PERCAYA proses. Ini slogan yang entah sejak kapan selalu didengung-dengungkan para pengurus PSSI. Faktanya, malah mereka sendiri yang kerap berbuat berkebalikan dari itu.
Buktinya? Yang seringkali terjadi, menurut amatan saya dalam setidaknya belasan tahun terakhir, adalah dengan membebankan target besar tetapi dalam jangka pendek. Bahkan lebih pendek dari satu periode masa jabatan ketua umum.
Akibatnya, ketika target tersebut gagal dicapai, pelatih timnas dipecat untuk digantikan pelatih baru. Alasannya tentu saja karena gagal memenuhi target yang dibebankan pada saat direkrut. Apa lagi memangnya?
Pola ini terus berulang, sebab pelatih baru tadi kembali dibebani target besar dalam jangka pendek pula. Timnas gagal lagi, pelatihnya dipecat, federasi langsung tunjuk pelatih baru dengan target besar. Begitu terus sampai jadilah lingkaran setan.
Tidak usah jauh-jauh, kita mundur ke era Luis Milla saja. Pria Spanyol ini diresmikan sebagai pelatih timnas senior dan Indonesia U20 pada 20 Januari 2017. Masih ingat apa target buat Milla?
Juara SEA Games 2017 dan masuk empat besar Asian Games 2018. Ini semua masih tertera jelas dalam rilis di laman resmi PSSI (sumber).
Cabang sepak bola pada SEA Games 2017 digelar mulai 14 Agustus 2017. Hitung sendiri berapa waktu yang dipunyai Milla sejak diresmikan sebagai pelatih timnas pada 20 Januari 2017 sampai melakoni pertandingan pertama di ajang mana target dibebankan padanya.
Milla sendiri hanya dikontrak selama 2 tahun. Malah saat konferensi pers, PSSI menekankan bakal ada evaluasi setiap tahun. Secara tersirat PSSI seolah mau mengatakan kontrak Milla bisa sewaktu-waktu diputus jika kinerjanya dinilai tidak sesuai ekspektasi.
Belajar Lebih Sabar
Memakai pelatih dengan kontrak berdurasi pendek, dipadu target-target ajaib, agaknya sudah menjadi watak dan kebiasaan para pengurus PSSI. Hitung saja sendiri dalam 10 tahun terakhir ini, sudah berapa pelatih yang menangani timnas?
Para pembesar PSSI wajib belajar soal sabar dan percaya proses pada pengurus FFK. Remko Bicentini yang kini melatih Curacao sudah terlibat dalam timnas sejak 2009. Saat itu Curacao masih menjadi bagian dari Antillen Belanda.
Sebagai asisten pelatih, jabatan Bicentini terus dipertahankan ketika Antillen Belanda bubar dan NAVU berganti nama menjadi FFK. Dia kemudian 'naik pangkat' jadi pelatih kepala menggantikan Patrick Kluivert pada 2016.
Kembali kita pakai hitung-hitungan. Dari 2009 hingga 2023, artinya Bicentini sudah membidani timnas Curacao selama 14 tahun. Dan pria kelahiran Nijmegen ini telah menjadi pelatih kepala selama 7 tahun berjalan.
Kini kita punya Shin Tae-yong, pelatih yang merupakan eks pemain tenar pada masanya. Coach Shin juga punya pengalaman mencengangkan di Piala Dunia 2018. Tidak salah jika ada yang berkata, Indonesia sungguh beruntung STY mau melatih di sini.
Diresmikan tepat sebelum wabah Covid-19 merebak, praktis Shin Tae-yong baru menunjukkan kinerja sesungguhnya sejak Piala AFF 2020 yang digelar pada pengujung 2021. Saya yakin kita semua sepakat penampilan timnas Indonesia di ajang tersebut sangat menyenangkan hati.
Penampilan di Singapura tersebut menunjukkan jika Coach Shin terbilang cepat memberi perubahan. Dari semula babak belur di sisa Kualifikasi Piala Dunia 2022, jadi berbalik tampil rancak dan memikat di Piala AFF 2020.
Betul, Indonesia memang lagi-lagi gagal juara. Namun, please deh, tolong tahu diri!
Jangan dulu pasang target juara kalau pemain timnas yang dipunyai mengontrol bola saja masih belum mantap, pergerakan tanpa bola masih amburadul, operan masih sering salah, ketemu Thailand sudah grogi sebelum masuk lapangan.
Progress STY
Belum genap setahun berjalan, di mata saya STY sudah mempersembahkan perkembangan menggembirakan di tubuh timnas. Putaran final Piala Asia 2023 dan juga putaran final Piala Asia U20 adalah buah dari permainan keren hasil sentuhan Coach Shin.
Dari penampilan di Piala AFF 2020, lalu tiga pertandingan di Kualifikasi III Piala Asia 2023, terlihat jelas ada peningkatan performa. Menurut saya, ini timnas terbaik setelah era polesan Ivan Kolev pada Piala Asia 2007.
Kemudian pertandingan melawan Curacao, September 2022 lalu, menjadi bukti lain bagaimana timnas telah banyak berubah.
Satu contoh kecil, nyaris tak ada bola-bola lambung dalam pertandingan tersebut. Tidak seperti era-era sebelumnya, di mana mudah sekali para pemain kita membuang-buang bola dengan tendangan jarak jauh.
Sebaliknya, permainan Indonesia sangat rapi. Dari kaki ke kaki, bola terus bergulir dengan efektif lagi cantik. Gol Marc Klok dan Dimas Drajad pada pertandingan pertama, lahir dari skema seperti ini. Tak ada sekalipun bola lambung dalam prosesnya.
Transisi dari bertahan ke menyerang dan sebaliknya juga sudah lebih baik. Memang masih terjadi kesalahan seperti yang menyebabkan terjadinya gol Juninho Bacuna. Namun masih banyak waktu untuk memperbaiki yang seperti itu.
Maka, saya sungguh sangat menyayangkan sekali ketika netizen bersuara lantang menyerukan STY Out selepas kekalahan dari Vietnam, beberapa hari lalu.
Serius lo pade? Kenapa kebiasaan buruk pengurus PSSI jadi menular ke netizen, sih? Ini gawat. Mental dikit-dikit ganti pelatih begini yang enggak bikin timnas Indonesia ke mana-mana. Stuck.
Evaluasi dan Benahi Bersama
Justru kita sebagai suporter timnas harus mengawal dan mencari tahu, mengapa performa timnas dapat menurun sedrastis ini? Dari yang pada September 2022 bisa menghajar tim penghuni rangking 80-an FIFA, jadi susah payah menghadapi Kamboja dan Brunei Darussalam (di babak kedua) pada Desember 2022.
September ke Desember itu hanya tiga bulan. Seharusnya jadi pertanyaan besar, mengapa dalam tempo sebegitu cepat penampilan timnas sudah menurun drastis. Saat melawan Thailand, Filipina dan kemudian Vietnam, serangan terburu-buru dengan bola-bola lambung nan direct kembali terlihat.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah semata-mata karena faktor teknis atau (mungkin) ada gangguan nonteknis?
Tidak salah jika ada yang menduga terhentinya liga sebagai buntut Tragedi Kanjuruhan sebagai biang penurunan timnas. Apa pun penyebabnya, itulah yang seharusnya didiskusikan bersama dan dicari solusinya. Bukan langsung menunjuk kambing hitam.
Saya sih, berharap para pengurus PSSI tidak menjadikan kegagalan di Piala AFF 2022 sebagai satu-satunya tolok ukur sukses-tidaknya Shin Tae-yong menangani timnas. Mulailah hilangkan kebiasaan memecat pelatih hanya karena gagal di target jangka pendek.
Kembali saya ingatkan, jangan dulu pasang target juara kalau pemain timnas yang dipunyai mengontrol bola saja masih belum mantap, pergerakan tanpa bola masih amburadul, operan masih sering salah, ketemu Thailand sudah grogi sebelum masuk lapangan.
STY itu pelatih timnas. Di level ini, mustinya tak ada lagi yang namanya salah passing, salah kontrol bola dan hal-hal teknis mendasar lain. Jadi, juara itu target yang ketinggian kalau STY masih harus mengajari ball positioning dan passing ke pemain.
Satu pertanyaan saya bagi para pengurus PSSI: sudikah kiranya memanjangkan kesabaran dengan memberi kesempatan lebih lama pada Coach Shin menuntaskan pekerjaannya memoles timnas? Bukan hanya demi raihan jangka pendek seperti trofi juara Piala AFF 2022 dan kejutan di Piala Asia 2023, tetapi bahkan hingga Piala Dunia 2026 dan Piala Asia 2027?
Lihat lagi Curacao. FFK tidak memecat Bicentini hanya karena tim asuhannya kalah dari tim peringkat 155 Ranking FIFA, bukan?
Catatan: Judul ini merupakan yang terakhir dari tiga tulisan mengenai timnas Curacao. Judul sebelumnya adalah Yang Perlu Dipelajari PSSI dari Federasi Sepak Bola Curacao dan Menata Ulang Strategi Naturalisasi Pemain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H