Pada perkembangannya kemudian bahkan ada kasak-kusuk mengenai kemungkinan Indonesia menembus Piala Dunia 2026. Ini dipicu oleh perubahan format peserta, sehingga AFC mendapat alokasi lebih banyak dari sebelumnya.
Dari sini dapat kita lihat jika ada dua kutub yang saling berseberangan: kualitas pemain timnas yang belum bisa berbicara banyak di level lebih tinggi versus tuntutan prestasi.
Indonesia masih bisa berbicara banyak di level AFF, baik senior maupun kategori kelompok umur. Namun di level Asia masih tertatih-tatih, kalau tidak mau disebut masuk kasta bawah.
Buktinya tersaji dalam partisipasi Piala Asia dan juga Kualifikasi Piala Dunia. Dalam kedua event tersebut Tim Garuda tak ubahnya kontestan penggembira saja.
Di Piala Asia, misalnya. Selain sudah lama absen, catatan partisipasi putaran final selama ini selalu mentok di fase grup. Kita pasti ingin dong melihat Indonesia mencapai perempatfinal seperti dilakukan Vietnam pada Piala Asia 2007 dan 2019.
Di Piala Dunia setali tiga uang. Indonesia era modern selalu mentok di Kualifikasi Putaran Kedua.Â
Bandingkan dengan Vietnam yang bisa melaju sampai ke Putaran Ketiga pada Kualifikasi Piala Dunia 2022. Bersaing dengan raksasa-raksasa Asia langganan Piala Dunia seperti Jepang, Arab Saudi dan Australia.
Dua kutub yang saling bertolak belakang itulah yang musti bisa disatukan oleh STY. Lebih tepatnya lagi, kita berikan tuntutan pada STY untuk menyatukannya.
Berjalan Beriringan
Mengingat masa kontraknya tidaklah panjang, sedangkan bebannya berat, tidak heran jika Coach Shin lantas mengambil langkah pragmatis. Tak mendapat pemain sesuai standarnya di liga domestik, ia berburu ke luar negeri.
Jadi, jangan salahkan STY jika kemudian meminta sejumlah pemain naturalisasi pada PSSI. Sebagai pelatih, ia perlu memastikan tim yang dibentuknya bisa bersaing di level lebih tinggi.
Lagipula, bukankah sudah sejak 2010 PSSI menempuh cara ini? Malah dulu dilakukan dengan sangat serampangan sekali, terkesan ditunggangi kepentingan klub untuk menyiasati kuota pemain asing di liga.