiri bisa jadi pukulan telak.

Tahukah para perusuh itu jika salah satu sumber penghasilan klub berasal dari penjualan tiket pertandingan? Yoyok Sukawi sendiri pernah membocorkan jika 70% pendapatan PSIS berasal dari tiket penonton.

Bayangkan, PSIS harus kehilangan sebagian besar sumber pendapatannya sampai akhir musim! Dan itu nilainya puluhan miliar, lo.

Ini belum menghitung kerugian materiil akibat kerusakan fasilitas di dalam maupun di luar Stadion Jatidiri. Siapa yang menanggung itu semua, coba?

Belum lagi menyinggung faktor nama baik yang tercoreng. Membuat stadion terkesan sebagai tempat angker bagi penonton kebanyakan.

Padahal beberapa waktu lalu kita sempat merayakan kehadiran penonton perempuan dan anak-anak di stadion. Sampai-sampai pembawa acara di salah satu siaran langsung pertandingan Liga 1 menyebutnya sebagai fenomena menggembirakan.

Menyusul maraknya kerusuhan di stadion yang terjadi belakangan ini, agaknya kegembiraan itu harus ditahan.

Belum Dewasa

Suporter ingin timnya meraih kemenangan, meraih gelar juara, itu hal wajar. Kita benci kekalahan, jadi sebisa mungkin jangan sampai terjadi pada kita.

Namun dalam sebuah kejuaraan kemungkinannya hanya dua: menang atau kalah. Sedangkan dalam sebuah pertandingan sepak bola, peluang yang mungkin terjadi ada tiga: menang, imbang, kalah.

Mengharapkan tim yang kita dukung selalu meraih kemenangan itu bagus. Namun kalau kemudian harapan tersebut sampai membuat kita bertindak anarkis lagi merugikan saat tidak terpenuhi, maka itu bencana.

Suporter yang tak sudi melihat timnya menelan kekalahan dapat dikatakan tidak realistis. Ini untuk memperhalus pilihan kata yang lebih tepat, yakni kekanak-kanakan alias belum dewasa.

Suporter yang dewasa tentulah memahami jika konsekuensi bertanding sepakbola itu ya antara menang, imbang atau kalah. Persentasenya 33% untuk masing-masing peluang.

Menerima apapun yang terjadi sekalipun itu menimbulkan kekecewaan adalah sikap yang seharusnya ditunjukkan para suporter. Menang-kalah itu biasa, sesuatu yang memang lumrah terjadi dalam sepakbola.

Untuk ini, saya menyodorkan suporter Liverpool FC sebagai tempat berguru.

Belajar dari Liverpudlian

Bayangkan klub idolamu tak pernah menjadi juara liga selama 30 tahun. Masihkah kamu mau mendukungnya dengan sepenuh hati?

Inilah yang dilakukan oleh Liverpudlian selama ini. Sekalipun generasi yang lahir di tahun 1990-an dan setelahnya harus terus mendapat bully dari suporter rival.

Sebelum era Premier League, Liverpool terakhir kali menjuarai liga pada musim 1989-90. Lalu setelahnya gagal terus dan tak pernah sekalipun jadi juara sejak EPL digulirkan pada 1992.

Baru setelah Premier League berjalan 27 musim, yakni pada 2019-20, Liverpool pecah telur. Ini gelar Premier League pertama bagi The Reds, rekor yang membuat suporter Manchester United tertawa terpingkal-pingkal.

Di level Eropa pun demikian. Masa kejayaan Liverpool di Benua Biru berakhir usai Tragedi Heysel. Itu final terakhir mereka di Piala Champions yang kini menjadi Liga Champions.

Usai kekalahan dari Juventus di Stadion Heysel pada 1985, Liverpool baru bisa tampil di final lagi pada 2004-05. Hitung sendiri berapa puluh tahun selisihnya.

Toh, sekalipun terus-terusan gagal di liga dan tak terlalu bagus di kasta tertinggi Eropa, suporter Liverpool tetap menunjukkan loyalitasnya. Indikator paling nyata adalah selalu padatnya Stadion Anfield, terutama tribun The Spion Kop, dan angka penjualan jersey dari tahun ke tahun.

Tahun ini, misalnya, penjualan jersey Liverpool baru saja diumumkan sebagai yang terbanyak di Eropa. Dan karena Eropa adalah kiblat sepak bola dunia, rekor ini sekaligus juga level global.

Jersey Paling Laris

Mengutip sejumlah sumber, penjualan jersey Liverpool musim lalu menembus angka 1,8 juta. Satu capaian menarik mengingat tim asuhan Jurgen Klopp gagal meraih gelar satupun.

Awalnya Liverpool memulai musim 2022-23 dengan baik: mengalahkan Manchester City dalam Community Shield. Namun setelah itu malah gagal masuk zona Liga Champions karena hanya finish di peringkat kelima.

Sebuah kegagalan yang menyesakkan karena Liverpool sampai berselisih 4 angka dari penghuni peringkat empat, Newcastle United. Menunjukkan performa The Reds memanglah buruk.

Toh, dengan tanpa gelar sekalipun penjualan jersey Liverpool tetap baik, bahkan menjadi yang tertinggi. Mengungguli Man. United yang tak lain tim paling sukses di Premier League, yang mencatatkan angka 1,75 juta.

Raihan Liverpool juga mengungguli Real Madrid yang mencatatkan penjualan jersey sebanyak 1,7 juta. Pun atas Barcelona yang menjual 1,6 juta seragam dan Bayern Munich yang memasarkan sejumlah 1,35 juta lembar.

Menariknya, meski jadi penjual jersey terbanyak sedunia tahun ini, capaian Liverpool jauh merosot dari dua tahun lalu. Pada 2021, mengutip data Statista, rekor penjualan seragam tanding The Reds adalah 2,45 juta buah.

Jumlah itu jauh melampaui perolehan Man. United yang mencatatkan 1,95 juta. Juga sangat jomplang jika dibandingkan dengan penjualan jersey Juventus (1,24 juta) dan Barcelona (1,34 juta).

Yang membuat menarik adalah, ketika itu Liverpool mengakhiri musim 2020-21 tanpa gelar. Kalah di FA Community Shield, hanya mencapai perempatfinal Liga Champions, hanya menduduki peringkat ketiga klasemen EPL, juga tersingkir cepat dari FA Cup dan EFL Cup.

Faktor yang menyebabkan penjualan sebanyak itu bisa jadi justru keberhasilan dua musim sebelumnya. Di mana pada 2019-20 Liverpool meraih tiga gelar juara (Premier League untuk kali pertama, UEFA Super Cup dan FIFA Club World Cup), sedangkan pada 2018-19 menggondol trofi Liga Champions keenam.

Loyalitas Tanpa Syarat

Apapun itu, dari data dan fakta ini terlihat bahwa suporter Liverpool itu sangat loyal. Dukungan tak cuma mereka berikan manakala klub berprestasi, tetapi bahkan saat paceklik gelar sekalipun.

Selain bagusnya angka penjualan jersey, perluasan tribun Anfield adalah bukti nyata dukungan tanpa syarat yang diberikan suporter Liverpool. Kapasitas terus-terusan ditambah di era kepemilikan Fenway Sports Group, tetapi tetap saja tak cukup menampung penonton.

Slogan "you'll never walk alone" bukanlah semboyan kosong bagi Liverpudlian. Ungkapan ini merupakan sikap suporter, bahwa para pemain Liverpool tidak berjuang sendirian di atas lapangan.

Mau menang, seri ataupun kalah, suporter tetap berada di belakang klub dan para pemain. Mereka akan tetap menyanyikan You'll Never Walk Alone sebelum dan sesudah pertandingan, juga menyerukan aneka chant penyemangat di sepanjang laga.

Boleh jadi sikap ini merupakan buah dari ucapan mantan pelatih legendaris Liverpool, Bill Shankly: "If you can't support us when we lose or draw, don't support us when we win."

Mantra Shankly ini menegaskan bahwa tugas suporter adalah mendukung klub. Dukungan yang diberikan baik saat tim meraih kemenangan maupun lebih-lebih ketika menderita kekalahan.

Kalau cuma mau menang saja, ya jangan sebut dirimu suporter. Apalagi sampai berbuat rusuh karena tidak mau menerima kekalahan.

Semoga bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun