Saya paham betul ini kebiasaan yang sudah sejak lama dianggap lumrah di Indonesia. Terjadi baik dalam turnamen antarkampung di event tujuhbelasan maupun di liga nasional.
Jujur saja, semasa muda dulu saya bagian dari pelaku tindakan begini. Begitu pertandingan selesai, bersama penonton lain saya ikut turun ke lapangan untuk mendekati pemain yang sedang menuju ke ruang ganti.
Kalau ada yang bertanya apa tujuan turun ke lapangan, motifnya bisa beragam. Kebanyakan beralasan ingin menyapa langsung para pemain. Syukur-syukur bisa mendapat jersey sang idola.
Selain pemain tim yang didukung, para bintang pasti menjadi buruan. Saya dulu pernah turun ke lapangan hanya untuk bersalaman dengan striker timnas Jainal Ichwan yang ketika itu memperkuat Petrokimia Putra.
Seiring bertambahnya usia dan pengetahuan, saya tahu turun ke lapangan adalah kebiasaan buruk yang musti ditinggalkan. Apapun alasannya, aksi ini haram dilakukan kalau ingin menjadi seorang suporter dan penonton yang beradab.
Bicara peraturan, FIFA melarang keras invasi lapangan oleh penonton. Sekalipun pertandingan sudah selesai, tetap saja tidak boleh. Berani melanggar berarti harus mau menerima sanksi dari badan sepak bola internasional ini.
Jangan kata untuk tujuan merusuh, katakanlah menyerang pemain atau ofisial klub karena timnya kalah, merayakan kemenangan saja bisa kena hukum oleh FIFA. Federasi sepak bola Jamaika (JFA) pernah merasakannya pada September 2012.
Kisahnya, kala itu Jamaika menjamu Amerika Serikat dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2014 zona CONCACAF. Di luar dugaan, tuan rumah yang sempat tertinggal terlebih dahulu bisa berbalik menang 2-1.
Wajar jika para penonton bersuka ria menyambut kemenangan tak disangka-sangka itu. Mereka meluapkan kegembiraan dengan menyerbu lapangan begitu wasit Marco Rodriguez asal Meksiko mengakhiri pertandingan.
Ujung-ujungnya, sanksi FIFA jatuh atas JFA.
Tak Kunjung Dewasa
Setahun berlalu, mirisnya perilaku suporter sepak bola kita kok seperti tidak mengalami peningkatan. Aksi-aksi konyol masih saja dilakukan semenjak Tragedi Kanjuruhan nan memilukan.