PERNYATAAN Shin Tae-yong kala diwawancarai reporter usai partai final Kejuaraan AFF U23, Sabtu (26/8/2023) lalu, membuat saya tersenyum. Juru taktik Indonesia ini menekankan buruknya kepemimpinan wasit di ajang junior yang baru saja selesai. Wajahnya masih menunjukkan raut kesal.
Wajar saja Coach Shin meradang. Ia bahkan sampai mendapat kartu kuning di pengujung babak kedua pertandingan Indonesia U23 versus Vietnam.
Alasannya apa lagi kalau bukan karena perangkat pertandingan menilai Shin Tae-yong terlalu sering memprotes keputusan-keputusan wasit Hiroki Kasahara. Beruntung Coach Shin tidak diusir keluar, sekalipun masih terus marah-marah usai diberi kartu kuning. Malah terkesan menantang.
Saya pribadi sangat memaklumi kenapa Coach Shin bisa sampai semarah itu. Kepemimpinan wasit Kasahara dan kolega memang layak dipertanyakan. Tidak cuma satu-dua keputusan mereka yang kurang tepat.
Kalau soal apakah Indonesia seharusnya mendapat hadiah tendangan penalti atau tidak, menurut saya keputusan Kasahara sudah sesuai aturan. Tangan bek Vietnam pasif kala bersentuhan dengan bola hasil tendangan Beckham Putera.
Jadi, lebih tepatnya bola yang mendatangi tangan dan bukan tangan yang menghalangi laju bola. Maka, itu bukan handball dan karenanya tidak ada penalti.
Sebagai perbandingan, momen nyaris serupa terjadi dalam pertandingan New York Red Bulls vs Inter Miami di pekan pertama Major League Soccer. Wasit melihat rekaman pertandingan dan memutuskan kejadian seperti itu bukan handball, sehingga tidak menjatuhkan hukuman penalti.
Namun untuk beberapa keputusan lain, saya sepakat Kasahara dan asistennya banyak melakukan kekeliruan. Yang paling mencolok adalah offside-nya Jeam Kelly Sroyer. Padahal masih ada bek Vietnam yang berdiri jauh di belakang Sroyer ketika itu.
Tak Cukup Nggerundel di Media
Lalu aksi-aksi kasar para pemain Vietnam juga selalu lolos dari hukuman. Misalnya ketika Arkhan Fikri ditekel dengan sangat keras hingga bahunya cedera atau Haykal Alhafiz yang disikut dengan sangat sengaja saat berduel dengan pemain lawan.
Insiden lain yang tak kalah kasar terlalu sering terjadi sepanjang 120 menit plus. Entah memang wasit tidak melihat atau bagaimana, ajaibnya hanya beberapa saja yang mendapat teguran. Itupun tak selalu berbuah kartu.
Satu yang juga bikin kening berkerut adalah kartu kuning untuk Ramadhan Sananta. Striker kita ini dianggap menghalang-halangi kiper Vietnam saat hendak melakukan tendangan gawang, usai menguasai bola dari serangan Indonesia yang gagal.
Padahal sebelumnya momen serupa terjadi di dalam kotak penalti Indonesia. Di mana Ernando Ari Sutaryadi diganggu pemain Vietnam ketika hendak menendang bola ke tengah lapangan. Dan wasit hanya memberi teguran!
Jadi, wajar jika Shin Tae-yong kesal bukan main malam itu. Sayangnya, Coach Shin sekadar meluapkan kekesalannya lewat media.
Oh, lupa, Coach Shin juga marah-marah secara meledak-ledak di pinggir lapangan. Raut wajah dongkol sang pelatih bolak-balik tampil di layar kaca.
Padahal, sebagai ofisial tim Shin Tae-yong punya hak untuk berbuat lebih dari itu. Sebagai kompetisi resmi di bawah AFF, kejuaraan ini tentulah punya badan khusus untuk menampung serta menengahi sengketa yang terjadi sepanjang turnamen. Termasuklah protes terhadap keputusan wasit.
Maka, alih-alih menggerundel di tivi, akan lebih elegan jika STY melancarkan protes resmi kepada AFF. Tujukan kepada Komisi Wasit yang bertanggung jawab atas penunjukan para pengadil di kejuaraan junior ini.
Jika saja sejak usai pertandingan melawan Timor Leste ofisial tim Indonesia--bisa juga PSSI--melayangkan surat protes kepada AFF, kinerja Hiroki Kasahara pasti langsung dievaluasi. Bisa jadi bukan wasit asal Jepang itu yang memimpin partai final, sehingga hasil akhirnya tidak menyesakkan seperti tempo hari.
Dicontohkan Peter White
Langkah serupa pernah dilakukan Indonesia ketika mengarungi Piala AFF 2004. Kala itu Tim Garuda ditukangi Peter White.
Pelatih asal Inggris tersebut melancarkan protes secara resmi kepada AFF karena menilai keputusan wasit tidak tepat. Hasilnya, meski keputusan keliru wasit tidak dianulir, hukuman larangan bertanding untuk pemain dikurangi.
Kisah ini terjadi dalam pertandingan terakhir Indonesia di Grup A melawan Kamboja pada 13 Desember 2004. Dalam satu momen serangan oleh kubu Indonesia, striker Ilham Jayakusuma terlibat insiden dengan salah satu pemain Kamboja di area kotak penalti lawan.
Melihat itu, wasit Sun Baojie asal Tiongkok langsung memberi kartu merah pada Ilham. Penyerang yang sudah mengemas hat-trick ke gawang Kamboja itupun harus meninggalkan lapangan.
Terang saja segenap pemain Indonesia terkejut, sebab mereka menilai apa yang dilakukan Ilham tidak layak dihukum sekeras itu. Namun Wasit Sun tetap teguh pada pendiriannya.
White juga tidak terima dengan keputusan tersebut. Sang pelatih merasa dirugikan tentu saja, sebab kartu merah langsung berarti Ilham tidak boleh bertanding di dua pertandingan berikutnya.
Padahal dua laga yang akan dilakoni Indonesia adalah semifinal. Tim Garuda yang menjuarai Grup A dijadwalkan bertemu Malaysia sebagai runner-up Grup B.
Tak mau kehilangan Ilham, White pun melayangkan surat protes ke AFF. Langkah ini, saya ingat betul, diberitakan oleh Tabloid BOLA ketika itu. Media olahraga yang sudah tidak terbit lagi tersebut memuji setinggi langit apa yang dilakukan White.
Saat googling untuk mencari referensi yang dapat dilihat bersama, bukan semata-mata berdasarkan memori pribadi, saya menemukan arsip berita Tempo yang menyebutkan PSSI-lah yang melayangkan surat protes ke AFF.
Siapapun yang melayangkan surat protes terhadap keputusan Sun Baojie ketika itu tidak penting. Intinya adalah tim Indonesia melayangkan keberatan secara resmi kepada penyelenggara turnamen. White selaku pelatih tidak hanya marah-marah dan berkeluh kesah di media.
Surat protes Indonesia mendapat respons. Sekalipun kartu merah untuk Ilham tidak dianulir, hukuman larangan bertanding untuk penyerang kelahiran Sumatera Selatan tersebut dikurangi (sumber). Dari mulanya dua, menjadi satu saja.
Alhasil, Ilham hanya absen di leg pertama semifinal ketika Indonesia menjamu Malaysia di Jakarta. Entah ada kaitannya atau tidak, Tim Garuda kalah 1-2 dari si tetangga berisik.
Ilham sudah boleh kembali tampil pada leg kedua di Kuala Lumpur. Kehadiran yang sangat dibutuhkan, sebab Indonesia musti mampu membalik ketertinggalan agregat jika ingin melaju ke final.
Saya yakin sekali Anda semua pasti masih mengingat jelas partai heroik dimaksud. Partai di mana Indonesia melakukan comeback fenomenal. Dari tertinggal 0-1 (1-3 secara agregat) sejak menit ke-28, menjadi unggul 4-1 atau 5-3 secara agregat dan membuat fans Malaysia terdiam.
Demikianlah kisah lawas ini saya tuangkan. Harapan saya, kapan saja Shin Tae-yong kembali merasa dirugikan wasit, langsung kirim surat protes saja kepada federasi penyelenggara turnamen. Itu tindakan yang lebih elegan lagi bermanfaat bagi tim.
Ketimbang marah-marah sendiri di pinggir lapangan, ujung-ujungnya malah dapat kartu kuning. Iya, kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H