USAI sudah partai yang ditunggu-tunggu. Hasil final Kejuaraan AFF U23 antara Vietnam vs Indonesia membuat Shin Tae-yong kembali gagal mempersembahkan trofi bagi Tim Garuda.
Partai pamungkas melawan Vietnam di Rayong Provincial Stadium, Sabtu (26/8/2023) malam WIB, merupakan final kedua Coach Shin sebagai juru taktik Indonesia. Kesempatan pertama terjadi pada Piala AFF 2020, di kompetisi level senior.
Seakan masih diminta bersabar menghadapi berbagai cercaan terhadapnya, kembali pelatih asal Korea Selatan tersebut gagal meraih gelar juara. Di Piala AFF 2020 keok dari Thailand, malam tadi dari Vietnam.
Jangan heran bila setelah ini akan semakin nyaring saja suara-suara yang meragukan kemampuan Shin Tae-yong. Juga yang membanding-bandingkan capaiannya dengan pencapaian timnas U23 di SEA Games lalu. Pastinya tidak bakal sedikit.
Beda Visi
Ironinya, suara-suara nyaring bernada miring itu bahkan datang dari kalangan stakeholder sepak bola nasional sendiri. Sungguh mengherankan bagi saya, mereka-mereka yang tugasnya adalah membina atlet justru seolah begitu terobsesi pada raihan piala semata.
Betul, saya setuju piala dan gelar juara adalah sesuatu yang sangat kita dambakan bersama. Memenangkan sebuah turnamen tentulah sangat membanggakan.
Jangankan para pemain yang bertanding di lapangan, penonton pun bakal ikut berbangga. Saya juga pasti ikut jingkrak-jingkrak andai tadi malam Indonesia mengalahkan Vietnam.
Namun saya juga sepakat dengan apa yang dikatakan Bung Kusnaeni, komentator pertandingan final Kejuaraan AFF U23 di SCTV semalam. Trofi maupun gelar juara hanyalah salah satu indikator sukses-tidaknya proses pembinaan, bukan satu-satunya tolok ukur.
Masih mengutip perkataan Bung Kus, raihan piala maupun gelar juara bukanlah satu-satunya poin penentu sukses-tidaknya Shin Tae-yong sebagai pelatih Indonesia. Masih ada banyak hal positif lain yang sudah dipersembahkan oleh ayah dua anak tersebut.
Bagaimana dengan peningkatan ranking FIFA timnas Indonesia yang terhitung pesat, misalnya? Bagaimana dengan rancaknya permainan timnas yang kini sedap dinikmati? Bagaimana pula dengan visi regenerasi pemain yang ia kedepankan, sehingga para penggawa muda mendapatkan lebih banyak kesempatan tampil di bawah asuhannya?
Di final Piala AFF 2020, misalnya, rataan usia skuat Indonesia itu hanya 23,8 tahun. Tergolong yang paling muda di antara empat semifinalis. Lebih muda dari rataan usia pada pemain Thailand yang menjadi lawan di final, yakni 27,1 tahun.
Skuat Thailand di Piala AFF 2020 berisi pemain-pemain berpengalaman. Ada Chanathip Songkrasin dan Teerathon Bunmathan di dalamnya. Kedua senior tersebut merumput di Liga Jepang kala itu.
Sementara Indonesia, pelatih Shin Tae-yong lebih mengandalkan pemain-pemain muda. Indonesia di Piala AFF 2020 itu timnas senior rasa tim U23.
Kalau kemudian Indonesia dipermak Thailand di final, jadi bahan olok-olok netizen Malaysia menyusul skor telak 0-4 di leg pertama, ya wajar saja. Para pemain kita waktu itu kalah segala-galanya dibandingkan Thailand.
Drama Sad Ending
Memang betul, di final Kejuaraan AFF U23 semalam faktor usia dan pengalaman tidak bisa dijadikan alasan lagi. Namun jika mengingat drama yang sempat terjadi jelang keberangkatan tim ini ke Rayong, bisa menembus final sudah merupakan satu capaian luar biasa.
Bayangkan saja, dengan skuat tipis dan kemudian dihantam badai cedera pula, Shin Tae-yong masih bisa memanfaatkan materi pemainnya--yang sebetulnya terbilang pas-pasan--untuk memaksa Vietnam bermain imbang hingga babak adu penalti!
Meski para pemain Garuda Muda gagal mencetak gol ke gawang lawan, mereka juga sukses meredam agresivitas para penyerang Vietnam. Bayangkan, tim ala kadarnya ini bisa mengimbangi juara bertahan hingga 120 menit lebih!
Kalau-kalau sudah lupa, ini tim yang sama dengan yang dikalahkan Malaysia di awal turnamen. Tim yang kerepotan menghadapi Timor Leste. Tim yang untuk lolos ke semifinal saja harus menunggu hasil pertandingan lain. Bukan cuma satu, tapi tiga pertandingan!
Mengingat drama yang ia hadapi saat menyusun tim, tak heran jika Shin Tae-yong tidak menargetkan apa-apa di kejuaraan ini. Ia bilang, turnamen ini hanyalah pemanasan untuk Kualifikasi Piala Asia U23 bulan depan.
Kalau dari tidak ada target apa-apa kemudian malah ke final, bukankah itu sebuah hasil yang patut diapresiasi? Kalau dari mulanya tampil amburadul di dua pertandingan awal, lalu malah mengalahkan tuan rumah dan merepotkan tim yang keluar sebagai juara, bukankah itu juga sebuah pencapaian? Sesuatu yang patut dihargai?
Kembali menyitir perkataan Bung Kus dalam siaran langsung tadi malam, masih banyak parameter lain dalam menilai sukses-tidaknya sebuah tim maupun kinerja pelatih.
Tim ini, bagi saya, sudah menorehkan kesuksesan besar. Shin Tae-yong, masih bagi saya, juga sukses besar. Kemampuannya teruji, sebab ia terbukti bisa meracik tim yang sama sekali tidak ideal ini menjadi finalis.
Andai saja drama adu ego dalam penyusunan tim untuk kejuaraan ini tidak terjadi, andai saja skuat yang berangkat ke Thailand lengkap dan sesuai yang direncanakan, saya yakin hasilnya bakal lebih memihak kita.
Maka, terlepas dari rasa kecewa karena gagal meraih trofi, saya pribadi tetap merasa bangga luar biasa pada tim Indonesia U23 ini. Perjuangan mereka dalam mengatasi segala keterbatasan sangat luar biasa.
Selamat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H