TEPAT hari ini setahun lalu, sebuah peristiwa maut terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Sebuah tragedi memilukan yang, di luar faktor tidak profesionalnya aparat dan juga panpel pertandingan, dipicu tindakan konyol segelintir suporter.
Jika kita mengamati detik-detik sebelum meletusnya Tragedi Kanjuruhan, terlihat ada sekelompok penonton yang turun ke lapangan seusai pertandingan. Aksi ini boleh dibilang mengawali malapetaka yang kemudian menewaskan 134 jiwa pada malam itu.
Jatuhnya ratusan korban jiwa dalam Tragedi Kanjuruhan memang tidak disebabkan langsung oleh tindakan suporter di atas. Dalam liputan investigasinya, Narasi TV menyuguhkan fakta bahwa hujan gas air matalah yang membuat seisi stadion tersiksa sehingga ratusan di antaranya meregang nyawa.
Namun suka tidak suka harus diakui jika suporter yang turun ke lapangan tadi memberi andil. Aksi itu memicu respons represif dari petugas keamanan di dalam stadion yang kemudian berujung lontaran gas air mata.
Betul, harus diakui tindakan pihak kepolisian itu juga tidak tepat. Akan tetapi musti diingat bahwa situasi di luar stadion sedang ricuh saat itu. Sekelompok suporter rusuh, kuat dugaan disebabkan oleh kekalahan tuan rumah dari tim tamu (sumber).
Maka, sekalipun tidak bisa dibenarkan, agak bisa dimaklumi jika petugas yang berjaga di dalam stadion lantas bersikap keras terhadap suporter yang berulah. Respons yang membuat suasana bertambah parah.
Kebiasaan Buruk yang Dilumrahkan
Di sini salah, di sana salah. Maka menurut saya sebaiknya saling introspeksi adalah langkah paling bermanfaat ketimbang saling menyalahkan.
Kesalahan pihak keamanan biarlah ditindak oleh mereka-mereka yang berwenang atas institusi tersebut. Kita sebagai suporter, marilah berkaca untuk menguliti kekurangan-kekurangan apa saja yang musti segera diperbaiki.
Aksi turun ke lapangan selepas pertandingan, misalnya.